Natal tak sekadar sukacita umat Kristiani mengenang kisah kelahiran Yesus Kristus, tetapi juga hari istimewa untuk berbagi kebahagiaan. Natal kian terasa istimewa saat melihat mereka yang selama ini terpinggirkan bisa ikut bergembira dan tertawa lepas.
Di hadapan meja bundar, Lukas (50) duduk satu meja dengan sembilan ibu-ibu. Mereka menyantap es krim mangkuk yang menjadi kudapan akhir setelah makan siang di sebuah restoran megah di kawasan Penjaringan, Jakarta Utara, Rabu (25/12/2019). Kemarin jadi hari yang spesial bagi Lukas. Pasalnya, Natal tahun ini ia rayakan bersama keluarga yang baru saja ia kenal dalam kegiatan Makan Siang Natal bersama komunitas Sant’Egidio.
Kesembilan ibu-ibu yang didampingi Lukas dalam acara Makan Siang Natal itu umumnya berasal dari keluarga kurang mampu. Sebagian dari mereka tinggal di lapak-lapak pinggir jalan atau rumah bedeng di sudut-sudut ibu kota Jakarta. ”Merayakan Natal dengan keluarga itu sudah biasa. Yang luar biasa jika menjumpai saudara-saudara kita, membantu memberikan kesempatan kepada sesama untuk bersukacita,” ujarnya.
Dari sekitar 600 tamu yang hadir dalam acara itu, selain dari keluarga tak mampu, ada juga anggota komunitas difabel dan imigran pencari suaka. Salah seorang dari tamu itu adalah Mak Eem, yang tinggal di Kedoya, Jakarta Barat. Perempuan yang sehari-hari berdagang dan mengasuh cucunya yang berkebutuhan khusus itu bahagia bisa diundang ke perjamuan istimewa tersebut.
Koordinator Nasional Komunitas Sant’Egidio Indonesia, Respati Teguh Budiono, mengatakan, makan bersama dengan keluarga kurang berkecukupan ini mereka adakan setiap minggu sebagai bentuk pelayanan. Dalam beberapa kesempatan, komunitas itu juga mengadakan makan bersama saat bulan puasa atau Lebaran.
”Acara seperti ini bukan soal agama, melainkan persahabatan dan kekeluargaan. Mereka ada yang mencari nafkah dengan jadi pemulung atau orang jalanan. Tidak banyak yang mau memperhatikan mereka,” ujar Respati. Komunitas pemuda Katolik itu tidak hanya membangun persahabatan dengan warga yang kurang mampu, tetapi juga dengan komunitas lintas agama, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Gembira
Suasana penuh persaudaraan juga terlihat di Aula Panti Asuhan Vincentius Putra, Kramat, Jakarta Pusat. Ratusan anak dari 11 panti asuhan lintas agama di Jakarta dan sekitarnya, kemarin, larut dalam kegembiraan di tempat itu. Mereka diundang Keuskupan Agung Jakarta untuk makan siang bersama setelah umat Katolik merayakan misa Natal. Sebelum makan bersama, anak-anak panti itu dihibur dengan berbagai jenis permainan dan diajak bernyanyi bersama.
Agatha (19), salah satu dari ratusan anak panti itu, tak henti melambaikan tangannya saat diajak bersama-sama menyanyikan berbagai lagu anak. Baginya, momen itu spesial karena ia bisa bertemu dengan banyak teman dan bernyanyi bersama. ”Senang banget karena bisa berkumpul bersama anak-anak panti. Bisa dapat kado Natal, dan yang paling penting punya banyak teman,” kata remaja kelahiran Flores, Nusa Tenggara Timur, itu.
Nuansa persaudaraan juga terasa ketika Aminah Fitriani (20) menyalami para suster di Biara Santa Maria, Kota Cirebon, Jawa Barat. Aminah lalu mengobrol dan makan bersama dengan para suster di bawah rimbun pepohonan. Terik mentari siang itu pun terasa sejuk. Aminah dan teman-temannya adalah anggota Pelita atau Pemuda Lintas Iman. Forum itu berisi pemuda beberapa agama dan kepercayaan di Cirebon dan sekitarnya. Kali ini, Pelita menghadiri undangan open house dari Yayasan Santo Dominikus cabang Cirebon.
”Sebenarnya saya dimarahi Ibu ke sini, tetapi saya bilang mau silaturahmi dan tidak ikut ibadahnya. Jadi, tidak apa- apa,” kata mahasiswa semester V Jurusan Ilmu Al Quran dan Tafsir IAIN Syekh Nurjati Cirebon itu. Aminah menyukai keramahan para suster. Ia merasa diterima meski punya keyakinan berbeda. ”Pluralisme itu seperti batik, beragam motif, tetapi indah,” katanya menjelaskan perasaannya saat itu. Keramahan yang sama pernah ia temukan ketika berkunjung ke komunitas Khonghucu.
Beberapa hari sebelumnya, sejumlah anggota Pelita membantu dekorasi persiapan Natal di Gereja Santo Yusuf, Cirebon. Mei lalu, Pelita juga turut serta dalam acara buka puasa bersama di Wihara Welas Asih, Kota Cirebon. Saat itu, acara tersebut dihadiri Ibu Sinta Nuriyah Wahid, istri presiden keempat, Abdurrahman Wahid.
Toleransi di Cirebon telah dirasakan suster Albertine (50) setiap hari selama lebih dari 18 tahun. ”Siswa dan karyawan di sini ada Muslim, Buddha, Kristen, dan Hindu. Guru senior saya adalah haji. Jika Lebaran, saya ke tempatnya. Sebaliknya, saat Natal, beliau ke sini,” katanya dengan suara parau. ”Kami berbeda dalam hal iman, tetapi satu dalam kemanusiaan,” ujar Suster Albertine sambil tersenyum. (STEFANUS ATO/ERIKAKURNIA/FIKRI ASHRI)