Membumikan Diplomasi yang Berdampak
Pembebasan ratusan WNI dari hukuman mati sampai kesepakatan dagang bernilai miliaran dollar AS adalah pencapaian nyata diplomasi Indonesia. Jakarta juga bergerak untuk menangani masalah bersama yang dihadapi warga dunia.
Pembebasan ratusan WNI dari hukuman mati sampai kesepakatan dagang bernilai miliaran dollar AS adalah pencapaian nyata diplomasi Indonesia. Jakarta juga bergerak untuk menangani masalah bersama yang dihadapi warga dunia.
Diplomasi Indonesia tahun 2019 bukan hanya tentang pembebasan Siti Aisyah atau keterpilihan Indonesia sebagai anggota Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa. Diplomasi, sebagai salah satu penerapan politik luar negeri, juga diwarnai serangkaian perundingan yang sudah berlangsung bertahun-tahun.
Kementerian Luar Negeri RI menetapkan delapan sasaran strategis periode 2015-2019. Kedelapan sasaran itu meliputi diplomasi maritim yang kuat, kepemimpinan Indonesia yang meningkat di ASEAN, peningkatan peran Indonesia di level internasional, diplomasi ekonomi yang kuat, pelayanan dan perlindungan kepada WNI dan diaspora di luar negeri, kebijakan luar negeri yang berkualitas, dukungan dan komitmen nasional pada kebijakan luar negeri dan kesepakatan internasional, serta pemantauan hasil diplomasi.
Perwujudan sasaran itu, antara lain, berupa pembebasan WNI yang disandera kelompok bersenjata di Filipina. Indonesia juga membebaskan total 461 WNI dari hukuman mati di negara lain, seperti Sumartini, Warnah, dan tentu saja Siti Aisyah. Di sejumlah negara, diplomat Indonesia merundingkan perjanjian yang lebih memberikan perlindungan bagi diaspora dan pekerja migran Indonesia.
Selain itu, diplomasi maritim juga menjadi prioritas karena Indonesia berbatasan dengan 10 negara. Kejelasan perbatasan laut bukan sekadar kedaulatan atau potensi ekonomi. Dampak paling nyata akibat ketidakjelasan itu, Indonesia dan negara tetangga bolak-balik baku tangkap nelayan masing-masing. Bahkan, aparat Indonesia pun pernah diperiksa di negara tetangga karena ketidakjelasan perbatasan laut. Kasus Ambalat beberapa tahun lalu juga karena perbatasan laut.
Dari rangkaian perundingan sejak 1971, hanya dengan Australia dan Singapura yang relatif rampung. Urusan dengan Australia terkendala ratifikasi oleh parlemen. Adapun urusan dengan Singapura terhambat sejumlah karang yang diperebutkan Malaysia dan Singapura di utara Bintan. Tidak ada perundingan perbatasan selama mereka masih berebut.
Dalam berbagai kesempatan, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi hampir selalu membahas perkara batas maritim dengan para sejawatnya di negara tetangga. Di masa jabatan keduanya, masalah itu masih masuk agenda kerja Retno.
Diplomasi ekonomi
Para perunding Indonesia juga harus menjaga stamina merundingkan perjanjian ekonomi. Setelah bertahun-tahun, Indonesia merampungkan perundingan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (CEPA) dengan Korea Selatan. Jakarta-Seoul kini berusaha menyelesaikan naskah akhir CEPA itu.
Adapun dengan Uni Eropa (UE) dan banyak wilayah atau negara lain, perundingan CEPA masih jauh dari selesai. Perundingan CEPA dengan UE malah diwarnai baku gugat Jakarta-Brussels di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) gara-gara sawit dan nikel. Duta Besar UE untuk Indonesia Vincent Piket memang menyebut urusan gugatan tidak akan memengaruhi perundingan CEPA.
Selain berunding, korps diplomatik Indonesia juga berusaha membuka pasar baru untuk produk-produk Indonesia. Setelah diplomasi ekonomi sempat dikurangi semasa Menlu Hassan Wirajuda, Kemlu kembali menguatkan bagian diplomasi ekonomi di masa Retno. Belakangan, Kemlu mempunyai tiga jalur koordinasi dengan Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (untuk diplomasi selain ekonomi) serta Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi dan Kementerian Koordinator Perekonomian (untuk diplomasi ekonomi).
Dalam pengarahan kepada para duta besar dan konsul jenderal RI beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo menekankan soal diplomasi ekonomi. Para diplomat Indonesia diminta ikut mencari data potensi pasar dan memasarkan produk Indonesia di luar negeri.
Perang dagang, pelambatan ekonomi global, dan defisit neraca perdagangan adalah sejumlah alasan yang memicu permintaan itu. Salah satu resep terbaik mengatasi defisit adalah meningkatkan ekspor. Menjalin CEPA dan membuka pasar baru merupakan bagian dari upaya memacu ekspor.
Sejumlah pihak menilai, konsentrasi pada diplomasi ekonomi merupakan gambaran pragmatisme politik luar negeri Indonesia di era Jokowi. Selama lima tahun memimpin, Jokowi menekankan, diplomasi harus membawa dampak nyata. Presiden aktif dalam forum-forum bilateral atau multilateral yang tidak luas. Setiap kali hadir di Konferensi Tingkat Tinggi G-20, APEC, atau ASEAN, Jokowi menggelar aneka pertemuan bilateral dengan sejawatnya dari negara lain.
Namun, untuk forum besar, seperti Sidang Majelis Umum PBB, belum sekali pun Jokowi hadir. Bahkan, ia tetap tak hadir pada tahun pertama Indonesia menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan (DK) PBB. Padahal, keterpilihan sebagai anggota DK PBB dan lalu Dewan HAM PBB adalah wujud pencapaian sasaran strategis kebijakan luar negeri Indonesia.
Diplomat senior dan Menlu periode 2009-2014, Marty Natalegawa, mengingatkan, diplomasi bukanlah aktivitas dengan hasil serta-merta. Butuh waktu dan proses panjang sebelum kepercayaan lintas negara terbangun. Dukungan negara-negara Pasifik kepada Indonesia dalam masalah Papua pun merupakan hasil diplomasi selama bertahun-tahun.
Peran di ASEAN
Marty juga mengingatkan pentingnya menjaga kepemimpinan Indonesia di ASEAN. ”Saat Indonesia tidak melibatkan diri, ASEAN tidak berkembang,” kata Marty. Indonesia memang masih menjaga peran di ASEAN. Adopsi Pandangan ASEAN tentang Indo-Pasifik adalah hasil kerja keras diplomat Indonesia. Jakarta meyakinkan para mitranya agar ASEAN mempunyai pandangan sendiri di tengah lontaran konsep Indo-Pasifik oleh negara-negara besar.
Indonesia juga mendorong ASEAN agar lebih banyak menggelar pertemuan di Jakarta dengan menyediakan gedung sekretariat baru. Tanpa banyak disorot, Indonesia terus mendekati Myanmar soal Rohingya. Jakarta memilih tak berbicara keras. Indonesia mengirimkan aneka bantuan kepada Rohingya.
”Indonesia menghindari megaphone diplomacy,” ujar Teuku Faizasyah, Pelaksana Tugas Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, soal kebijakan dan sikap Indonesia pada beberapa isu sensitif, seperti Rohingya dan Uighur.
Pilihan sikap itu dinilai tidak menunjukkan kapasitas Indonesia sebagai negara besar. Indonesia tergabung dalam G-20, organisasi negara pengontrol 85 persen perekonomian global, meskipun masih sebagai negara kelas menengah. Status ini membuat nasihat Mohammad Hatta, Wakil Presiden pertama yang juga pernah menjabat Menlu, soal kebijakan luar negeri Indonesia tetap relevan: ”pandai mengayuh di antara karang”.