Politik Identitas yang Masih Meninggalkan Luka…
Politik identitas, baik pada kontestasi Pilkada DKI 2017 maupun Pilpres 2019, menyisakan luka mendalam dan mengoyak toleransi umat beragama. Dengan pemantik sedikit saja, api dapat menyulut bara dalam sekam.

Mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Penegak Pancasila membawa spanduk untuk mengenalkan nilai Pancasila saat hari bebas kendaraan bermotor di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Minggu (15/12/2019).
Politik identitas, baik pada kontestasi Pilkada DKI 2017 maupun Pilpres 2019, menyisakan luka mendalam dan mengoyak toleransi umat beragama. Menjaga kerukunan umat beragama merupakan pekerjaan sulit yang terus-menerus dilakukan. Dengan pemantik sedikit saja, api dapat menyulut bara dalam sekam.
Apalagi bagi Jakarta, kota yang dianggap sebagai miniatur Indonesia. Di Jakarta, berbagai identitas, termasuk kelompok mayoritas dan minoritas, membaur menjadi satu. Tidak ada satu kelompok pun boleh mengklaim paling berhak menguasai Jakarta. Sebab, Jakarta adalah ibu kota negara, kota milik dan untuk bersama.
Kompleksitas masyarakat yang hidup dan bernaung di Jakarta pun menjadi tantangan tersendiri bagi pemimpin daerah. Banyaknya interaksi yang terjadi dalam masyarakat yang heterogen membuat masyarakat membutuhkan sosok gubernur yang piawai. Kepiawaiannya terutama dibutuhkan untuk mendukung kemajuan toleransi di daerahnya.
”Kalo Ahok yg gelar acara ini, gimana reaksi FPI n HTI yaa…??? Menag Puji Anies Baswedan Gelar Christmas Carol Jelang Natal.”
Demikian cuitan salah satu akun di jagat Twitter, Jumat (20/12/2019). Sudah lebih dari dua setengah tahun sejak pemilihan gubernur-wakil gubernur DKI putaran kedua pada 19 April 2017 dihelat. Namun, masih ada saja pemilik akun medsos yang membenturkan pendukung dua calon gubernur saat itu, Basuki Tjahaja Purnama (ketika itu akrab disapa Ahok) dan Anies Baswedan yang saat ini sudah memimpin DKI selama 802 hari (16 Oktober 2017-27 Desember 2019).
Baca juga: Kisah Toleransi Para Keturunan Pelaut
Entah itu akun milik pendukung fanatik Basuki atau merupakan akun beridentitas palsu yang memanfaatkan rasa kecewa berkepanjangan barisan yang belum bisa ”move on”. Motifnya bisa jadi murni karena kecewa, tetapi ada juga yang untuk mendapat perhatian khalayak di alam maya, kemudian dikonversi jadi rupiah (cuitan tadi disukai 683 akun dan dicuit ulang 142 akun). Yang jelas, ia membuktikan, perseteruan pendukung Basuki dan pendukung Anies masih laku dijual.

Pengunjung beraktivitas di Pasar Toleransi dalam Festival Relawan 2019 yang berlangsung di Jakarta, Sabtu (14/12/2019). Dalam Pasar Toleransi, pengunjung diajak berinteraksi dengan 24 komunitas dengan bermacam latar belakang yang menyuarakan keberagaman dan kepedulian pada kehidupan sosial, pendidikan, dan lingkungan.
Ini juga jadi bukti masih langgengnya intoleransi di antara kubu yang berseberangan. Perseteruan pendukung Basuki kontra Anies sangat kentara terkait dengan perbedaan identitas, utamanya identitas agama. Anies merupakan Muslim dan meraih dukungan suara dari kelompok-kelompok berbasis agama Islam, sedangkan Basuki, gubernur DKI 2014-2017, beragama Kristen dan berasal dari etnis Tionghoa.
Konflik tak terhindarkan lantaran beredarnya rekaman berisi pidato Basuki di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016 yang dinilai menghina Islam. Namun, keterbelahan posisi soal ada-tidaknya unsur penistaan agama pada pidato Basuki tidak hanya muncul di antara umat berbeda agama, tetapi juga di dalam kalangan umat Islam sendiri.
Basuki memilih menerima vonis hakim yang menyatakan ia bersalah dalam perkara penodaan agama dan mendekam di penjara dua tahun lamanya. Sebelumnya, ia dengan legawa menerima kemenangan pasangan Anies-Sandiaga Uno, bahkan sejak baru dinyatakan oleh hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei.
Baca juga: Perkuat Moderasi Beragama di Berbagai Lini
Masih intoleran
Setara Insitute, lembaga nirlaba yang berfokus pada penelitian, advokasi masalah demokrasi, kebebasan politik, dan hak asasi manusia (HAM), menilai Jakarta masih menjadi kota intoleran jika dibandingkan 94 kota lainnya di Indonesia. Klaim tersebut didasarkan pada Indeks Kota Toleran tahun 2018 yang dirilis pada November 2019.

Direktur Riset Setara Institute Halili
Menurut Direktur Riset Setara Institute Halili, Selasa (10/12/2019), Jakarta termasuk kota intoleran nomor tiga terbawah versi Indeks Kota Toleran (IKT) Setara Institute. Jakarta berada pada peringkat ketiga terbawah setelah Tanjung Balai dan Banda Aceh. Jakarta mendapatkan poin 2.880, Banda Aceh 2.817, dan Tanjung Balai di posisi terbawah dengan 2.817. IKT memeringkat 94 kota berdasarkan sembilan indikator yang ditetapkan. Indikator itu di antaranya regulasi pemerintah kota, tindakan pemerintah, regulasi sosial, dan demografi agama.
Tentang regulasi pemerintah kota, misalnya, indikator yang digunakan adalah sejauh mana Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) mengakomodasi kepentingan kelompok minoritas. Selain itu, juga pembentukan produk hukum dan pendukung lainnya serta ada tidaknya kebijakan yang diskriminatif yang dikeluarkan kota tersebut.
”Melihat indeks kota toleran ini tidak hanya dari lapisan pemerintah atau regulatornya saja, tetapi juga lapisan masyarakatnya. Oleh karena itu, ketika indeks toleransinya rendah, pemerintahnya jangan dulu kebakaran jenggot,” ujar Halili.
Melihat indeks kota toleran ini tidak hanya dari lapisan pemerintah atau regulatornya saja, tetapi juga lapisan masyarakatnya. Oleh karena itu, ketika indeks toleransinya rendah, pemerintahnya jangan dulu kebakaran jenggot.
Dilihat dari lapisan pemerintah (state layer), Halili melihat tidak ada terobosan signifikan, baik pernyataan publik maupun tindakan nyata, selama kepemimpinan Gubernur DKI Anies Baswedan. Dalam kasus persekusi aktivis media sosial Ninoy Karundeng, tidak ada pernyataan dari Gubernur untuk menepis isu ini. Padahal, kasus tersebut menjadi alarm betapa mudahnya persekusi dilakukan di Jakarta. Ada kelompok tertentu yang merasa paling benar sehingga mampu melakukan persekusi pada seseorang yang dianggap ”berbeda” dengan mereka.
Baca juga: Lima Negara Berkolaborasi Rawat Toleransi
Baca juga: Generasi Toleran Menjaga Kerukunan
”Tanpa ada sikap yang tegas dari Gubernur, Jakarta rawan menjadi tempat paling gampang untuk menyemai narasi identitas, mempersekusi kelompok-kelompok minoritas,” papar Halili.
Selain itu, berdasarkan catatan Setara Institute, Jakarta juga masuk provinsi dengan kasus pelanggaran kebebasan beragama (KBB) nomor dua tertinggi, setelah Jawa Barat. Kasus penolakan pendirian rumah ibadah masih terjadi di Jakarta. Masalah perizinan pendirian Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) Pasar Minggu yang tak kunjung selesai. Solusinya, justru jemaat gereja tersebut menyewa gelanggang olahraga (GOR) di Pasar Minggu untuk beribadah. Selain itu, pada awal 2019 juga ada penolakan pembangunan Gereja Kristen Indonesia (GKI) di tengah permukiman warga mayoritas Muslim di Jagakarsa.

Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi
Sebagai pembanding, Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi justru berhasil menyelesaikan konflik penolakan pembangunan gereja Santa Klara di Bekasi Utara. Pada Agustus 2019, Rahmat meresmikan rumah ibadah yang tertunda pembangunannya selama 21 tahun. Ia bahkan mengeluarkan pernyataan yang sangat keras dan dianggap sebagai simbol perlindungan bagi kelompok minoritas.
Di Bogor, Wali Kota Bima Arya yang terpilih selama dua periode juga berkomitmen untuk menuntaskan konflik gereja Yasmin. Kebijakan untuk melindungi kelompok minoritas itu tertuang dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) ataupun kebijakan lain.
Kota Bogor juga termasuk kota yang merespons positif hasil indeks kota toleran yang dikeluarkan oleh Setara Institute. Setelah dua tahun, yaitu 2015 dan 2018, masuk dalam 10 besar kota intoleran, kini terlihat komitmen dari kepala daerahnya untuk berbenah. Ada komitmen dari kepala daerah untuk menciptakan lingkungan yang memberikan rasa aman kepada kelompok minoritas.
Indeks kerukunan umat beragama
Versi lain, Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) yang dibuat Kementerian Agama merekam perubahan persepsi masyarakat terkait kerukunan umat beragama yang mengiringi Pilkada DKI. Meski Kemenag tidak menyatakan ada hubungannya dengan pemilihan gubernur yang diwarnai isu penodaan agama tersebut, skor DKI dalam Indeks KUB nyata-nyata turun pasca-pilkada.

Tahun 2017, skor DKI 73,9, sedangkan pada 2018 menjadi 70,2. Dibandingkan dengan angka rata-rata nasional, skor DKI tergolong jeblok, dari yang tadinya di atas angka rata-rata nasional (72,2 pada 2017) menjadi di bawah rata-rata (70,9 pada 2018).
Setelah perbedaan identitas meramaikan pertarungan dalam Pilkada DKI 2017, ”senjata” itu kembali dicoba untuk Pilpres 2019. Terdapat organisasi masyarakat berbasis agama yang mendorong publik memilih salah satu calon karena dinilai lebih membela agama daripada yang lain. Upaya juga diikuti dengan demo dan aksi bela agama yang berjilid-jilid di Ibu Kota.

Publik yang lega setelah selesai mencoblos pada 17 April 2019 kembali cemas karena upaya pembelahan rupanya belum usai. Puncaknya, kerusuhan Mei di Jakarta yang mengiringi pengumuman kemenangan pasangan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Ma’ruf Amin oleh Komisi Pemilihan Umum pada 21 Mei 2019.
Kerisauan masih membayangi sampai pelantikan Presiden Jokowi-Wapres Amin tanggal 20 Oktober 2019. Energi terkuras sehabis-habisnya hanya karena berkuasanya rasa takut terhadap ancaman teror, khususnya bagi warga Ibu Kota.
Ketakutan akan ketidakpastian
Melihat fenomena ini, sosiolog perkotaan dari Pusat Kajian Sosiologi Universitas Indonesia, Raphaella Dewantari Dwianto, berpendapat, politikus memainkan peran krusial dalam membentuk opini publik, termasuk mengelola isu toleransi. Para politikus memainkan isu tertentu, seperti ketimpangan ekonomi dan SARA, untuk membentuk musuh bersama (common enemy), demi mendulang simpati dan suara.
Sejarah membuktikan, pada masa Orde Baru, isu yang dimainkan sebagai musuh bersama adalah Tionghoa dan komunis. Namun, lama-kelamaan isu itu semakin tidak laku. Kemudian, dicarilah isu lain yang paling bisa mempersatukan, yaitu isu agama mayoritas.
Baca juga: Kisah Para Pemenang Kehidupan
”Isu SARA yang masih tegas mengotak-kotakkan masyarakat adalah agama. Politik identitas menjadikan ini sebagai kendaraan politik untuk memperoleh kekuasaan,” ujar Riri, sapaan akrab Raphaella.

Sosiolog perkotaan dari Pusat Kajian Sosiologi Universitas Indonesia Raphaella Dewantari Dwianto
Kuatnya pengaruh politik identitas inilah yang berpengaruh terhadap laku intoleransi di masyarakat. Semakin tinggi laku intoleransi, semakin tinggi pula angka pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Padahal, intoleransi merupakan anak tangga pertama gerakan radikalisme. Politik identitas yang dijadikan kendaraan untuk berkuasa juga akan bermuara pada kebijakan publik yang diskriminatif. Sebab, kualitas kebijakan publik bisa dipengaruhi oleh desakan massa.
Lalu, bagaimana arah kebijakan Jakarta saat ini? Publiklah yang menilai.