Setelah 15 tahun bencana gempa dan tsunami di Provinsi Aceh, pendidikan kebencanaan tidak boleh berhenti. Bencana dikenang untuk membangun siaga.
Oleh
·5 menit baca
KOMPAS/ZULKARNAINI
Perumahan baru dibangun di Desa Lam Ujong, Kecamatan Baitussalam, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Selasa (17/12/2019). Pada 26 Desember 2004, kawasan ini luluh lantak dihantam tsunami.
Setelah 15 tahun bencana gempa dan tsunami di Provinsi Aceh, pendidikan kebencanaan tidak boleh berhenti. Bencana dikenang untuk membangun siaga.
Cut Ziana (23), warga Desa Lhok, Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar, menjadi yatim piatu pada usia delapan tahun. Ayah dan ibunya menjadi korban bencana gempa dan tsunami 26 Desember 2004. Saat peristiwa dahsyat itu, Cut sedang tidak berada di kampung. Dia bermalam di rumah saudara di Banda Aceh.
Desa Lhok yang persis di bibir pantai hilang ditelan laut. Dari 150 penduduk desa, hanya 13 orang yang selamat. Saat itu, tidak ada yang tahu tentang tsunami. Padahal, di desa itu terdapat bukit-bukit yang bisa digunakan untuk menyelamatkan diri. ”Kalau sekarang sudah tahu tentang tsunami. Kalau terjadi gempa segera lari ke bukit,” kata Cut yang ditemui, Selasa (10/12/2019).
Beberapa tahun setelah tsunami, Cut kembali ke kampungnya dan tinggal bersama saudara. Cut mendirikan warung makan di tanah peninggalan orangtua. Dari warung itu suara debur ombak terdengar nyaring. ”Saya tidak trauma. Umur di tangan Tuhan, kita hanya ikhtiar,” katanya.
KOMPAS/ZULKARNAINI
Permukiman warga di Desa Alue Naga, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh kembali padat seperti terlihat Minggu (22/12/2019). Pada saat tsunami 26 Desember 2004, kawasan ini hancur total dihantam gelombang.
Sekitar 1 kilometer dari warung itu terdapat Goa Ek Luntie yang belakangan banyak dikunjungi orang. Peneliti menemukan jejak tsunami kuno di goa itu. Diduga tsunami terjadi berulang kali di kawasan itu sejak 7.400 tahun lalu hingga 2.900 tahun lalu. Kepala Desa Lhok Sakdun mengatakan, tsunami 2004 menyadarkan warga untuk lebih siaga terhadap bencana gempa dan tsunami. Warga Desa Lhok telah menyiapkan jalur evakuasi ke bukit. Namun, kata Sakdun, jalur itu tidak representatif sebab jarak tempuh terlalu jauh.
Menurut dia, sebuah bukit setinggi 50 meter di desa itu sangat cocok dijadikan tempat penyelamatan. Di atas bukit dapat dibangun tempat pendaratan helikopter dan bangunan untuk menampung warga dalam kondisi darurat. ”Kami berharap pemerintah memfasilitasi pembuatan jalur pendakian ke bukit,” ujarnya.
Tsunami 2004 membuat Muhammad Darus Hasibuan (35), warga Desa Kajhu, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar, kian siaga. Saat tsunami 15 tahun lalu, Darus terseret ombak hingga 1 km dari rumahnya di Lingke, Banda Aceh. ”Tidak trauma. Sekarang saya tinggal di kawasan bekas tsunami. Yang penting tahu cara menyelamatkan diri,” ujarnya.
Desa Kajhu termasuk kawasan yang rusak paling parah saat tsunami 2004. Namun, kini kawasan itu semakin padat. Banyak perumahan baru dibangun di sana. Jarak pantai dari rumah Darus mencapai 2 km. Meski termasuk kawasan rawan bahaya tsunami dan likuefaksi, perumahan di sana laris manis. ”Kalau sudah ajal, mau ke mana tetap (mati). Namun, saya sudah menyiapkan rencana evakuasi kalau terjadi gempa dan tsunami,” kata Darus.
Siaga bencana bukan berarti harus menjauh dari laut.
Bagi Darus, siaga bencana bukan berarti harus menjauh dari laut. Namun, menyiapkan rencana evakuasi jika terjadi bencana. Ia menunjukkan jalur yang bisa digunakan untuk menyelamatkan diri. Dari rumah Darus butuh waktu lima menit untuk mencapai titik aman. Ia juga mengajarkan dua anaknya untuk evakuasi mandiri. ”Kalau terjadi gempa dan isu tsunami jangan panik. Segera lari ke lokasi aman,” kata Darus.
Menjadi sukarelawan
Arif Munandar (50), warga Kajhu lain, saat tsunami 2004, sempat dikira meninggal. Ketika sadar, dia berada dalam kantong mayat. Pengalaman itu menyadarkan dirinya betapa pengetahuan tentang bencana sangat penting. Ketidaktahuan tentang tsunami membuat dia kehilangan istri, anak, dan orangtua.
Namun, Arif tak mau terpuruk dalam kesedihan. Dia kini jadi sukarelawan bencana. Selain menerapkan mitigasi di keluarga, ia mengajarkan pendidikan kebencanaan untuk warga, seperti di sekolah, pesantren, dan kelompok rentan. Arif aktif di Taruna Siaga Bencana dan Radio Antar Penduduk Indonesia. ”Saya sering menceritakan pengalaman hidup agar menjadi pengingat dan selalu siaga,” ujarnya.
Hasil penelitian Rina Suryani Oktari dari Pusat Studi Mitigasi Bencana Universitas Syiah Kuala menunjukkan, kesiapsiagaan warga terhadap bencana cukup baik. Penelitian dilakukan di 9 kabupaten/kota terkait kesiagsiagaan warga, sekolah, dan puskesmas.
Kesimpulan dari penelitian, warga dan puskesmas memiliki kemampuan mitigasi yang baik dengan skor 70 dan 77. Sementara sekolah belum begitu siap, dengan skor 60. Kabupaten/kota yang disurvei adalah Aceh Selatan, Aceh Besar, Aceh Barat, Aceh Jaya, Bireuen, Pidie, Banda Aceh, Sabang, dan Simeulue. Dari daerah yang disurvei hanya Simeulue yang dinilai belum begitu siap, skornya 63.
Di balik kesadaran warga, masih ada pekerjaan rumah pemerintah, yakni pembangunan infrastruktur mitigasi yang memadai. Di kawasan rawan bencana, rambu penunjuk jalur evakuasi masih minim, jalan sempit, dan tidak ada gedung penyelamatan. Bupati Aceh Besar Mawardi Ali mengatakan, daerahnya mengalami kekurangan infrastruktur mitigasi. Tahun 2020 akan dibuat jalur pendakian ke bukit di kawasan Lhoknga. ”Kalau bangun gedung kami tak punya
Membangun kesadaran warga jauh lebih penting daripada membangun infrastruktur.anggaran,
Mawardi berpendapat, membangun kesadaran warga jauh lebih penting daripada membangun infrastruktur. Peluncuran program Keluarga Tangguh Bencana (Katana), awal Desember 2019, di Lhoong, Aceh Besar, adalah upaya menyiapkan generasi tangguh bencana.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Doni Monardo saat meluncurkan program Katana menyatakan, kemampuan mitigasi mandiri menentukan keselamatan. Melalui program Katana, semua keluarga di Indonesia akan diberi pendidikan kebencanaan. Sebelum peluncuran program Katana, 2.000 peserta dari berbagai kalangan, selama tiga hari dipapar materi sejarah kebencanaan, mengenal potensi bencana, dan dibekali cara evakuasi mandiri.
Pada 26 Desember 2019, warga Aceh mengenang dahsyatnya bencana tsunami. Peringatan ini bukan sekadar momentum mengenang mereka yang telah tiada, melainkan juga mempersiapkan diri menghadapi bencana. (Zulkarnaini)