Pesan Toleransi dari Lukisan Keramik
Keberadaan keraton di Cirebon menjadi penjaga kisah toleransi yang berjalan ratusan tahun lamanya di Nusantara. Jejak-jejak yang diwariskan tidak hanya bernilai seni, tetapi juga menjadi simbol eratnya persaudaraan di tengah keberagaman.
Keberadaan keraton di Cirebon sejak lama menjadi penjaga kisah toleransi sejak ratusan tahun lalu di Nusantara. Bentuknya bisa melalui apa saja, seperti sikap, perilaku, tradisi, bahkan ornamen pembangunan kompleks keraton.
Dengan tangan terikat, Yesus membungkuk memikul salib. Dua orang menyaksikan perjuangan-Nya. Kisah dalam Alkitab tersebut termaktub di salah satu keramik kompleks Keraton Kasepuhan, Kota Cirebon, Jawa Barat, yang sejak berabad-abad silam menjadi pusat syiar Islam.
Keramik berusia sekitar 400 tahun tersebut masih lekat menempel di dinding bangsal Prabayaksa, tempat Sultan menerima tamu penting, Jumat (20/12/2019). Bentuknya persegi. Ukurannya 13 sentimeter x 13 sentimeter dan ketebalan 0,3 sentimeter. Warnanya coklat berpadu putih.
Ada lagi keramik menggambarkan kisah perjamuan makan malam dan ketika Yesus menampakkan diri kepada dua muridnya. Sosok Yesus digambarkan dengan kepala bercahaya dan jubah di atas mata kaki.
Keramik lainnya bercerita tentang Musa mengulurkan tongkat lalu membelah lautan dan perahu Nuh. Berbagai jenis binatang akan masuk ke dalamnya. Kisah itu juga termuat dalam Alkitab.
Letaknya berjejer vertikal dan horizontal di anak tangga, tembok bagian bawah serta pilar penyangga bangsal. Beberapa keramik menempel pada tembok ruangan Jinem Pangrawit, bangsal Pringgodani, serta pembatas menuju bangsal Agung Panembahan.
Di luar keraton, sebuah keramik serupa terpasang dekat mimbar imam di Masjid Merah Panjunan. Keramik lainnya tampak di Makam Sunan Gunung Jati, salah satu wali sanga atau tokoh penyebar agama Islam di tanah Jawa. Sunan Gunung Jati pernah memimpin Cirebon pada 1479-1568.
Naniek Harkantiningsih dalam tulisan ”Seni Hias Tempel Keramik Kesultanan Cirebon: Toleransi dalam Kebinekaan”, yang diterbitkan Kapata Arkeologi Volume 13 pada 2 November 2017, mengidentifikasi 30 motif keramik di Keraton Kasepuhan terkait Perjanjian Lama. Adapun 32 motif lainnya berkisah tentang Perjanjian Baru.
Pusat kerajinan
Keramik berisi kisah itu berasal dari Delft, Belanda, sekitar abad ke-17. Kota itu hingga kini dikenal sebagai pusat kerajinan keramik ternama dunia. Pejabat VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) yang memberikan keramik itu untuk keraton.
Jika dibandingkan dengan periode awal Kesultanan Cirebon pada abad ke-15, pemasangan keramik tersebut tidak bersamaan dengan pembangunan keraton.
”Keramik ini sebagai hiasan interior dan eksterior keraton. Sebagai pemeluk Nasrani, mereka juga ingin menyebar kebaikan dalam agamanya,” ujar Raden Muhamad Hafid Permadi, Kepala Bagian Pemandu Keraton Kasepuhan Cirebon.
Seperti diketahui, kehadiran VOC di Indonesia, termasuk Cirebon, membawa misi gold, gospel, dan glory (kekayaan, kekuasaan, penyebaran agama). Kumpulan keramik tersebut merupakan saksi pewarisan misi terebut.
Hubungan VOC dan Sultan di Cirebon cukup baik dengan penandatanganan kerja sama persahabatan pada 7 Januari 1681. Salah satu isinya, VOC akan melindungi raja dan masyarakat dari perompak.
Zaenal Masduqi dalam buku Cirebon, dari Kota Tradisional ke Kota Kolonial (2011) menjelaskan, perjanjian itu membuat VOC memonopoli perdagangan. Hasil tanaman petani Cirebon dibeli di bawah harga pasar. Hal itu membuat rakyat menderita.
Namun, menurut Hafid, kesepakatan dengan kongsi dagang terkuat di dunia itu merupakan strategi Sultan agar perdamaian tetap terjaga. Apalagi, Cirebon sudah menjadi pelabuhan yang didatangi pedagang Eropa, China, hingga Arab.
Kubah masjid
Uniknya, perjanjian itu tak lantas mengancam keraton sebagai pusat syiar Islam. Di bagian atas kumpulan keramik tentang Alkitab yang menempel di dinding, misalnya, diukir seperti kubah masjid.
”Ini penegasan, keraton tetap menjunjung Islam tetapi juga menjaga ukhuwah insaniyah (persaudaraan antarmanusia),” katanya.
Keturunan sultan yang tidak sepaham dengan Belanda juga memilih ke daerah pinggiran untuk menyebarkan Islam melalui pesantren. Hingga kini, jasa mereka masih tampak antara lain sebagai pusat pesantren di Buntet dan Ciwaringin, Cirebon.
Harap berkah
Berabad-abad setelah keramik tentang Alkitab terpajang di keraton, di Masjid Panjunan, dan di Astana Gunung Jati, tradisi Islam tetap berjalan. Derapnya berdampingan dengan orang di sekitarnya meski berbeda keyakinan.
Saat Maulid, misalnya, ribuan orang mengharapkan berkah di Keraton Kasepuhan. Halaman depan Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh dan Perguruan Advent Cirebon di sekitar keraton tidak luput menjadi tempat pasar tumpah Maulid.
Di Masjid Panjunan, ketika bulan Ramadhan, warga setempat membuat bubur harisa yang berisi daging kambing untuk disajikan kepada musafir. Adapun Astana Gunung Jati menjadi tempat ziarah warga, baik dari dalam maupun luar Cirebon.
”Ini membuktikan ada toleransi terhadap agama lain. Keyakinan pun tetap bisa eksis,” kata Hafid yang berkawan dengan pemeluk agama lain.
Berbagai keramik juga, katanya, menjelma simbol pengingat indahnya toleransi antarumat beragama di Cirebon. Keramik yang dipasang berbentuk ketupat, misalnya, mencerminkan hubungan tegak lurus kepada Sang Pencipta dan mendatar kepada manusia.
”Ketupat itu artinya manusia seharusnya bisa mengakui kelepatannya, kesalahan dirinya. Dengan begitu, nanti dia bisa berbuat baik kepada siapa pun,” ujarnya.
Pesan toleran itulah yang kerap disampaikannya kepada wisatawan Keraton Kasepuhan yang tahun lalu mencapai 166.077 orang. Tidak sedikit, pengunjung yang mengangguk pertanda setuju sekaligus takjub.
Tetap lestari
Yohanes Muryadi, ketua lingkungan St Wojtylla Gereja Bunda Maria Cirebon, menilai keramik yang memuat kisah dalam Alkitab menunjukkan tingginya toleransi pada masa lalu. Muryadi yakin, toleransi yang telah berjalan ratusan tahun itu tetap lestari.
”Diperlukan dialog antarpemangku kepentingan. Saya sering diskusi dengan kelompok Islam di Masjid At-Taqwa Cirebon,” ujar mantan anggota Forum Kerukunan Umat Beragama Kota Cirebon ini.
Penuh damai
Romo Kristiono dari Gereja Katolik Bunda Maria mengatakan, toleransi di Cirebon tidak sebatas simbol seperti keramik di Keraton Kasepuhan. Masyarakat Cirebon tidak goyah meski ada perbedaan pandangan antarumat beragama.
”Gereja kami dikelilingi pondok pesantren tetapi tidak pernah ada masalah,” ujarnya.
Natal kali ini, persaudaraan itu kembali dipupuk melalui tema ”Jadilah Sahabat untuk Semua Orang”. ”Kami berharap dengan Natal kita dapat berkomunikasi dengan siapa pun, lintas agama,” katanya.
Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat mengatakan, sejak dulu masyarakat Cirebon menghargai setiap pemeluk agama. Ketika memasuki Keraton Kasepuhan, misalnya, pengunjung akan menyaksikan patung lembu kecil atau nandi yang dimuliakan umat Hindu.
Selanjutnya, ada dua patung macan putih, simbol Kerajaan Padjadjaran. Di dalam keraton, ada tugu manunggal yang menandakan Kabah.
”Meskipun keraton merupakan pusat syiar Islam, agama lain di Nusantara tetap dihormati. Ini heritage yang nilainya sangat tinggi,” ujarnya.
Setelah ratusan tahun, ribuan keramik dari Belanda dan China di Keraton Kasepuhan tetap lestari. Keramik beragam itu tidak hanya indah secara estetika, tetapi juga menjaga damai saat makna toleransi dalam keramik dijalankan.