Jejak Peradaban Kristen Jawi Wetan
Peninggalan Pesantren Tebuireng dan Gereja Mojowarno di Jawa Timur bukan pada kompleks dan kemegahan bangunannya. Yang diwariskan di sana adalah potret harmoni di tengah pluralitas masyarakat.
Dari kehidupan agraris, semangat toleransi antar-umat terus ditanam, dipupuk, dipelihara, dipanen, dan dinikmati.
”Duh Gusti, ingkang kawula purugi sinten malih? Paduka kagungan pangandikanipun gesang langgeng. Yokanan 6:68. Margane slamet rahe pamenthangan”
Demikian tertulis dalam aksara Jawa yang menghiasi gewel Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Jemaat Mojowarno di Jombang, Jawa Timur. Jika diterjemahkan, tiga baris penggalan Alkitab itu kira-kira berbunyi, ”Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal. Yohanes 6:68. Jalan keselamatan melalui salib.”
Itulah penggambaran semangat kehidupan beriman jemaat sejak Karolus Wiryoguno mendirikan Mojowarno dengan membabat Hutan Kracil pada abad ke-19. Wiryoguno adalah budayawan asal Madura, keturunan Sultan Cakraadiningrat II atau Sultan Bangkalan II, penguasa Madura barat. Sosoknya dikenal toleran dan selalu mengusung harmoni, selain ia pun gemar mempelajari kesaktian, kanuragan (ilmu bela diri supranatural), dan bertapa.
Wiryoguno tertarik dengan kepercayaan sang tuan tanah, Coenrad Laurens Coolen, di Ngoro, Kabupaten Jombang. Ia pun belajar tentang ajaran Kristiani dan mendapatkan pembaptisan dari J Emde di Surabaya pada 1844. Setelah itulah nama Raden Paing Wiryoguno menjadi Karolus Wiryoguno.
Mojowarno sendiri merupakan nama dukuh baru pemberian Wiryoguno. Nama itu memiliki arti keberagaman hidup di dekat pusat peradaban Majapahit. Letaknya di barat Trowulan, Kabupaten Mojokerto, yang merupakan pusat peradaban Kerajaan Majapahit.
Dalam pemikirannya, Wiryoguno memimpikan kehidupan harmoni antarumat beragama seperti pernah terjadi di era Majapahit abad ke-16. Padahal, saat Wiryoguno membangun Mojowarno, mayoritas masyarakat Jombang telah memeluk Islam. Pada abad ke-19, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda tidak mendukung kalangan Kristen Eropa non-pendeta mengajarkan agama ini kepada penduduk pribumi dengan alasan agar tak menimbulkan konflik.
”Namun, kekristenan di sini justru tumbuh dari kehidupan gotong royong masyarakatnya yang berbeda agama,” ujar Muryo Djayadi, Pendeta GKJW Jemaat Mojowarno, Sabtu (21/12/2019). Pembangunan gereja pada 24 Februari 1879 disusul rumah sakit dan persekolahan sekaligus menegaskan semangat masyarakat Mojowarno yang mengedepankan harmoni dan toleransi melalui pendidikan dan kesehatan.
Nuansa gotik
Bangunan gereja berdiri pada lahan di tepi Jalan Mojowarno-Bareng. Di seberangnya adalah Rumah Sakit Kristen Mojowarno, sedangkan di sebelahnya berdiri gedung-gedung sekolah. Kompleks bangunan, khususnya gereja, sepenuhnya bercorak Eropa dengan gaya arsitektur gotik. Tempat ibadah ini seluas 700 meter persegi berkapasitas 600 orang setiap ibadah.
Bentuk dinding bangunan segi empat, beratap bentuk segitiga. Pada bagian depan terdapat empat pilar. Gereja dari bata ini bercat putih. Di atasnya ada menara kecil berbentuk tabung, tetapi beratap runcing. Di dalamnya ada lonceng kuno yang selalu berdentang menjelang dimulainya ibadah.
Secara keseluruhan, yakni genta, deretan kursi dalam gereja, mimbar, dan struktur, bangunan masih asli dari hasil pembangunan tahun 1881. Seluruh pembiayaan pembangunan gereja merupakan jerih payah persekutuan umat di Mojowarno yang ketika itu bercorak kehidupan agraris atau dari pertanian. Meski hidup bersahaja, mereka mampu berhemat dan terus menabung untuk kemudian mewujudkan mimpi mendirikan tempat ibadah nan suci.
Kehidupan agraris
Dari kehidupan agraris, semangat harmoni terus ditanam, dipupuk, dipelihara, dipanen, dan dinikmati. Dalam wujud sederhana pada masa Natal, umat non-Kristen di Mojowarno berpartisipasi dalam pengamanan ibadat. ”Gereja juga secara rutin masih menyelenggarakan bakti sosial kepada masyarakat kurang mampu dalam pendidikan dan kesehatan,” kata Muryo.
Keberadaan jemaat Mojowarno seolah menegaskan daerah ini merupakan pusat syiar Kristen Jawa di Jawa Timur. Meski gerejanya bukan yang tertua, tetapi yang perdana dalam ruang lingkup kekristenan kejawaan.
Sejarah mencatat, pada 11 Desember 1931, Mojowarno menjadi tempat deklarasi persekutuan jemaat yang disebut Pasamuan Kristen Jawi ing Jawi Wetan yang selanjutnya menjadi GKJW. Mojowarno juga sempat menjadi pusat sinode GKJW sebelum organisasi bercorak Calvinis ini dipindahkan ke Malang.
Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng KH Salahuddin Wahid mengatakan, toleransi dan harmoni merupakan warna kehidupan di Jombang dan Nusantara sejak dahulu. Leluhur dan para pendiri bangsa mengedepankan toleransi dalam kehidupan yang beragam.
”Perbedaan, termasuk dalam iman, adalah keniscayaan, mengapa hal ini masih saja ada yang mempersoalkan dan menjadikannya komoditas untuk membuat kegaduhan?” kata Salahuddin, adik mendiang KH Abdurrahman Wahid, presiden ke-4 yang dimakamkan di dalam kompleks Tebuireng.
Semasa hidupnya, Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur merupakan dosen terbang Islamologi pada Institut Teologi GKJW di Malang. Gus Dur, menurut Salahuddin alias Gus Solah, merupakan pejuang toleransi.
Dibukanya rekonsiliasi dengan korban G30S-PKI, penghapusan pembatasan kebudayaan Tionghoa keturunan, dan menempatkan Konghucu sebagai salah satu agama yang turut diakui di Indonesia adalah salah satu bukti kegigihan Gus Dus memperjuangkan pesan toleransi.
Warisan
Tebuireng didirikan KH Hasyim Asya’ri pada 1899. Sosok yang merupakan kakek dari Gus Dur ini juga dikenal sebagai pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi massa Islam terbesar dunia dari Nusantara.
Jauh sebelumnya, Wiryoguno yang keturunan Sultan Bangkalan II mendirikan komunitas Kristen di Mojowarno, lebih kurang 7 kilometer dari Tebuireng. Pesantren ini merupakan yang terkemuka pada masanya, bahkan hingga sekarang. Di sisi lain, Mojowarno merupakan pusat syiar Kristen Jawa dan tak bisa dihapus dalam sejarah.
Jika boleh disederhanakan, peninggalan Tebuireng dan Mojowarno bukan pada kompleks pesantren atau bangunan gereja. Yang ditinggalkan adalah kehidupan harmoni dan toleransi di tengah pluralitas masyarakatnya. Bupati Jombang Mundjidah Wahab pernah mengatakan, toleransi adalah buah. ”Toleransi amat penting untuk pembangunan kehidupan bermasyarakat,” kata Mundjidah.
Arkeolog Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Timur, Wicaksono Dwi Nugroho, mengatakan, dari sejumlah temuan struktur bata, terutama di Sumberbeji dan Kedaton, membuktikan bahwa Jombang merupakan salah satu pusat peradaban kuno. Itu merupakan warisan semasa Kahuripan sampai Majapahit (abad ke-11 sampai abad ke-16). Toleransi merupakan keniscayaan dan menjadi modal bagi kebesaran peradaban. Dari situlah peradaban terus berkembang dan bertahan selama berabad-abad.
Wicaksono meyakini sejarah yang kita pelajari memperlihatkan bahwa di era peradaban kuno, masyarakat dengan beragam budaya dan agama dapat hidup berdampingan. ”Mereka saling berkontribusi bagi kebesaran suatu kehidupan,” ujarnya.