Lima tahun lalu, Trent Alexander-Arnold masih anak gawang yang menyaksikan Liverpool gigit jari karena gagal menjuarai Liga Inggris. Kini ia menjelma jadi pahlawan yang diharapkan bisa mengakhiri penantian ”The Reds”.
Oleh
Herpin Dewanto Putro
·5 menit baca
LEICESTER, JUMAT — Apabila Liverpool berhasil mengangkat trofi Liga Inggris pada Mei 2020, mereka akan berutang besar kepada pahlawan lokal bernama Trent Alexander-Arnold (21). Bek kelahiran West Derby, Liverpool, ini telah memberikan pijakan kokoh bagi ”The Reds” untuk mengakhiri penantian selama tiga dekade dalam perburuan gelar juara Liga Inggris itu.
Pijakan tersebut diperoleh The Reds di Stadion King Power seusai mengalahkan Leicester City, 4-0, Jumat (27/12/2019) dini hari WIB. Dengan mengalahkan Leicester yang berada di peringkat kedua klasemen sementara, Liverpool semakin memperkokoh posisinya di puncak klasemen. Mereka kini mengantongi 52 poin dan meninggalkan Leicester dengan jarak 13 poin.
Liverpool menjadi tim kedua setelah Manchester United yang mampu memimpin klasemen sementara dengan keunggulan 13 poin pada saat boxing day atau ketika liga baru separuh jalan pada akhir Desember. MU melakukannya pada musim 1993-1994 dan kemudian menjadi juara.
Pada musim 2017-2018, Manchester City juga bisa menjuarai liga ketika unggul 12 poin pada saat boxing day. Chelsea bahkan bisa menjadi juara meski ”hanya” unggul 9 poin pada pertengahan musim 2005-2006. Catatan sejarah ini kemudian menggoda banyak pihak untuk segera menyimpulkan bahwa perburuan gelar pada musim ini telah berakhir dan Liverpool tinggal menunggu waktu untuk mengangkat trofi.
”Liverpool sudah tidak bisa dihentikan. Apa yang sudah mereka lakukan sangat menakutkan,” ujar eks pemain Arsenal, Thierry Henry, dikutip Metro. Liverpool sudah merebut trofi Liga Champions, Piala Super UEFA, dan Piala Dunia Antarklub, tetapi Henry meyakini Liverpool belum selesai mencari penampilan terbaiknya.
Kemenangan telak atas Leicester itu menjadi bukti bahwa Liverpool selalu memperbarui standar permainan mereka ke level yang sulit dijangkau lawan-lawannya. Leicester sebagai klub terkuat kedua di bawah The Reds, untuk sementara, terbukti tidak berdaya di kandang sendiri.
Striker Leicester, Jamie Vardy, yang merupakan pencetak gol terbanyak di Liga Inggris saat ini pun sampai frustrasi. Klub berjuluk ”Si Rubah” malam itu hanya mampu melepaskan tembakan sebanyak tiga kali dan tidak ada satu pun yang tepat mengarah ke gawang Liverpool. The Reds bukan klub seperti Southampton yang bisa dibantai Leicester, 0-9, atau Newcastle United yang dikalahkan, 0-5.
Stadion King Power malam itu bisa berubah menjadi ”neraka” bagi Leicester tidak lain karena penampilan epik Alexander-Arnold, seorang eks anak gawang di Stadion Anfield yang kini disebut-sebut sebagai bek kanan terbaik di dunia. Ia berjasa dalam setiap gol yang dicetak The Reds malam itu. Operannya kepada Roberto Firmino pada menit ke-31 berbuah gol pertama. Pada menit ke-71, bola hasil tendangan pojoknya mengenai tangan bek Leicester, Caglar Soyuncu, dan Liverpool mendapat tendangan penalti yang berhasil dieksekusi James Milner.
Alexander-Arnold kembali menunjukkan kelebihannya dalam mencari ruang dan mengoper bola dengan akurasi tinggi ketika memberi asis kedua kepada Firmino pada menit ke-74. Ia lalu menutup penderitaan Leicester dengan sebuah gol pada menit ke-78 dan melakukan selebrasi dengan gaya ala Kylian Mbappe (Paris Saint-Germain), bintang berusia 21 tahun yang dirumorkan bakal dibeli Liverpool.
Usia kedua pemain itu sama, tetapi Alexander-Arnold lebih sering tenggelam karena kisah mengenai perjuangan Liverpool selama ini lebih banyak menonjolkan trio Firmino, Sadio Mane, dan Mohamed Salah. Jika berbicara mengenai lini belakang The Reds, Virgil van Dijk yang lebih sering dibicarakan. Alexander-Arnold sering luput dari perhatian, tetapi kini diam-diam menjelma menjadi kreator serangan tim.
Alexander-Arnold telah mencatat delapan asis di Liga Inggris pada musim ini, selisih dua asis di bawah Kevin de Bruyne (Manchester City). ”Dia bermain di posisi full back, tetapi memiliki insting menyerang seperti seorang gelandang. Jangkauan operannya sangat fenomenal,” ujar Pelatih Leicester City Brendan Rodgers.
Meski malam itu Rodgers menelan kekalahan telak, ia ikut merasa bangga melihat perkembangan mantan anak didiknya. Ketika masih melatih Liverpool, Rodgers-lah yang memberikan kesempatan kepada Alexander-Arnold untuk menjalani debut di tim senior pada tahun 2015.
Jangan puas
Bagi Alexander-Arnold, laga di King Power malam itu merupakan penampilan terbaik mereka sepanjang musim ini. ”Kami bisa menguasai permainan dan bisa mencetak empat gol tanpa balas adalah hal yang patut dibanggakan,” ujarnya.
Namun, Pelatih Liverpool Juergen Klopp buru-buru mengoreksi pernyataan bintang mudanya itu. Ia tidak ingin para pemainnya memiliki mental cepat puas dan berusaha mendoktrin para pemain untuk terus mencari penampilan terbaik mereka pada setiap laga.
”Kami tampil luar biasa saat menghadapi Manchester City atau Arsenal. Kami telah tampil bagus pada beberapa laga musim ini. Namun, saya tidak yakin (laga kontra Leicester) ini lebih baik. Mungkin hanya sedikit berbeda,” kata Klopp, dikutip Four Four Two. Intinya, Klopp ingin timnya menjaga konsistensi mengingat mereka masih memiliki 20 laga lagi hingga akhir musim.
Klopp juga tidak ingin para pemainnya sibuk memikirkan poin atau posisi yang mereka raih. Mereka dalam waktu dekat masih harus menghadapi Wolverhampton Wanderers, Sheffield United, Everton, Tottenham Hotspur, dan Manchester United. ”Rasanya gelar juara masih belum bisa dipastikan,” ujarnya.
Penantian panjang rupanya telah mengajari Liverpool untuk selalu waspada bahwa Liga Inggris bisa sangat kejam. Klopp dan para pemainnya pun telah memiliki mentalitas yang tepat, yaitu bersabar dan selalu merasa belum menampilkan yang terbaik.
Rodgers pun memberi nasihat bahwa keunggulan 13 poin yang dimiliki Liverpool merupakan jaring pengaman yang kuat untuk merebut gelar juara musim ini. ”Namun, itu semua bisa saja hilang seketika,” kata Rodgers yang gagal mempersembahkan gelar juara bagi Liverpool musim 2013-2014 meski sempat menguasai puncak klasemen.
Pada era Rodgers itu, Alexander-Arnold masih menjadi anak gawang yang menyaksikan tim kebanggaannya gigit jari. Namun, tugas Alexander-Arnold saat ini sudah berbeda. Ia tidak lagi diminta untuk memungut bola lagi, tetapi trofi. (AP/AFP/REUTERS/BBC)