Mulai 1 Januari 2020, berlaku campuran biodiesel atau bahan bakar nabati ke dalam solar atau B-30. Kadar lebih tinggi akan diuji sebelum diterapkan.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kadar pencampuran biodiesel ke dalam solar siap dinaikkan menjadi 50 persen atau B-50. Namun, sebelum benar-benar bisa digunakan sebagai bahan bakar kendaraan, akan dilakukan serangkaian pengujian.
Sejak 1 Januari 2020, Indonesia menggunakan biosolar dengan kandungan 30 persen biodiesel dan 70 persen solar murni atau dikenal sebagai B-30. Peluncurannya dilakukan Presiden Joko Widodo pada Senin (23/12/2019) di Jakarta.
Dalam kesempatan itu, Presiden meminta kadar pencampuran terus ditingkatkan menjadi B-40 hingga B-50.
Menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana, pengujian untuk B-40 atau yang lebih tinggi lagi, pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan pengujian untuk B-20 dan B-30 yang sudah dilakukan. Akan tetapi, lantaran kadar biodiesel yang dicampur semakin tinggi, maka kajian dimulai dari uji pencampuran. Setelah diperoleh campuran yang tepat, hasilnya akan diujicobakan pada mesin statis.
”Untuk dinaikkan menjadi B-40 atau B-50, pada prinsipnya sama saja. Harus melalui serangkaian pengujian di laboratorium. Apabila tidak ditemukan masalah untuk pemakaian pada mesin statis, baru diterapkan uji jalan untuk kendaraan,” ujar Dadan saat dihubungi di Jakarta, Rabu (25/12/2019).
Saat menguji solar B-30, uji jalan kendaraan penumpang menempuh jarak 50.000 kilometer (km). Adapun truk menempuh jarak 40.000 km untuk uji jalan. Pengujian dilakukan Mei-November 2019 dengan melibatkan berbagai institusi, seperti PT Pertamina (Persero), Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dan Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi).
Apabila tidak ditemukan masalah untuk pemakaian pada mesin statis, baru diterapkan uji jalan untuk kendaraan.
Diandalkan
Semakin tinggi kadar pencampuran biodiesel ke dalam solar, menurut Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama pada Kementerian ESDM Agung Pribadi, penghematan devisa kian besar. Pencampuran biodiesel ke dalam solar akan terus diandalkan untuk mengurangi defisit pada neraca perdagangan migas nasional. Tahun lalu, mandatori B-20 mampu menghemat devisa 1,88 miliar dollar AS atau setara Rp 26 triliun.
”Adapun mandatori B-30 pada 2020 diperkirakan bisa menghemat devisa sampai 4,8 miliar dollar AS,” kata Agung.
Pemanfaatan solar B-30 diatur berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain. Dalam aturan itu, kebijakan pencampuran biodiesel dimulai 2015 dengan kadar 15 persen (B-15). Mulai 2016, kadar pencampuran menjadi B-20 dan menjadi B-30 pada 1 Januari 2020.
Sebelumnya, terkait kebijakan pencampuran biodiesel ke dalam solar, Koordinator Koalisi Clean Biofuel for All Agus Sutomo mengatakan, pemerintah dan semua pihak terkait harus memperhatikan prinsip pengelolaan ekosistem yang berkelanjutan pada produksi bahan bakar nabati dari minyak kelapa sawit.
Prinsip keberlanjutan itu, lanjut Agus, meliputi pelaksanaan program rehabilitasi hutan yang rusak atau terbakar, penerapan standar pemenuhan aspek ramah lingkungan dan berkelanjutan bagi seluruh pelaku dalam mata rantai industri kelapa sawit dari hulu sampai hilir, dan pelaksanaan program pertanggungjawaban sosial bagi perusahaan di area di mana mereka beroperasi.
”Prinsip-prinsip tersebut harus dilaksanakan secara transparan dan memberi keuntungan bagi para pihak, seperti masyarakat, pemerintah, dan industri itu sendiri,” kata Agus.