Ziarah sehari sebelum Natal menjadi tradisi warga Manado. Malam Natal mempersatukan mereka kembali dalam rasa cinta dan kebersamaan.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·3 menit baca
Dengan sabar Juricho Mamahit (44) membimbing putri bungsunya menyalakan lilin di atas sebuah makam. Lilin-lilin itu disusun membentuk salib untuk menerangi dua nisan di depannya. Juricho tak dapat lagi melihat wujud kedua orangtuanya. Namun, malam Natal mempersatukan mereka kembali dalam rasa cinta dan kebersamaan.
Selasa (24/12/2019) itu adalah Natal kedelapan orangtuanya berpulang. Sejak itulah tak ada lagi tradisi pasiar (singgah) ke rumah orangtua untuk makan dan berkumpul bersama. ”Dulu kami selalu rayakan Natal bersama. Namun, di sinilah rumah Papa dan Mama sekarang,” kata Juricho saat berziarah di Pekuburan Teling, Manado, Sulawesi Utara.
Ayah Juricho meninggal pada November 2011, disusul kepergian sang ibu pada Februari 2012. Kedua jenazah dimakamkan dalam satu liang lahat dan hanya dipisahkan dinding cor. Di depan dinding batu nisan, Juricho dan anak-anaknya meletakkan segenggam bunga krisan, sekantong kue, beserta lilin-lilin yang menyala. Meski bersikap takzim, raut wajah keluarga itu jauh dari duka. Mereka berswafoto di depan makam itu.
Juricho bukan satu-satunya yang berziarah ke makam orangtua. Sejak sore hingga malam hari, pekuburan ramai dipadati ribuan orang. Selepas berdoa, mereka membersihkan makam sembari merasakan kembali kenangan dengan orang-orang terkasih yang lebih dulu berpulang.
Ziarah sehari sebelum Natal menjadi tradisi warga Manado. Salah seorang peziarah, Bobby, memaknainya seperti mengunjungi rumah saudara. Selain malam Natal, warga juga berziarah pada malam pergantian tahun atau pada tanggal kematian kerabat terkait. ”Kami berdoa supaya mereka (arwah keluarga) tetap mengawasi. Namun, kalau mau menyayangi dari jauh saja, jangan sampai mengganggu kami yang di sini,” kata Bobby.
Makam berundak
Salah seorang peziarah, Nova Raintung (45), berkunjung ke sebuah kubur berundak tiga lapis. Kubur itu menjadi peristirahatan terakhir ayah, paman, dan ibunya. Sementara itu, kubur nenek Nova terletak dua petak dari situ. Sejarawan sekaligus budayawan Universitas Sam Ratulangi, Ivan Kaunang, melihat ada kondisi penguburan di sana yang unik. Satu liang kubur dapat diisi lebih dari satu jenazah. Menurut dia, cara itu dilakukan lebih sebagai antisipasi atas masalah keterbatasan lahan.
Kematian memang tidak dapat direncanakan. Namun, pada abad ke-19, orang masih dapat bebas memilih lokasi untuk menjadi calon waruga alias makamnya nanti. Di masa kini, harga tanah makam semakin mahal. Satu titik berharga Rp 3 juta-Rp 5 juta, bahkan semakin strategis lokasinya bisa mencapai puluhan juta rupiah. Kubur tumpuk pun menjadi alternatif.
Bagi Juricho yang menguburkan ayah dan ibunya di Pekuburan Teling, kubur tumpuk bukanlah masalah. Saat berkunjung pun ia tidak harus jauh-jauh berjalan. Ia dapat menziarahi beberapa arwah sekaligus dalam satu tempat. Apalagi papa dan mamanya meninggal dalam waktu yang berdekatan. ”Sepertinya mereka tidak bisa saling berjauhan. Menurut saya, inilah cinta sejati,” katanya.