Pengaruh generasi milenial, yakni mereka yang lahir pada periode 1980-2000,makin kentara beberapa tahun terakhir. Mereka tak hanya menjadi juru bicara untuk generasinya, tetapi juga motor perubahan bagi zamannya.
Oleh
SOELASTRI/ESTER LINCE NAPITUPULU/BUDI SUWARNA
·4 menit baca
Gelombang pengaruh kaum milenial makin kentara di Indonesia beberapa tahun terakhir. Mereka tak hanya menjadi juru bicara untuk generasinya, tetapi juga motor perubahan bagi zamannya. Fenomena menguatnya pengaruh generasi milenial, yakni mereka yang lahir pada periode 1980-2000, bisa kita baca sepanjang 2019.
Di sektor politik, kekuatan pemilih milenial pada pemilu presiden dan pemilu legislatif 2019 sangat menentukan karena jumlah mereka sekitar separuh dari total pemilih. Tidak hanya itu, jumlah calon legislator dari kelompok milenial juga cukup signifikan. Pada Pileg DPR 2019 saja, ada 1.543 caleg milenial dari total 7.968 caleg. Angka ini tidak jauh dari jumlah caleg milenial pada Pileg 2014, yang berkisar di angka 1.600-an.
Kaum milenial juga punya kekuatan dalam demokrasi ”jalanan”. Hal itu terlihat saat terjadi gelombang unjuk rasa mahasiswa secara serentak di beberapa daerah untuk menolak pengesahan beberapa RUU yang dianggap kontroversial pada September 2019. Unjuk rasa itu tak cuma efektif memaksa parlemen menunda pengesahan beberapa RUU itu, tapi juga menghadirkan cara-cara baru yang lebih segar dalam mengekspresikan aspirasi politik.
Generasi milenial membungkus suara kritis dengan canda khas anak muda pada poster-poster yang mereka bawa, seperti ”Drama Korea Tidak Lebih Asyik dari Drama DPR” atau ”Ga Papa Make Up Ku Luntur asal Jangan Keadilan yang Luntur”. Fenomena ini tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia.
Sejumlah anak muda milenial yang bergerak secara paralel di dunia nyata ataupun maya juga muncul sebagai pemuka pendapat (opinion leader). Mereka bisa saja seorang aktivis yang rajin muncul di media sosial. Bisa pula seorang influencer, selebgram, atau youtuber.
Otoritas mereka sebagai pemuka pendapat cenderung ditentukan oleh intensitas kehadiran di dunia maya, konten yang kreatif, dan banyaknya jumlah pengikut. Hal ini sangat berbeda dari pemuka pendapat pada era sebelumnya yang otoritasnya ditentukan oleh rekam jejak, pengetahuan di bidang politik, atau posisi dalam struktur sosial.
Di bidang sosial, peran kaum milenial makin kentara dalam membangkitkan solidaritas sosial. Hal ini bisa dilihat dari makin banyaknya komunitas yang menjadi jembatan antara orang yang ingin membantu dan orang yang perlu dibantu, seperti Foodbank Indonesia, Berbagi Nasi, dan Berbagi Buku. Kehadiran aplikasi penggalangan dana dan solidaritas seperti kitabisa.com makin memperkuat aksi-aksi altruis semacam itu.
Belakangan ini juga tumbuh kesadaran di kalangan anak muda untuk berperan dalam kampanye pelestarian lingkungan dan budaya. Sikap altruis, peduli pada alam dan budaya, serta keinginan untuk berperan untuk kebaikan kini tumbuh di kalangan milenial sebagai sesuatu yang keren dan punya efek ”wow”.
Di ranah budaya populer, beberapa anak muda membawa banyak perubahan pada lanskap dunia tulis-menulis. Perubahan itu mencakup mekanisme produksi dan distribusi. Dulu penulis mesti merenung dan melakukan riset untuk membuat buku.
Kini penulis dari generasi milenial bisa memulai menulis buku dengan melempar pertanyaan ke media sosial dan mengukur serta menganalisis respons dari pengikutnya. Dari situ, penulis seperti Marchella FP, yang tadinya tidak ada di ”peta penulis” Indonesia, bisa tiba-tiba muncul dengan bukunya yang laku 130.000-an kopi.
Sebagai respons
Doktor komunikasi politik Idi Subandy Ibrahim melihat gelombang pengaruh yang dibawa kaum milenial merupakan respons atas ideologi pasar bebas yang mendominasi cara berpikir kita selama ini. ”Ada pergeseran kesadaran yang kuat dari isu-isu ekonomi ke kualitas hidup dan solidaritas. Ada perasaan bahwa hidup itu bukan melulu mengejar materi, tapi juga berbagi. Ini sedang tumbuh di kalangan anak muda,” kata Idi.
Fenomena ini sekaligus respons anak muda terhadap visi ekonomi dan politik yang kaku dan formal. ”Kekakuan ini mereka lawan dengan fleksibilitas dalam berpikir dan bertindak. Dengan cara ini, mereka mampu mengubah banyak kebijakan pemerintah dan membuat tren,” kata Idi.
Gelombang pengaruh yang dibawa kaum milenial menjadi kuat lantaran jumlah mereka yang sangat besar baik sebagai produsen maupun konsumen. Sesuai data profil generasi milenial Indonesia 2018, yang diterbitkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik, jumlah warga milenial pada 2017 mencapai 33,75 persen (88 juta) dari 262 juta penduduk. Sisanya, pascamilenial 29,24 persen, generasi X 25,74 persen, dan baby boomer 11,27 persen. Dengan jumlah sebesar itu, mereka bisa menjadi penentu tren.
Kekakuan ini mereka lawan dengan fleksibilitas dalam berpikir dan bertindak.
Kemampuan menjadi penentu tren ditunjang teknologi digital yang melekat dalam keseharian mayoritas kaum milenial. Data KPPA 2018 menunjukkan, 91,62 persen kaum milenial adalah pengguna aktif telepon seluler. Media sosial yang tertanam dalam telepon seluler kini menjadi pusat ”peradaban” warga digital. Dari situ, semua orang bisa mengikuti aneka fenomena yang terus bergerak di dunia digital yang punya visibilitas tinggi.
Aksi sosial sekecil apa pun, misalnya membantu orang menyeberang jalan, berpeluang sama dengan aksi besar untuk menarik perhatian, memengaruhi, bahkan menggerakkan orang lain dengan cepat.
Gelombang pengaruh kaum muda kemungkinan akan terus menguat beberapa tahun ke depan karena jumlah warga muda akan membesar seiring dengan bonus demografi yang mulai dinikmati Indonesia tahun 2020. Faktor penunjang lainnya adalah akses internet yang semakin rata dan leburnya batas-batas antara dunia maya dan dunia nyata.