Badan Narkotika Nasional Kabupaten Banyumas menemukan peredaran minuman oplosan yang disebut ”kunyit” dalam sejumlah razia di rumah kos.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·3 menit baca
PURWOKERTO, KOMPAS — Badan Narkotika Nasional Kabupaten Banyumas menemukan peredaran minuman oplosan yang disebut ”kunyit” dalam sejumlah razia di rumah kos. Minuman oplosan tersebut memiliki efek seperti mengonsumsi narkotika jenis sabu. Masyarakat diimbau waspada terhadap peredarannya.
”Salah satu efek yang dirasakannya mirip-mirip seperti sabu karena kandungannya ada yang bersifat penguat atau stimulan. Kalau nelayan bisa berlayar semalaman tanpa capek-capek, kalau bekerja di tempat hiburan, semalaman bisa fit,” kata Kepala Badan Narkotika Nasional(BNN) Kabupaten Banyumas Agus Untoro, Jumat (27/12/2019), di Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah.
Salah satu efek yang dirasakannya mirip-mirip seperti sabu karena kandungannya ada yang bersifat penguat atau stimulan.
Agus menyampaikan, minuman oplosan ini ditemukan tatkala BNN menggelar razia kepada sejumlah pemandu lagu di rumah kos di Purwokerto. Ada tiga pemandu lagu yang urinenya terindikasi positif mengandung methamphetamine atau sabu. Setelah ditelusuri, mereka tidak mengonsumsi sabu, tetapi minum ”kunyit”, minuman oplosan yang didapat dari tamu mereka dan dikemas dalam botol minuman berenergi. ”Dari informasi yang didapatkan, harga per botol ”kunyit” ukuran 150 mililiter Rp 250.000,” ujar Agus.
Atas temuan itu, BNN Banyumas kemudian mengirimkan sampel minuman ”kunyit” ke Laboratorium Forensik Polda Jateng. Dari hasil laboratorium, ”kunyit” mengandung pseudoephedrine, guaifenesin, acetaminophen, caffeine, chlorpheniramine, dan dextromethorphan. ”Berdasarkan Lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, pseudoephedrine termasuk dalam kategori prekusor narkotika atau bahan pembuatan narkotika,” kata Agus.
Agus menyebutkan, temuan tersebut akan dilaporkan ke Direktorat Preskursor Deputi Pemberantasan BNN untuk pengembangan lebih lanjut. Nama kunyit memiliki konotasi minuman herbal atau jamu, tetapi minuman oplosan ini bukanlah jamu. ”Masyarakat Banyumas yang mengonsumsi dan memproduksi minuman ’kunyit’ agar segera menghentikan karena risiko kesehatan dan dampak hukum yang mungkin dapat ditimbulkan dari konsumsi minuman ini,” katanya.
Dokter Wily Gusta Fianto, dokter umum di Klinik Adiksia Medika BNN Banyumas, mengatakan, dalam ilmu kedokteran, pseudoephedrine biasa disebut obat flu dan banyak dijual bebas. ”Namun, ini sering disalahgunakan sebagai obat atau precursor untuk membuat sabu sintetis. Ini bisa untuk membuat methamphetamine. Efeknya akan muncul happy, bahagia, dan kecanduan,” kata Wily.
Kepala Seksi Pencegahan dan Pemberdayaan Masyarakat BNN Banyumas Wicky Sri Erlangga menambahkan, selain ditemukan di tiga pemandu lagu, minuman ”kunyit” juga ditemukan pada dua rekan tersangka pengedar sabu di Banyumas. ”Minuman ini diproduksi perorangan,” ucap Wicky. Selain di Banyumas, peredarannya juga sudah mencapai wilayah kabupaten tetangga, yaitu Purbalingga.
Wicky juga menyampaikan, pada 2019 ini BNN Banyumas merehabilitasi 174 orang. Dari jumlah itu, 118 orang adalah pelajar dengan rentang usia 12-18 tahun. Sebagian besar dari pelajar tersebut mengonsumsi obat keras, seperti alprazolam dan dextroamphetamine. ”Dulu anak-anak muda mabuk pakai minuman keras. Sekarang mereka tidak mau karena bau, panas, dan pahit. Sekarang mereka mencari yang lebih mudah, cari di warung ada. Ini dijual legal, mereka tidak merasa ini melanggar hukum, dan harganya relatif murah, terjangkau kantong mereka,” ucapnya.