Diiringi lagu We Wish You A Merry Christmas, Aminah Fitriani (20) menyalami para suster di Biara Santa Maria, Kota Cirebon, Jawa Barat. Perempuan berjibab itu lalu mengobrol dan makan bersama dengan suster di bawah rimbun pepohonan. Terik mentari Rabu (25/12/2019) siang itu, terasa sejuk.
Beberapa kali terdengar tawa ketika mereka berbincang. Sesekali diselingi foto bersama lalu kembali menyantap hidangan yang tersaji. Ada bakso, siomay, sate, juga es putar. Beragam menu itu berasal dari pedagang kaki lima yang kerap menjadi langganan Sekolah Santa Maria.
Aminah dan teman-temannya merupakan anggota Pelita atau Pemuda Lintas Iman. Forum itu berisi pemuda dari berbagai agama dan kepercayaan di Cirebon dan sekitarnya. Kali ini, Pelita menghadiri undangan open house dari Yayasan Santo Dominikus Cabang Cirebon.
“Sebenarnya saya dimarahi ibu ke sini. Tetapi, saya bilang, mau silaturahmi dan enggak ikutan ibadahnya. Jadi, enggak apa-apa,” kata mahasiswa semester V Jurusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir IAIN Syekh Nurjati Cirebon tersebut. Ini kali pertama ia mengunjungi tempat yang berdekatan dengan Pelabuhan Cirebon itu.
Selain suka dengan sajian makanan yang dihidangkan, Aminah juga menyukai keramahan para suster. Ia diterima meski berbeda secara keyakinan. “Pluralisme itu kayak batik, beragam motif tapi indah,” kata Aminah menjelaskan perasaannya saat itu.
Keramahan serupa juga pernah ia rasakan ketika berkunjung ke komunitas Konghucu beberapa waktu lalu. Ketika itu, ia menjalankan tugas mata kuliah Pendidikan Multikultural. Kini, ia mempraktikkan hasil belajarnya tanpa iming-iming nilai dari dosen.
Fikriyatul (20), anggota Pelita lainnya, juga baru kali pertama berinteraksi sejauh ini dengan para suster. Tidak ada perdebatan tentang agama, hanya cerita kuliah dan tentu saja makanan. “Saya baru sadar, Indonesia itu seperti ini, berbeda-beda tetapi tetap satu. Saya ke sini untuk sulaturahmi, kan setahun sekali,” kata teman satu jurusan Aminah ini.
Siti Khotimah (20), anggota Pelita lainnya, mengatakan, kedatangannya yang kedua kali dalam acara open house tersebut hanyalah salah satu bentuk toleransi. “Saya mau melanjutkan harmonisasi antarumat beragama di Cirebon. Kan, ruang kami terbatas. Di kuliah, semuanya orang Islam,” ungkap mahasiswa Jurusan Tadris Ilmu Pengetahuan Sosial IAIN Syekh Nurjati tersebut.
Ketua Pelita Haryono (25) mengatakan, open house tersebut menjadi kesempatan bagi pemuda lintas agama untuk mendengar pengalaman kehidupan para suster. “Sehingga, nanti, mereka tidak kaget saat bersinggungan dengan pemeluk agama lain. Ini rutin kami lakukan setiap tahun,” kata Haryono yang datang mengenakan sarung.
Lupa
Beberapa hari sebelum Natal, sejumlah anggota Pelita juga membantu dekorasi persiapan Natal di Gereja Santo Yusuf Cirebon. Mei lalu, Pelita juga turut serta dalam acara buka puasa bersama di Wihara Welas asih, Kota Cirebon. Ibu Sinta Nuriyah Wahid hadir saat itu.
Bagi Paigem (65), nenek yang menjual es putar, open house menambah rezekinya. Satu galon es berisi potongan nangka seharga Rp 500.000 ludes dibeli oleh panitia acara.
“Sudah dua hari ini, saya bisa jual habis dua galon setiap hari. Sebelumnya hanya satu galon. Saya sudah lebih lima kali di sini saat Natal,” kata Paigem yang berharap menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci lima tahun lagi itu.
Suster Albertine (50) mengapresiasi kunjungan tamu lintas iman dalam acara tersebut. Kehadiran mereka, katanya, turut menyejukkan kehidupan di Cirebon yang dikenal sebagai “Kota Wali”.
Toleransi di Cirebon telah ia rasakan setiap hari selama lebih dari 18 tahun. “Siswa dan karyawan di sini ada Muslim, Buddha, Kristen, dan Hindu. Bahkan, guru senior saya itu seorang haji. Kalau Lebaran saya ke tempatnya. Sebaliknya, saat Natal, beliau ke sini,” katanya dengan suara parau.
Suster Albertine bahkan mengaku, kerap mengingatkan karyawannya yang Muslim untuk shalat Jumat. “Kami hampir lupa bahwa kami berbeda dalam hal iman tetapi satu dalam kemanusiaan,” ucapnya diiringi senyum.
Marzuki Wahid dkk dalam bukunya Menggagas Fiqh Ikhtilaf, Potret dan Prakarsa Cirebon mengatakan, gerakan Pelita yang diinisiasi Fahmina Institute merupakan salah satu bentuk perjuangan menjaga kerukunan di Cirebon. Meskipun sejak berabad-abad silam Cirebon dikenal sebagai kota toleran, kota di perbatasan Jabar-Jawa Tengah ini tergolong zona merah atau darurat terorisme.
Setidaknya 28 warga Cirebon dan sekitarnya diduga sebagai teroris pada 2011-2018. Bahkan, pada April 2011, bom meledak di masjid di Markas Kepolisian Resor Kota Cirebon. Pelakunya, Syarif, warga setempat.
Itu sebabnya, kata Albertine, open house Natal itu diharapkan bisa membuka tembok-tembok perbedaan antara pemeluk agama. Jadi, yang terbuka buka rumah saja, tetapi pikiran juga hati. Selamat Natal.