Kompleksitas Tanah Negara
Dalam rangka menyamakan interpretasi tentang tanah negara, sudah saatnya pemerintah menerbitkan peraturan tentang pengelolaan dan pemanfaatan tanah negara.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F12%2F2a84aa01-9929-43fb-8f36-fe773c3753dd_jpg.jpg)
Suasana Perumahan Griya Pasaleman di Desa Pasaleman, Kecamatan Pasaleman, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Senin (16/12/2019). Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Cirebon menetapkan lokasi perumahan tersebut melanggar tata ruang. Padahal, pihak pengembang telah menempuh prosedur pembebasan lahan hingga mendirikan bangunan.
Konstruksi hukum tanah negara menjadi penting dalam kaitannya dengan penentuan kapan terjadi dan hapusnya suatu hak atas tanah. Penafsiran yang tidak tepat dapat membawa konsekuensi hukum.
Pengertian tanah negara menurut Peraturan Pemerintah (PP) No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah adalah “tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah”. Dalam tataran empiris, cakupan tanah negara itu tidak meliputi tanah hak, tanah ulayat, tanah wakaf, dan tanah-tanah yang dikuasai secara sah walaupun belum bersertifikat.
Secara garis besar ruang lingkup tanah negara meliputi dua kategori, yakni (1) tanah yang belum pernah dilekati dengan sesuatu hak atas tanah, dan (2) tanah yang sudah pernah dilekati dengan sesuatu hak atas tanah, tetapi karena suatu perbuatan hukum, peristiwa hukum, atau undang-undang, kembali menjadi tanah negara.
Baca Juga: Ibu Kota Baru Hanya Menggunakan Tanah Negara
Ada juga tanah negara yang terjadi karena peristiwa alam, misalnya tanah timbul, atau karena buatan manusia (tanah reklamasi). Demikian juga, tanah-tanah yang berasal dari pelepasan kawasan hutan dan belum dimohonkan hak atas tanah, tanah bekas tambang, dan tanah kelebihan maksimum dan absentee termasuk dalam pengertian tanah negara.
Dalam tataran empiris, cakupan tanah negara itu tidak meliputi tanah hak, tanah ulayat, tanah wakaf, dan tanah-tanah yang dikuasai secara sah walaupun belum bersertifikat.
Terjadinya dan hapusnya hak
Hak atas tanah dapat terjadi karena penetapan pemerintah atas dasar permohonan suatu hak atas tanah di atas tanah negara. Setelah semua syarat dipenuhi, terbitlah Surat Keputusan (SK) Pemberian Hak. Sejak kapan hak itu timbul?
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F12%2F20190909_092214_1569750086.jpg)
Plang milik Kementerian PUPR di sempadan Situ Gunung Putri, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Senin (9/9/2019), yang menyebutkan bahwa area situ merupakan tanah negara. Sebagian area di situ ini menjadi objek sengketa yang melibatkan masyarakat pemilik dokumen tanah dengan pemerintah.
Hak atas tanah timbul karena adanya hubungan hukum antara subyek/ pemegang hak dan obyek/hak atas tanah, yang melahirkan kewenangan bagi pemegang hak untuk melakukan suatu perbuatan hukum terhadap tanahnya (Pasal 2 Ayat (2) huruf b dan c, yis Pasal 4 Ayat (2) dan Pasal 16 Ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria/UUPA).
SK Pemberian Hak membebankan kewajiban bagi pemohon untuk mendaftarkan tanahnya. Kapan pemegang hak punya kewenangan melakukan perbuatan hukum terhadap tanahnya?

Pada saat hak atas tanah sudah didaftar (terbit sertifikatnya), saat itulah pemegang hak berwenang melakukan perbuatan hukum terkait hak atas tanahnya karena sudah ada kepastian hukum terkait pemegang hak, macam hak, dan obyek hak (letak, luas, dan batas-batasnya).
Hak atas tanah dapat juga terjadi karena UU, misalnya karena ketentuan konversi menurut UUPA. Berbeda dengan penetapan pemerintah, konversi adalah perubahan dari hak atas tanah yang sudah ada sebelum UUPA menjadi suatu hak atas tanah sesuai dengan UUPA.
Dalam hal ini, haknya atau hubungan hukumnya sudah ada, tetapi karena perintah UU harus dirubah menjadi suatu hak atas tanah sesuai dengan UU (yang baru). Demikian juga untuk tanah-tanah (bekas) hak milik adat.
Hubungan hukumnya sudah ada, tetapi untuk penuntasan administrasinya dibedakan antara tanah yang ada dan tidak ada bukti haknya.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F09%2Fkompas_tark_16236860_134_2.jpeg)
Kawasan Bidaracina, Jatinegara, Jakarta Timur, yang rencananya akan dibangun pintu air sodetan sungai Ciliwung, namun terkendala pembebasan lahan, Kamis (10/9/2015). Warga Bidaracina mengajukan gugatan kelompok (class action) terkait tanah tempat tinggal mereka yang diklaim milik Pemprov DKI ke pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Terhadap tanah yang ada bukti haknya, diberikan SK Penegasan Hak, dan terhadap tanah yang tidak ada bukti haknya hubungan hukum antara yang bersangkutan dengan tanahnya didasarkan pada penguasaan fisik tanah dan pemenuhan kriteria sesuai peraturan perundang-undangan. Kepada yang bersangkutan diberikan SK Pengakuan Hak.
Hak atas tanah dapat terjadi karena penetapan pemerintah atas dasar permohonan suatu hak atas tanah di atas tanah negara.
Perjanjian juga dapat menimbulkan hak atas tanah, misalnya pemberian Hak Milik (HM), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai (HP) di atas tanah Hak Pengelolaan (HPL) dan pemberian HGB atau HP di atas tanah HM.
Hapusnya hak atas tanah disebabkan oleh berbagai hal, yakni karena:(1) jangka waktu berakhir dan tidak diperpanjang atau diperbarui; (2) dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena suatu syarat tidak dipenuhi; (3) dilepaskan sebelum jangka waktunya berakhir; (4) dicabut untuk kepentingan umum; (5) ditelantarkan; (6) tanahnya musnah; dan (7) melanggar ketentuan Undang-undang, misalnya karena ketidak sesuaian antara pemegang hak dan hak atas tanahnya.
Dengan hapusnya hak atas tanah, maka tanahnya menjadi tanah negara; hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanahnya sudah tidak ada lagi. Tetapi karena hukum tanah nasional menganut asas pemisahan horizontal, hubungan hukum antara bekas pemegang hak dengan benda-benda yang ada di atas tanah yang bersangkutan masih ada.

Hujan yang mengguyur saat perjalanan menuju lokasi calon ibu kota negara baru di kawasan konsesi hak pengusahaan hutan (HPH) PT ITCI, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, membuat jalan tanah yang berkelok-kelok dan berkontur naik turun licin dan hanya bisa dilewati oleh mobil bergardan ganda, Selasa (17/12/2019).
Isu krusial
Pertama, ganti kerugian untuk pengadaan tanah yang diberikan kepada bekas pemegang hak, dengan bukti sertifikat yang sudah berakhir haknya (Pasal 23 Ayat (2) huruf a Perpres No 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum). Perpres tersebut mengategorikan bekas pemegang hak sebagai pihak yang menguasai tanah negara dengan itikad baik.
Yang menjadi masalah, dalam hal tersebut di atas, hubungan antara bekas pemegang hak dengan tanahnya sudah tak ada lagi. Bekas pemegang hak itu sudah tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap tanahnya, sehingga logikanya yang bersangkutan tidak berhak menerima ganti kerugian.
Yang menjadi masalah, dalam hal tersebut di atas, hubungan antara bekas pemegang hak dengan tanahnya sudah tak ada lagi.
Ganti kerugian hanya diberikan kepada pihak yang mempunyai hubungan hukum dengan tanahnya; bisa dibuktikan dengan sertifikat, atau surat sewa-menyewa tanah, SK Landreform, Surat izin Garapan atau surat penunjukan kavling pengganti. Termasuk bagi pihak yang menguasai dan menggunakan tanah dengan itikad baik secara turun-temurun dalam jangka waktu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dapat diberikan ganti kerugian.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F10%2F20191002ZAK16_1570017237.jpg)
Warga memagari lahan yang berada di area pembangunan sirkuit MotoGP di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, Kuta, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Rabu (2/10/2019). Pemagaran itu sebagai bentuk protes warga kepada pihak PT Pengembangan Pariwisata Indonesia (Persero) atau Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) yang tidak mau melunasi lahan seluas 72,11 are.
Kata kuncinya adalah, ganti kerugian diberikan kepada pihak yang masih punya hubungan hukum dengan tanahnya. Pemberian ganti kerugian kepada yang berhak sebagai akibat berlakunya suatu UU (Landreform, Nasionalisasi, dan lain-lain) itu didasarkan pada masih adanya hubungan hukum antara pemegang hak dengan tanahnya.
Jika hubungan hukum antara pemegang hak dengan tanahnya berakhir, maka hak (keperdataan) atas tanahnya sudah berakhir, tetapi hubungan hukumnya dengan benda-benda yang ada di atas tanah yang bersangkutan, masih ada.
Kedua, lamanya waktu penguasaan tanah dengan itikad baik yang melahirkan suatu hak. Pasal 24 Ayat (2) PP No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menyebutkan jangka waktu 20 tahun atau lebih secara berturut-turut penguasaan bidang tanah, di samping harus didasari dengan itikad baik dan persyaratan lain.
Perpres No 62 Tahun 2018 tentang Penanggulangan Dampak Sosial Kemasyarakatan dalam Rangka Penyediaan Tanah untuk Pembangunan Nasional, dalam Pasal 5 menyebutkan persyaratan penguasaan tanah secara fisik paling singkat 10 tahun secara terus-menerus bagi pihak yang menguasai tanah negara, atau tanah yang dimiliki oleh pemerintah/pemda, BUMN/ BUMD dan memenuhi kriteria serta persyaratan tertentu, diberikan santunan. Terdapat perbedaan jangka waktu antara yang diatur PP dan perpres.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F12%2F69842385.jpg)
Lokasi pembangunan jalan tol Aceh-Sumatera Utara dimulai dari Blang Bintang, Aceh Besar-Sigli. Saat ini, lokasi pembangunan sudah ditentukan, seperti terlihat pada Senin (3/9/2018). Namun, pembebasan lahan terhambat karena sejumlah warga menolak nilai ganti rugi yang ditentukan panitia pembebasan lahan.
Ketiga, dalam Pasal 7 Ayat (1) huruf a Perpres No 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria (RA) disebutkan bahwa terkait dengan HGU dan HGB yang sudah berakhir jangka waktunya dan tidak dimohonkan perpanjangan atau pembaruannya, dalam jangka waktu satu tahun setelahnya baru dapat efektif berlaku sebagai objek reforma agraria. Ketentuan ini hendaknya dimaknai sebagai pemberian kesempatan kepada bekas pemegang HGU/HGB untuk mengosongkan tanahnya, dan tidak ditafsirkan lain.
Berbagai contoh di atas menunjukkan bahwa peraturan yang tak dilandasi dengan konsep yang obyektif-rasional dan yang tak konsisten itu berpotensi menyulitkan para pelaksana di lapangan, sehingga perlu diluruskan. Dalam rangka menyamakan interpretasi tentang tanah negara, sudah saatnya pemerintah menerbitkan peraturan tentang pengelolaan dan pemanfaatan tanah negara.
(Maria SW Sumardjono Guru Besar Fakultas Hukum UGM dan Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia)