Menghindari Perlambatan Ekonomi
Terlihat ada ironi besar di mana Presiden Jokowi banyak berbicara soal pengembangan sektor riil, namun kementerian terkait sektor riil justru lebih banyak diisi oleh para politisi. Bisa jadi perlu perombakan kabinet.
Beberapa bulan lalu, Larry Summer, mantan menteri keuangan AS, menyebut tahun ini sebagai tahun paling berbahaya di sektor keuangan setelah krisis 2008. Komentar ini muncul di tengah kekuatiran terjadinya resesi global di 2020.
Kantor Berita Bloomberg Economics pada Oktober lalu merilis model untuk memperkirakan kemungkinan terjadinya krisis dalam setahun ke depan. Dalam perhitungan bulan Desember, kemungkinan AS menuju resesi dalam 12 bulan ke depan hanya 29 persen, naik sedikit dari 27 persen pada November 2019.
Meski risiko resesi meningkat, gejala imbal hasil negatif yang pernah menghantui pasar keuangan AS sudah mulai reda. Bahkan perkembangan terakhir sudah mulai positif, artinya imbal hasil surat utang jangka pendek lebih rendah dibandingkan jangka panjang.
Jika tekanan di pasar keuangan mereda, tidak begitu di sektor riil. Angka Purchasing Manager Index (PMI) global sebagai indikator sektor riil sudah berada di bawah 50, menandai terjadinya perlambatan ekonomi. Kalaupun tak terjadi resesi pada 2020, situasi perekonomian global mengalami fase perlambatan akut. Masalahnya, stimulus tak lagi bisa diberikan mengingat sudah hampir semua amunisi dikeluarkan.
Suku bunga tak bisa diturunkan lagi karena sudah terlalu rendah, sementara insentif fiskal sudah tak bisa diberikan karena utang pemerintah sudah terlalu tinggi. Suku bunga di beberapa negara sudah negatif, seperti di Swedia minus 0,25 persen, Denmark dan Swiss minus 0,75 persen, Jepang minus 0,1 persen, serta suku bunga Bank Sentral Eropa (ECB) minus 0,5 persen. Sementara, rasio utang pemerintah terhadap perekonomian (PDB) di negara maju sudah sangat tinggi, misalnya Jepang sudah mencapai 238 persen, Yunani 181 persen, Italia 134 persen dan AS 106 persen.
Bahkan ketika suku bunga sudah negatif sekalipun, perekonomian masih saja stagnan. Pada fase ini, stagnasi akan melumpuhkan sisi penawaran (supply side crisis), sementara dampak krisis 2008 yang meruntuhkan sisi permintaan belum sepenuhnya teratasi. Akibatnya, perlambatan ekonomi global akan berlangsung panjang dan masa depan akan diwarnai ketidakpastian.
Direktur Eksekutif Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva dalam pidato pelantikannya pada 1 Oktober 2019 menyebut perekonomian global tengah mengalami perlambatan secara menyeluruh (synchronized slowdown). Dampaknya akan menjalar ke seluruh negara, tanpa ada yang bisa menghindarinya.
Pada fase ini, stagnasi akan melumpuhkan sisi penawaran (supply side crisis), sementara dampak krisis 2008 yang meruntuhkan sisi permintaan belum sepenuhnya teratasi. Akibatnya, perlambatan ekonomi global akan berlangsung panjang dan masa depan akan diwarnai ketidakpastian.
Dua disrupsi
Mengapa perekonomian global macet parah dan nyaris tak bergerak? Perang dagang China-AS sering disebut sebagai pangkal persoalan yang menimbulkan implikasi di berbagai aspek. Mulai dari penurunan arus perdagangan, merosotnya investasi, perlambatan produksi, hingga pertumbuhan global yang terkoreksi. Sikap proteksionis Presiden AS Trump ternyata bukan anomali, sebaliknya merupakan fenomena baru yang terjadi di banyak negara.
Kemenangan kubu Boris Jonhson dalam pemilu Inggris akan mempercepat Brexit. Berkembangnya politik anti-globalisasi memperumit pemulihan ekonomi global, karena tak lagi bisa dilakukan koordinasi. Kebijakan ekonomi tak mampu mengatasi stagnasi, karena masalahnya berpangkal dari situasi politik.
Sejak krisis 2008, dunia menghadapi dua disrupsi besar. Pertama, disrupsi politik di mana aliran ultra-nasional terus menjalar di banyak negara, khususnya Eropa dan Amerika Latin. Krisis telah membuat kesadaran masyarakat tentang globalisasi berubah drastis, sehingga muncul gejala deglobalisasi.
Kedua, disrupsi teknologi yang mengakselerasi inovasi dan melahirkan revolusi industri 4.0. Di negara maju, krisis terjadi dalam situasi penurunan produktivitas ekonomi akibat merosotnya produktivitas tenaga kerja akibat penduduk yang semakin menua.
Mengingat faktor produksi tenaga kerja dan juga modal sudah tak bisa dimaksimalkan lagi, maka teknologi sangat diandalkan. Akibat krisis, masyarakat negara maju juga cenderung tak memercayai perbankan dan lembaga keuangan, sehingga jenis teknologi yang berkembang bersifat anti-intermediasi (peer-to-peer).
Dua disrupsi ini membuat arah perekonomian global berubah drastis, dan pola globalisasi ke depan mengalami reposisi. Pertama, globalisasi ke depan akan diiringi perlambatan ekonomi. Majalah The Economist (24/1/2019) menyebut gejala ini sebagai Slowbalisation. Kedua, globalisasi ke depan akan diwarnai berbagai perkembangan teknologi, khususnya robotika. Richard Baldwin dalam bukunya The Globotics Upheaval (2019) menyebut globalisasi dan robotika akan semakin intensif ke depan.
Menghadapi perlambatan ekonomi, teknologi sering diandalkan guna mengatasi persoalan jangka pendek ini. Padahal, peran teknologi sebagai salah satu faktor produksi hanya akan maksimal jika ekosistem inovasinya memadai, sehingga bisa mendongkrak produktivitas. Di negara maju, adopsi teknologi tak mampu menambah luaran produksi nasional. Teknologi lebih banyak meningkatkan kualitas hidup, namun tidak menambah output produksi.
Perang dagang China-AS sering disebut sebagai pangkal persoalan yang menimbulkan implikasi di berbagai aspek.
Bagaimana dampaknya di negara berkembang? Buku The Innovation Paradox terbitan Bank Dunia (2017) menjelaskan, seharusnya teknologi bisa berdampak lebih besar di negara berkembang melalui peningkatan produktivitas yang bermuara pada kenaikan output produksi. Namun faktanya, di negara berkembang peran teknologi cenderung tak maksimal, karena terbatasnya tenaga kerja terampil, regulasi yang tak mendukung serta lingkungan yang kurang kompetitif. Akibatnya, peran teknologi di negara berkembang terlihat paradoksal.
Jika kita melihat situasi perekonomian domestik, nampaknya keraguan peran teknologi mendorong pertumbuhan ekonomi juga terjadi. Dalam Laporan Daya Saing Global 2019, Indonesia berada di peringkat ke-50 dari 141 negara atau turun lima peringkat dari posisi ke-45 pada 2018 lalu. Terkait dengan adopsi teknologi informasi Indonesia berada di peringkat ke-72, sementara kapasitas inovasi berada di peringkat ke-74. Terlihat belum tercipta ekosistem yang memadai, sehingga teknologi tak bisa berperan maksimal mendorong produktivitas domestik.
Mengantisipasi dampak
Gejala perlambatan global mulai berimbas pada perekonomian domestik. Pertumbuhan kuartal III-2019 kembali melorot menjadi 5,02 persen, angka pertumbuhan kuartal ketiga terendah sejak 2016. Karena tekanan ini, pertumbuhan sepanjang tahun ini diperkirakan tak akan mencapai 5,1 persen. Sudah lebih dari lima tahun pertumbuhan ekonomi stagnan pada kisaran 5 persen saja. Akibat meningkatnya tekanan global, pertumbuhan 2020 diperkirakan terus merosot. Moody’s memperkirakan pertumbuhan 2020 hanya 4,7 persen dan 2021 sebesar 4,8 persen.
Menghadapi situasi ini, agenda terpenting kebijakan adalah menghindari siklus perlambatan ekonomi. Perlu ada mitigasi agar pertumbuhan tetap di atas 5 persen. Untungnya, ruang melakukan manuver kebijakan masih relatif lebar. Suku bunga acuan Bank Indonesia 5 persen dan rasio utang pemerintah terhadap PDB sekitar 30 persen, sementara defisit anggaran masih di bawah 2 persen terhadap PDB. Dengan demikian, baik kebijakan moneter maupun fiskal masih bisa diberdayakan memompa perekonomian agar tumbuh maksimal.
Menghadapi situasi ini, agenda terpenting kebijakan adalah menghindari siklus perlambatan ekonomi. Perlu ada mitigasi agar pertumbuhan tetap di atas 5 persen.
Meski begitu, kunci sebenarnya berada di sektor riil. Keberhasilan di sektor riil bisa dilihat dari semakin meningkatnya output perekonomian dengan menggunakan input produksi yang sama. Dengan kata lain terjadi peningkatan produktivitas. Kebijakan fiskal dan moneter hanya memfasilitasi agar produktivitas ekonomi meningkat.
Peningkatan produktivitas ekonomi ditentukan oleh faktor produksinya, yaitu modal, tenaga kerja dan teknologi. Sehingga pertanyaannya, bagaimana kebijakan nasional diarahkan untuk menaikkan pasokan modal yang disertai peningkatan keterampilan tenaga kerja serta akselerasi adopsi teknologi.
Rencana pemerintah mengeluarkan Omnibus Law di bidang perpajakan dan penciptaan lapangan kerja sejatinya merupakan strategi menarik investor asing masuk. Masuknya investor asing akan membawa serta faktor produksi, seperti tambahan modal dalam jumlah signifikan, keterampilan manajerial serta teknologi tinggi. Ketiganya diharapkan menciptakan dinamika yang mendorong peningkatan produktivitas nasional.
Data Badan Koordinasi Penanaman Modal menunjukkan realisasi investasi kuartal III-2019 mencapai Rp 205,7 triliun atau naik 15,4 persen dibandingkan tahun lalu. Realisasi Investasi Asing (PMA) naik menjadi Rp 105 triliun atau 17,8 persen dari tahun sebelumnya. Sementara realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) naik Rp 100,7 triliun atau 18,9 persen dari tahun sebelumnya. Diharapkan, dengan berlakunya Omnibus Law bisa meningkatkan lebih banyak investasi, baik PMA maupun PMDN.
Tak ada cara cepat mengatasi kelemahan tersebut, selain meningkatkan produktivitas dan daya saing nasional.
Keduanya harus mendapat perhatian yang sama untuk terus meningkatkan kontribusinya pada perekonomian domestik. Pada kuartal III tahun ini, kontribusi investasi pada PDB sebesar 32 persen dengan tingkat pertumbuhan 4,2 persen. Sebagai perbandingan, konsumsi kontribusinya 56,52 persen dengan tingkat pertumbuhan sebesar 5,1 persen.
Sebenarnya, peran investasi pada perekonomian sudah relatif besar. Sebagai perbandingan rasio investasi terhadap PDB Thailand terus merosot dari 27 persen Januari 2019 menjadi 21 persen September. Sementara Vietnam yang dikenal sangat agresif menarik investasi asing, rasio investasi terhadap perekonomian di akhir 2018 sekitar 26 persen.
Ada dua kelemahan mendasar dalam perekonomian kita. Pertama, rendahnya daya saing produk nasional yang tercermin dari angka defisit neraca perdagangan. Neraca perdagangan November kembali defisit sebesar 1,33 miliar dollar AS atau defisit terburuk sejak April 2019. Kedua, ketergantungan pada modal asing, sehingga peningkatan peran investasi diiringi dengan lonjakan kewajiban pada pihak eksternal dalam bentuk pembayaran dividen, bunga dan biaya jasa. Defisit neraca transaksi berjalan menjadi bukti kelemahan itu.
Tak ada cara cepat mengatasi kelemahan tersebut, selain meningkatkan produktivitas dan daya saing nasional. Masalahnya, mengatasi dua persoalan ini sama sekali tak mudah, serta memerlukan waktu panjang. Sementara ancaman jangka menengah-pendek ini begitu nyata. Kuncinya, memainkan instrumen kebijakan moneter, fiskal dan sektor riil secara proporsional.
Terlihat ada ironi besar di mana Presiden Jokowi banyak berbicara soal pengembangan sektor riil, namun kementerian terkait sektor riil justru lebih banyak diisi oleh para politisi.
Kita bisa melihat orkestrasi kebijakan moneter dan fiskal telah dimainkan relatif baik. Namun kebijakan di sektor riil belum terasa dinamikanya. Terlihat ada ironi besar di mana Presiden Jokowi banyak berbicara soal pengembangan sektor riil, namun kementerian terkait sektor riil justru lebih banyak diisi oleh para politisi. Bisa jadi, keberhasilan kebijakan ekonomi harus dimulai dengan perombakan kabinet yang menangani sektor riil ini.
(A Prasetyantoko Rektor Unika Atma Jaya)