Batu dan Mesiu di Tahun Pilu
Kondisi wilayah Polda Metro Jaya selama 2019 berdasarkan data di atas kertas aman-aman saja. Namun, polisi perlu mengevaluasi cara menghadapi aksi massa dan mencegah korban tewas sia-sia.
Mei dan September 2019 Jakarta mencekam. Unjuk rasa damai berakhir kerusuhan. Hujan batu dan petasan bergantian dengan berondongan gas air mata. Ban bekas, mobil, sepeda motor, dan pos polisi hangus terbakar.
Sampai hari ini, bekas kerusuhan September masih ada. Pos Polisi Pejompongan belum diperbaiki sama sekali, sedangkan Pos Polisi Palmerah sedang diperbaiki.
Kerusuhan pada 21-22 Mei berawal dari unjuk rasa menolak hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 untuk memilih presiden-wakil presiden serta anggota legislatif. Aksi terpusat di depan Gedung Bawaslu di Jalan MH Thamrin. Setelah peserta unjuk rasa membubarkan diri pada malam hari, datang kelompok lain yang menyulut kerusuhan. Kerusuhan merembet ke wilayah yang berdekatan, yakni Slipi dan Petamburan.
Kerusuhan itu menyebabkan sembilan orang tewas, bahkan beberapa di antara korban tewas adalah anak-anak (di bawah 18 tahun). Delapan korban tewas terkena peluru tajam dan satu korban akibat luka di kepala.
Kerusuhan yang diawali unjuk rasa damai kembali terjadi pada 24 September 2019. Unjuk rasa pada September dilakukan mahasiswa dan pelajar dengan tuntutan menolak pengesahan sejumlah rancangan undang-undang. Unjuk rasa berpusat di sekitar Kompleks Gedung DPR, Senayan.
Menjelang malam, massa melakukan perusakan pada fasilitas umum, seperti Gerbang Tol Senayan, pos polisi lalu lintas di depan kantor Kementerian Pemuda dan Olahraga, serta pos polisi di Palmerah dan Pejompongan.
Meskipun tidak ada korban tewas, cara polisi menangani unjuk rasa akhir September itu menimbulkan kecaman. Polisi dianggap menggunakan kekerasan melampaui batas. Bukan hanya para pengunjuk rasa yang mengalami kekerasan, warga biasa, petugas medis dan ambulans, serta wartawan juga tak luput dari kekerasan dan intimidasi.
Di tengah derasnya kecaman, kepolisian mengungkap rencana komplotan yang hendak menunggangi unjuk rasa September. Komplotan itu akan meledakkan bom molotov dan bom rakitan berdaya ledak tinggi untuk menciptakan kerusuhan di Jakarta seperti tragedi Mei 1998.
Baca juga : Sembuhkan Luka Politik Identitas
Di ujung tahun 2019, sosok auktor intelektualis di balik kerusuhan Mei dan September belum terungkap. Masalah itu seolah terlupakan begitu saja oleh isu-isu lain yang bermunculan di Tanah Air.
Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia Muhammad Mustofa, Kamis (26/12/2019), mengungkapkan, masalah kamtibmas yang menonjol di Jakarta tahun 2019 adalah kerusuhan pasca-pemilihan presiden (pilpres), sedangkan kejahatan jalanan relatif normal.
Masalah kamtibmas yang menonjol di Jakarta tahun 2019 adalah kerusuhan pasca-pilpres, sedangkan kejahatan jalanan relatif normal.
Mustofa meyakini bahwa polisi sudah mengidentifikasi siapa yang bertanggung jawab dalam kerusuhan tersebut. Secara profesional, polisi mampu mengungkap dalang di balik kerusuhan.
”Tapi ini politik level tinggi, jadi suka ditunda. Apalagi sudah terjadi rekonsiliasi pimpinan puncak. Seolah kalau diutak-atik bisa tidak nyaman. Harusnya fokus ke peristiwa ketika ada korban (meninggal). Level di atas biar saja itu urusan politik. Warga yang keluarganya menjadi korban pasti mempertanyakan,” tutur Mustofa.
Baca juga : Api dalam Sekam Bernama Perbedaan
Psikolog forensik serta Kepala Bidang Pemantauan dan Kajian Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Reza Indragiri berpendapat, menakar kinerja polisi berdasarkan filosofi perpolisian demokratis yang dianut mantan Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian dan dilanjutkan di era Kepala Polri Jenderal (Pol) Idham Azis.
Reza mengatakan, dalam filosofi perpolisian demokratis, polisi harus bisa menahan diri untuk tidak menjadi organisasi partisan, tetapi pada saat yang sama harus memastikan demokratisasi berjalan. Tidak mudah bagi polisi untuk konsekuen pada filosofi tersebut. Pada pilkada serentak dan pilpres, banyak intelektual beranggapan, polisi masih butuh waktu untuk benar-benar melaksanakan perpolisian demokratis.
Menurut Reza, polisi boleh menggunakan kekerasan dalam situasi abnormal demi menegakkan demokratisasi. Namun, penggunaan kekerasan oleh polisi harus sesuai prosedur, tidak boleh salah sasaran, harus terukur, dan tidak boleh eksesif.
”Filosofi itu yang mendorong agar dilakukan pemeriksaan melibatkan dua pihak, yaitu pihak eksternal dan internal kepolisian (dalam kasus kerusuhan Mei dan September). Dalam kasus kerusuhan September, ketika media memberitakan sudah terjadi penggunaan kekerasan secara eksesif, khususnya terhadap anak-anak, pelajar, mahasiswa, kok kita tidak melihat transparansi yang cukup untuk meyakinkan publik bahwa penanganan kekerasan sudah proporsional,” ucapnya.
Baca juga : Politik Identitas yang Masih Meninggalkan Luka
Relatif aman
Namun, di luar kritik dari para ahli tersebut, berdasarkan data yang dirilis Polda Metro Jaya, situasi keamanan di wilayah Polda Metro Jaya tahun 2019 secara umum lebih baik dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Gatot Eddy Pramono dalam jumpa pers akhir tahun di Markas Polda Metro Jaya, Jumat (27/12/2019), mengungkapkan, selama Januari-Desember 2019, situasi di wilayah Polda Metro Jaya aman dan terkendali tanpa kejadian menonjol.
”Jumlah crime total (jumlah tindak pidana) tahun 2019 menurun, sedangkan jumlah crime clearance (penyelesaian tindak pidana) meningkat,” kata Gatot yang baru saja naik pangkat dan sebentar lagi akan menjabat Wakil Kepala Polri.
Jumlah crime total (jumlah tindak pidana) tahun 2019 menurun, sedangkan jumlah crime clearance (penyelesaian tindak pidana) meningkat.
Meskipun demikian, Kapolda mengakui, terjadi dinamika situasi keamanan dan ketertiban di wilayah Polda Metro Jaya, terutama di Jakarta, terkait tahapan pemilu legislatif dan pemilu presiden pada 17 April 2019.
”Dengan perencanaan pengamanan yang baik didukung TNI dan masyarakat, semua tahapan pemilu dapat berjalan lancar dan sampai sekarang situasi kondusif. Pengamanan Idul Fitri dan Natal juga aman dan kondusif. Tidak ada kejadian menonjol, termasuk kecelakaan lalu lintas dan kriminalitas,” ujarnya.
Baca juga : Membaca Kebijakan di Anggaran DKI
Kapolda menyebut tiga kasus menonjol yang berhasil ditangani Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, yaitu pembunuhan ayah dan anak di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, yang mayatnya dibakar di Sukabumi; kasus mafia tanah dan apartemen fiktif; serta kasus perumahan syariah fiktif. Kasus menonjol yang juga ditangani Ditreskrimsus adalah penyelundupan barang-barang dari China dengan kerugian negara mencapai puluhan miliar rupiah.
Sementara Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya selama November-Desember 2019 menangkap 42 tersangka dengan barang bukti 746,8 kilogram ganja, 26,2 kilogram sabu, 4.528 butir ekstasi, 4,5 kilogram heroin, 704 butir Hi-Five, dan 2,5 gram ketamin. Polisi terpaksa menembak sembilan tersangka karena melawan.
Penangkapan tersangka teroris di wilayah Polda Metro Jaya sebanyak enam orang pada 12 November 2019. Penangkapan dilakukan Densus 88 dibantu Polda Metro Jaya. Kelima tersangka teroris berbaiat kepada pemimpin ISIS, Abu Bakar al-Baghdadi, dan mengikuti latihan militer di Gunung Ciremai, sedangkan satu tersangka merupakan pelatih pembuat bom.
Baca juga : Satu Dekade Perubahan, Segudang Pekerjaan Menanti di Depan
Menurut Reza Indragiri, setiap tahun Polri selalu merilis data kejahatan dibandingkan dengan tahun lalu. Apabila angka kejahatan turun, maka situasi aman, padahal tidak selalu seperti itu. Ketika jumlah laporan kejahatan turun, jangan-jangan kepercayaan masyarakat ikut turun.
”Jadi, bukan kabar baik kalau kita bicara jumlah kejahatan saja. Tidak cukup menginformasikan kepada publik tahun 2019 terjadi kasus kejahatan apa saja dengan jumlah sekian. Tapi penanganannya seperti apa, termasuk berapa jumlah kasus yang P21 (berkas perkara dinyatakan lengkap oleh kejaksaan) dan berapa lama waktu penyelesaiannya,” tuturnya.
Reza menjelaskan, penegakan hukum yang baik adalah yang memunculkan efek jera. Efek jera muncul jika penegakan hukum dilakukan secara ajek (teratur) dan cepat.
Muhammad Mustofa menambahkan, ketika jumlah penduduk meningkat, kriminalitas juga meningkat. Untuk mengurangi kejahatan adalah dengan meningkatkan patroli. Patroli adalah tulang punggung pekerjaan polisi, tetapi bisa dibantu dengan teknologi, seperti kamera CCTV.
Baca juga : Jakarta yang Sibuk, Bodetabek yang ”Cuek”
”Persoalannya adalah bagaimana polisi bisa merespons kejahatan secara cepat. Artinya, terintegrasi antara sistem dan polisi patroli. Karena di Indonesia masih konvensional, harusnya setiap polisi patroli punya kontak langsung dengan pusat pengendali operasi. Tidak perlu melalui jalur komando, tapi melalui sistem yang langsung memberi tahu petugas patroli,” paparnya.
Kondisi wilayah Polda Metro Jaya selama 2019 berdasarkan data di atas kertas aman-aman saja. Namun, untuk mencapai rasa aman yang paripurna, masih banyak yang harus dibenahi. Polisi perlu mengevaluasi cara menghadapi aksi massa dan mencegah korban tewas sia-sia. Semoga tahun pilu seperti 2019 tak terulang.