Ribuan orang merayakan ilmu pengetahuan dengan mengamati langit Medan, Kamis (26/12/2019). Mereka lalu tersenyum riang ketika matahari keemasan mulai tertutup sabit hitam. Gerhana pun disambut sukacita.
Oleh
AUFRIDA WISMI WARASTRI
·5 menit baca
Mengikuti pengamatan gerhana matahari cincin sebagian (90,6 persen) di Kampus Pascasarjana, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, di Medan, Kamis (26/12/2019), seperti mengikuti perayaan massal ilmu pengetahuan. Ribuan orang memandang ke arah matahari dengan kacamata gelap yang dibagikan, lalu tersenyum riang ketika terlihat matahari berwarna kuning tertutup sabit hitam terlihat bersinar.
”Keren, bisa kami lihat,” kata Laila Khirunnisa Nasution (18), mahasiswi Universitas Sumatera Utara jurusan D-3 Bahasa Inggris, yang datang bersama temannya, Idri Nur Ramadhani (18). Kedua gadis itu datang naik sepeda motor dari rumahnya di Deli Tua, Deli Serdang, ke Kampus Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (UMSU) di Medan Denai. Mereka sempat salah tempat, pergi ke Kampus UMSU Jalan Kapten Muchtar Basri. Karena salah tempat itu, mereka datang terlambat.
”Sampai sini sudah mulai,” kata Laila. Namun, ia masih mendapatkan kacamata matahari gratis yang dibagikan pihak UMSU dan menikmati gerhana yang berlangsung hingga sekitar pukul 14.00.
Selain melihat langsung gerhana melalui kacamata matahari, Laila juga memotret gerhana dengan kamera telepon seluler (ponsel). Kamera di ponselnya ditutup kacamata matahari. Setelah terlihat titik gerhana, cekrek, tombol kamera dipencet. Meskipun hasilnya gerhana matahari terlihat mungil dan gambarnya pecah, mereka tetap gembira.
Jika ingin melihat matahari secara langsung terlihat lebih besar, UMSU juga menyediakan beberapa teleskop. Riski (9) dan Rini (12), bocah-bocah dari Medan Denai, ikut mengantre di depan teleskop yang disediakan di halaman kampus. Di teleskop yang disediakan, matahari terlihat sangat besar.
”Bagus sekali. Saya baru pertama kali ini,” kata Rini, siswi kelas VI SD. Selain baru pertama kali menyaksikan gerhana matahari langsung, Rini juga pertama kali melihat benda angkasa dari teleskop.
Di sudut lain, Dwi Utami (20) dan Mutiah Lubis (20) bersama empat temannya dari Fakultas Sains dan Teknologi Jurusan Fisika Universitas Negeri Islam Sumatera Utara (UINSU) antusias mengamati kamera obscura atau kamera lubang jarum terbesar yang dibuat di halaman kampus. Kamera berukuran 7,5 x 15 meter itu dilubangi di atasnya sekitar 1,5 sentimeter. Di bagian bawah kamera raksasa, di layar putih, memantul bayangan gerhana yang terus bergerak ke kiri sejak gerhana berlangsung pada pukul 10.10, puncaknya pada pukul 12.03, dan berakhir pukul 14.00.
Dwi dan Mutiah bahkan tiba di Kampus UMSU sejak pukul 08.30 agar bisa mendapatkan kacamata dan bisa melihat gerhana secara langsung. ”Sebelum ini kami tidak bisa melihat gerhana secara langsung. Kami berterima kasih pada UMSU yang membagikan kacamata sehingga kami bisa melihat langsung,” kata Mutiah. Melihat langsung itu penting bagi Mutiah dan kawan-kawan karena ada mata kuliah falak di jurusannya.
Pengamatan gerhana di UMSU diselenggarakan oleh Observatorium Ilmu Falak (OIF) UMSU. Sebelum dilaksanakan pengamatan, dilakukan terlebih dulu shalat gerhana dan pembagian 3.000 kacamata matahari gratis. Pembagian kacamata matahari gratis itu menjadi ajang pemecahan rekor Muri sebagai pembuatan kacamata matahari terbanyak.
Selain itu, dibuat pula instrumen astronomi klasik yang bernama kamera lubang jarum terbesar dengan ukuran 7,5 x 15 meter.Kamera lubang jarum terbesar itu juga masuk rekor Muri. ”Kami hendak mengedukasi masyarakat dan pelajar hari ini yang mulai melupakan hal-hal klasik, ilmiah, dan memiliki histori yang panjang, yakni edukasi sains sederhana, yang bisa dilakukan siapa saja tanpa biaya besar,” kata Kepala IOF UMSU Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar.
Kamera lubang jarum adalah dasar kamera digital dan kamera ponsel. Fotografi modern yang saat ini dinikmati anak-anak muda, seperti kamera digital dan kamera ponsel tidak datang tiba-tiba, tetapi melalui eksperimen, uji coba berulang-ulang. Uji coba dilakukan manusia sejak zaman dahulu. ”Kami hendak memperkenalkan bahwa proses itu semua dimulai dari yang instrumen sederhana,” kata Arwin.
Kami hendak memperkenalkan bahwa proses itu semua dimulai dari yang instrumen sederhana.
Selain menyediakan 3.000 kacamata matahari dan kamera lubang jarum, OIF juga menyediakan 5 unit teleskop yang bisa digunakan warga, 1 unit bonokuler, dan tampilan streaming teleskop perekaman gerhana dari teleskop penelitian yang dipasang di lantai 7 gedung UMSU. Streaming terpampang di layar lebar di halaman UMSU. Warga berbondong-bondong mengantre berfoto di layar itu.
Salah satu yang berfoto adalah Wiwik Dwi (57), warga Karya Budi, Medan, yang datang bersama adik dan keponakannya. Ia datang sebelum pukul 09.00 lalu mengikuti shalat gerhana. Setengah jam kemudian gerhana mulai terlihat. ”Saya terharu akan kebesaran Allah dan kekuasaan-Nya yang tidak terbatas,” kata Wiwik yang baru pertama kali itu melihat gerhana matahari secara langsung.
Saya terharu akan kebesaran Allah dan kekuasaan-Nya yang tidak terbatas.
Biasanya ia mendapat kiriman gambar dari orang. ”Memang beda melihat langsung dan melihat dari gambar. Saya terharu begitu bisa melihat secara langsung,” kata Wiwik dengan mata berkaca-kaca. Ia juga bersyukur bisa mendapatkan kesempatan melihat gerhana matahari langsung.
Arwin mengatakan, ke depan IOF UMSU akan lebih meluaskan pengamatan dan pengabdian pada masyarakat. Selain itu, pihaknya juga terus mengenalkan benda langit ke masyarakat dengan berupaya membangun pusat pengamatan benda langit di Barus, Tapanuli Tengah. Lokasinya tidak jauh dengan Tugu Titik Nol Peradaban Islam yang diresmikan Presiden Joko Widodo, beberapa waktu lalu.
Pihaknya juga akan membuka Program Studi Ilmu Falak atau Astronomi di UMSU. ”Tahun depan sudah menerima mahasiswa baru,” kata Arwin.
Rektor UMSU Agussani mengatakan, di Sumatera Utara, OIF hanya ada di UMSU. Sudah berkali-kali OIF menyelenggarakan pengamatan benda langit terbuka, baik gerhana matahari maupun gerhana bulan. ”Kami sudah diakui oleh pemerintah sebagai pusat penelitian astronomi,” kata Agussani.
Keunggulan yang dimiliki oleh OIF itu yang disampaikan ke masyarakat dalam pengamatan kali ini. ”Ini merupakan bagian dari komitmen kami supaya OIF dirasakan oleh masyarakat dan bermuara pada kecintaan akan kekuasaan Allah,” kata Agussani. Untuk itu, pihaknya akan mengembangkan kerja sama keilmuan lebih luas lagi pada banyak lembaga, baik di dalam maupun di luar negeri.
Riski, Rini, Mutiah, dan kawan-kawannya bisa jadi akan tertawa jika tahu generasi sebelumnya dulu, pada tahun 1983, saat gerhana matahari total melintasi Jawa, narasi tentang risiko kebutaan sangat kuat, seperti dilaporkan Kompas di tahun itu. Akibatnya, warga justru ramai-ramai masuk rumah karena takut melihat gerhana. Kini, gerhana matahari dirayakan anak-anak muda sebagai perayaan ilmu pengetahuan.