Pemanfaatan ruang budaya menjadi salah satu alternatif solusi untuk menyelesaikan sejumlah masalah bangsa dan negara. Ruang budaya merupakan salah satu sarana yang kerap digunakan Gus Dur.
Oleh
Rini Kustiasih/Putu Fajar Arcana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemanfaatan ruang-ruang budaya menjadi salah satu alternatif solusi untuk menyelesaikan sejumlah persoalan kebangsaan dan kenegaraan. Selama ini ruang-ruang kebudayaan kerap diabaikan sehingga rentan dimanfaatkan untuk mengembangkan narasi yang bertentangan dengan keindonesiaan dan kemanusiaan.
Ruang-ruang budaya merupakan salah satu sarana yang kerap digunakan Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, yang berpulang 30 Desember 2009.
Pada peringatan meninggalnya atau haul ke-10 Gus Dur, Sabtu (28/12/2019) di Jakarta, arti penting ruang budaya ini kembali disuarakan untuk mengingatkan kekuatan Indonesia sebagai bangsa yang majemuk. Kekuatan itu menjadi modal untuk menjalin kohesivitas sosial dan kemajuan bangsa.
Haul Gus Dur kali ini mengambil tema ”Kebudayaan Melestarikan Kemanusiaan”. Hadir dalam acara ini antara lain Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin KH Mustofa Bisri atau Gus Mus, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Imam Besar Masjid Istiqlal KH Nasaruddin Umar, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid, seniman dan budayawan, serta tokoh dari berbagai agama.
Ketua panitia haul ke-10 Gus Dur, Inayah Wahid, mengemukakan, kebudayaan menjadi salah satu aspek yang menonjol dari pendekatan yang digunakan Gus Dur. Perspektif kebudayaan yang dimaksud tidak semata-mata terpaku pada bentuk budaya, kesenian, ataupun adat istiadat tertentu.
”Semasa hidupnya, Gus Dur aktif bertemu dengan masyarakat dari berbagai golongan. Gus Dur hadir serta berbicara dengan mereka tanpa membeda-bedakan. Itu contoh pendekatan budaya yang dilakukan Gus Dur,” tutur Inayah.
Dalam kehidupan berbangsa saat ini yang rentan terjadinya pembelahan, menurut Inayah, pendekatan kebudayaan tidak hanya penting. Hal itu juga sangat diperlukan untuk merajut kohesivitas. Kemampuan untuk melakukan pendekatan budaya itu pun merupakan kekuatan yang sedari awal dimiliki bangsa ini.
Tak dapat dipisahkan
Dalam ”Rembug Budaya” yang digelar sebagai bagian dari acara haul ke-10 Gus Dur, Ibu Sinta Nuriyah Wahid mengatakan, kebudayaan merupakan aspek terpenting dari kemanusiaan.
Ini karena kebudayaan yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Semakin orang kehilangan budaya, ia semakin kehilangan kemanusiaannya. Demikian halnya dengan beragama, tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan.
”Beragama tanpa kebudayaan akan mengakibatkan agama kehilangan dimensi manusianya sehingga sulit dijalankan dalam kehidupan nyata,” ujar Ibu Sinta.
Lukman Hakim mengatakan, agama dan kebudayaan pada dasarnya merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya dapat dibedakan, tetapi tidak bisa dilepaskan satu sama lain. Tanpa kebudayaan, agama akan menjadi nilai dan norma yang di awang-awang. ”Kebudayaan itu ialah agama yang mengejawantah atau agama yang memanifes dan membumi,” papar Lukman.
Saat ini, menurut Lukman, bangsa Indonesia tengah menghadapi tiga fenomena yang perlu segera diselesaikan dengan pendekatan budaya.
Pertama, menguatnya konservatisme. Jika fenomena ini berkembang menjadi ultra-konservatif yang eksklusif dan ekstrem serta menoleransi kekerasan, dikhawatirkan dapat mengancam kehidupan berbangsa. Fenomena ini tidak merujuk pada satu agama tertentu karena setiap agama memiliki potensi konservatisme.
Persoalan kedua bangsa ialah dislokasi intelektual, yakni dengan tidak dikenalinya lagi kebudayaan dan jati diri bangsa.
Ketiga, minimnya wadah untuk mengeksplorasi kebudayaan.
Dalam haul Gus Dur, disampaikan 10 rekomendasi dalam mengatasi sejumlah tantangan kebudayaan. Rekomendasi itu antara lain membangun ekosistem kebudayaan yang partisipatoris, menangkap pergumulan kemanusiaan khususnya pengalaman hidup kelompok rentan, negara menjadi fasilitator dalam tata kelola kebudayaan, paradigma pembangunan berdasarkan strategi kebudayaan, dan membangun model praktik keberagamaan yang kontekstual.
Rekomendasi disusun oleh 14 anggota tim perumus yang terdiri dari tokoh agama, pegiat sosial, jurnalis, dan seniman serta budayawan. Rekomendasi itu diharapkan dapat ditindaklanjuti pemerintah.
Hilmar Farid mengatakan, Indonesia telah memiliki UU No 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Namun, regulasi saja tidak cukup untuk mengimbangi lanskap masyarakat yang dinamis, utamanya dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0.
Kepala Polda Metro Jaya Komisaris Jenderal Gatot Eddy Pramono mengatakan, polisi tidak bisa semata-mata mengedepankan aspek penegakan hukum atau keamanan. Munculnya politik identitas, misalnya, tidak bisa diatasi hanya dengan pendekatan keamanan. Demikian juga dengan fenomena lone wolf (pelaku tunggal tidak dalam jaringan) dalam terorisme serta penyebaran berita bohong di media sosial.
Seniman dan budayawan Butet Kartaredjasa mengatakan, Gus Dur dengan pendekatan budayanya melintasi sekat-sekat perbedaan antarmanusia.