Kemenangan Partai Konservatif di Inggris, yang mempercepat proses Brexit, dan tercapainya kesepakatan tahap pertama AS-China mempertegas perubahan pola perjanjian dagang: dari basis multilateral menjadi bilateral.
Oleh
Benny D Koestanto
·5 menit baca
Kemenangan Partai Konservatif di Inggris, yang mempercepat proses Brexit, dan tercapainya kesepakatan tahap pertama AS-China mempertegas adanya perubahan pola perjanjian dagang: dari basis multilateral menjadi bilateral.
Kemenangan kubu Partai Konservatif dalam pemilihan umum di Inggris dan tercapainya kesepakatan tahap pertama antara Amerika Serikat dan China dalam perang dagang kedua negara itu menarik perhatian menjelang berakhirnya tahun 2019. Di luar dinamika politik yang mengiringi, dua peristiwa itu menjadi penegas tentang berubahnya sistem perdagangan dunia.
Kemenangan besar Partai Konservatif mempertegas hasil referendum Brexit 2016. Lebih banyak rakyat Inggris yang ingin negara mereka meninggalkan Uni Eropa (UE). Raihan kursi parlemen Partai Konservatif pada pemilu tahun ini juga menjadi perolehan mayoritas terbaik mereka sejak era 1980-an. Partai Konservatif meraih 365 dari 650 kursi.
Keluarnya Inggris dari UE (Brexit) dijanjikan segera beres oleh Perdana Menteri Boris Johnson. Brexit, jargon yang diusung Johnson. Padahal, sebagaimana disajikan media The New York Times, hasil pemilu itu sesungguhnya menyajikan fase kompleks lain dalam proses ”perceraian” Inggris dengan UE. Negosiasi atas syarat hubungan ekonomi Inggris dan UE di masa depan akan segera dimulai.
Dalam periode yang berurutan di AS, Presiden Donald Trump mengumumkan tercapainya kesepakatan tahap pertama antara Washington dan Beijing. Perjanjian fase pertama itu mencakup sejumlah aspek, yakni hal-hal yang berhubungan dengan perlindungan kekayaan intelektual, teknologi, mata uang, dan jasa keuangan.
Robert Lighthizer, Kepala Perwakilan Dagang AS (USTR), mengungkapkan, tambahan 50 miliar dollar AS berupa pembelian produk pertanian AS oleh China dijabarkan tertulis dalam perjanjian itu. China juga berkomitmen meningkatkan pembelian minimal 200 miliar dollar AS hingga dua tahun mendatang. Hal itu mencakup produk manufaktur, pertanian, sektor energi, dan jasa layanan. Namun, diingatkan kesepakatan itu tidak serta-merta akan otomatis menyelesaikan masalah yang memicu perang dagang di antara kedua negara.
Para ekonom mengatakan, pengumuman soal pembelian produk pertanian hanya mencerminkan barang-barang yang sudah pernah dibeli China. Itu artinya, kedua negara kemungkinan akan terus mencari alternatif untuk bertukar barang dan investasi lewat perdagangan bilateral. Perusahaan yang membuat barang di China akan menghadapi tekanan untuk menjelajahi negara lain, khususnya yang menimbulkan gangguan pada rantai pasokan global.
Publik harus sadar, perjanjian dagang Inggris dengan UE plus peliknya negosiasi dagang Washington-Beijing menjadi peringatan bagi perjanjian dagang multilateral. Tatanan yang dibangun sejak berakhirnya Perang Dunia II itu bisa saja berakhir, minimal berubah, dengan sikap-sikap yang dipilih ala Inggris dan AS. Perjanjian dagang disyaratkan, dinegosiasikan, dan disepakati dalam basis pertemuan antarnegara satu lawan satu, tidak melalui jalur multilateral.
Kesepakatan perdagangan itu rumit dan sulit. Penawaran memakan waktu bertahun-tahun. Tidak ada kombinasi dari transaksi dagang yang kemungkinan akan memberikan kompensasi kepada Inggris sepenuhnya saat meninggalkan UE sebagai pasar tunggal. Trump pun telah menabuh genderang perang dengan negara-negara lain, termasuk Jerman. Jerman menjual jauh lebih banyak barang ke AS daripada impor sehingga memantik kemarahan Trump.
Tekanan ekonomi
Ketegangan perdagangan dan polarisasi politik menandai tahun 2019. Pada periode yang sama, inflasi rendah dan suku bunga rendah juga membayangi. Investasi telah melemah di seluruh dunia sekalipun sektor perumahan tetap solid. Pelemahan juga terjadi di sektor manufaktur dan pertanian, tetapi sektor ritel tetap relatif stabil. Dengan perkembangan-perkembangan terbaru secara global, apa yang dapat dan diperkirakan terjadi pada tahun 2020?
Selama Januari-Oktober 2019, ekspor China ke AS turun 12 persen dibandingkan dengan periode serupa pada 2018. Pada saat yang sama, impor China dari AS turun 25 persen. Defisit perdagangan AS-China hanya terkoreksi 4 persen tetapi tetap lebih buruk dari 2017. Sementara itu, total perdagangan China tercatat masih surplus secara global dengan kenaikan 0,7 persen selama tiga triwulan tahun ini. Ekonom Morgan Stanley & Co memperkirakan, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) AS hanya 1,8 persen pada tahun 2020, di bawah rata-rata 2,2 persen.
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi China tahun 2020 diperkirakan melemah lebih lanjut karena hambatan, termasuk hambatan dari perang dagang dengan AS dan regulasi keuangan yang lebih ketat. Pertumbuhan PDB akan moderat menjadi 5,8 persen tahun depan, lebih lambat dari perkiraan 6,1 persen untuk 2019.
Dukungan kebijakan yang diintensifkan menjadi kebutuhan untuk menopang perekonomian. Kebijakan fiskal kemungkinan fokus pada pembangunan infrastruktur dan pengurangan pajak. Jika kondisi tetap juga tidak membaik, kemungkinan terjadinya resesi semakin besar.
Bank DBS dalam proyeksinya menyatakan, pemilihan umum, populisme, kerusuhan sipil, perubahan iklim, geopolitik, hingga keamanan siber bakal menjadi faktor-faktor yang berkelindan dengan data ekonomi untuk mendorong sentimen pasar pada 2020. Perang dagang dan gangguan teknologi diperkirakan berlanjut.
Pada sisi positifnya, bank-bank sentral global akan menjaga likuiditas dan suku bunga dipatok rendah, dan ada kenaikan relatif terukur pada harga komoditas, dan kebijakan fiskal di sebagian besar negara akan memainkan lebih banyak peran proaktif guna mendorong permintaan. Sebuah skenario optimistis memerlukan minimnya pelambatan ekonomi di AS dan China serta rotasi pertumbuhan dari negara maju ke negara berkembang.
Morgan Stanley meramalkan bahwa pertumbuhan global akan pulih mulai dari triwulan I-2020 dan seterusnya karena ketegangan perdagangan berkurang, membalikkan tren penurunan tujuh kuartal terakhir. Goldman Sach juga berpendapat relatif sama dengan perkiraan pelambatan pertumbuhan global sejak awal 2018 akan segera berakhir, kondisi keuangan lebih mudah, dan eskalasi perdagangan berakhir.
Pertumbuhan yang sedikit lebih baik, risiko resesi yang terbatas, dan kebijakan moneter yang bersahabat diharapkan memberikan latar belakang yang layak untuk pasar keuangan pada awal tahun 2020.