Tari dan Gamelan Warnai Perayaan Natal di Yogyakarta
Suasana misa malam Natal di Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus (GHKTY) Pugeran, Kota Yogyakarta, Selasa (24/12/2019) malam, tampak berbeda dengan nuansa budaya Jawa.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·3 menit baca
KOMPAS/HARIS FIRDAUS
Petugas misa malam Natal di Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus (GHKTY) Pugeran, Kota Yogyakarta, Selasa (24/12/2019) malam, menggunakan busana tradisional Jawa.
YOGYAKARTA, KOMPAS - Suasana misa malam Natal di Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus (GHKTY) Pugeran, Kota Yogyakarta, Selasa (24/12/2019) malam, tampak berbeda dengan nuansa budaya Jawa. Pemakaian bahasa Jawa saat misa, juga penampilan tarian tradisional dan gamelan, mengiringi jalannya misa.
Berdasarkan pantauan Kompas, misa malam Natal dengan nuansa Jawa di GHKTY Pugeran itu dimulai sekitar pukul 17.30 dan selesai sekitar pukul 19.00. Misa dipimpin oleh Romo Aloysius Triyanto Pr. Sejak awal pelaksanaan misa, nuansa budaya Jawa langsung terasa karena hadirnya alunan gamelan yang terdengar di gereja di Kecamatan Mantrijeron, Kota Yogyakarta, itu.
Selain itu, suasana Jawa juga tampak dari kehadiran sejumlah penari perempuan yang mementaskan tarian tradisional Jawa. Memakai kebaya dan selendang berwarna merah, para penari tersebut mementaskan tarian dari halaman hingga ke dalam ruang utama gereja.
Beberapa panitia dan petugas dalam misa tersebut juga terlihat mengenakan pakaian tradisional Jawa. Sejumlah petugas pria tampak memakai baju surjan lengkap dengan blangkon dan keris. Sementara itu, panitia dan petugas misa perempuan memakai kebaya dan kain batik sebagai bawahan.
KOMPAS/HARIS FIRDAUS
Sejumlah penari mementaskan tarian tradisional Jawa dalam pelaksanaan misa malam Natal di Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus (GHKTY) Pugeran, Kota Yogyakarta, Selasa (24/12/2019) malam.
Pelaksanaan misa juga menggunakan bahasa Jawa, baik saat penyampaian khotbah maupun doa. Bahkan, lagu-lagu dalam misa tersebut juga menggunakan bahasa Jawa dan diiringi oleh alunan gamelan yang merupakan musik tradisional Jawa.
Sekretaris Panitia Natal GHKTY Pugeran, FX Danang Sapto Nugroho (58), menjelaskan, setiap kali hari besar keagamaan, misalnya Natal dan Paskah, GHKTY Pugeran selalu menggelar misa dengan bahasa Jawa dan diiringi oleh gamelan. "Memang sudah jadi tradisi di sini," katanya.
Misa dengan nuansa budaya Jawa itu bertujuan melestarikan budaya Jawa sebagai kebudayaan tradisional.
Danang memaparkan, dalam perayaan Natal kali ini, GHKTY Pugeran menggelar tiga kali misa. Misa pertama dilaksanakan pada Selasa mulai pukul 17.30 dengan bahasa Jawa, sementara misa kedua dengan bahasa Indonesia digelar pada Selasa mulai pukul 20.30. Selain itu, ada juga misa yang digelar pada Rabu (25/12) pagi mulai pukul 07.30 dengan bahasa Indonesia.
Menurut Danang, misa dengan nuansa budaya Jawa itu bertujuan melestarikan budaya Jawa sebagai kebudayaan tradisional. Dia menambahkan, GHKTY Pugeran sama sekali tak mengalami kesulitan menggelar misa dengan nuansa Jawa karena gereja itu sudah memiliki seperangkat gamelan serta mempunyai petugas khusus untuk penabuh gamelan.
KOMPAS/HARIS FIRDAUS
Petugas misa Natal di Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus (GHKTY) Pugeran, Kota Yogyakarta, Selasa (24/12/2019) malam, menggunakan busana tradisional Jawa.
Ketua Tim Kreatif Perayaan Natal GHKTY Pugeran, Decirius Suharto (60), menyatakan, kehadiran seni dan budaya Jawa dalam misa Natal merupakan bentuk inkulturasi atau adaptasi ajaran agama ke dalam budaya lokal. Dia menambahkan, dalam sejarah penyebaran agama-agama di Jawa, inkulturasi merupakan sesuatu yang wajar untuk memudahkan masyarakat lokal menerima ajaran agama.
"Ini merupakan bentuk inkulturasi. Dulu zaman Sunan Kalijaga menyebarkan agama Islam, kan, juga menggunakan pendekatan budaya, misalnya dengan perayaan Sekaten," ujar Suharto, yang merupakan dosen Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Suharto menambahkan, misa dengan nuansa budaya itu juga penting untuk melestarikan bahasa dan budaya Jawa. Dengan dihadirkan dalam ritual keagamaan seperti misa, bahasa dan budaya Jawa diharapkan bisa terus lestari dalam kehidupan sehari-hari. "Sekarang ini, kadang kala bahasa Jawa itu sering diabaikan. Yang saya khawatirkan, bahasa Jawa justru nanti dipelajari oleh orang-orang asing," ungkap Suharto.
Salah seorang jemaat GHKTY Pugeran, Trisna (52), mengaku mendukung pelaksanaan misa dengan nuansa budaya Jawa tersebut. Sebab, misa semacam itu sekaligus menjadi upaya untuk melestarikan seni dan budaya Jawa. "Dengan misa seperti ini, kesenian tradisional seperti gamelan juga ikut dilestarikan," ujar warga Kelurahan Suryodiningratan, Yogyakarta, ini.