Ekspor tambang nikel di Sulawesi Tenggara belum berdampak luas terhadap kesejahteraan masyarakat setempat.
Oleh
Saiful Rijal Yunus
·3 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Sepanjang 2019, sebanyak 9,2 juta ton nikel dikeruk dan diekspor dari wilayah Sulawesi Tenggara. Total nilai ekspornya mencapai Rp 1,4 miliar dollar AS atau senilai Rp 19,6 triliun.
Berdasarkan data Dinas Perdagangan dan Perindustrian Sultra, hingga November 2019, total jumlah ore nikel atau nikel mentah yang diekspor 8.559.350 wet metric ton (WMT) senilai 267 juta dollar AS. Sementara nikel olahan yang diekspor mencapai 735.761 ton atau senilai 1,163 miliar dollar AS.
Total ekspor itu mencapai Rp 19,6 triliun, melebihi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi ditambah 17 kabupaten/kota di Sultra pada 2019 yang hanya Rp 19,2 triliun.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sultra Siti Saleha menyampaikan, ekspor nikel itu mencapai 99 persen total ekspor di Sultra.
”Kalau kita lihat datanya memang sangat timpang. Ekspor Sultra masih didominasi pertambangan. Padahal, sumbangan pertambangan untuk memajukan daerah juga masih minim,” kata Saleha di Kendari, Senin (23/12/2019).
Ia mencontohkan, sektor pertambangan belum berperan dalam pengembangan usaha kecil menengah (UKM). Padahal, di Sultra ada lebih dari 13.000 UKM yang perlu dibantu. Di satu sisi, penerimaan asli daerah dari sektor pertambangan terbilang kecil, sekitar Rp 93 miliar pada 2018.
Total pendapatan asli daerah semua kabupaten/kota dan provinsi Rp 581 miliar. Adapun pertumbuhan ekonomi Sultra pada triwulan ketiga 2019 mencapai 6,18 persen. Pertumbuhan itu sebagian besar disumbang sektor pertambangan nikel.
Kepala Bidang Perdagangan Luar Negeri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sultra Muslimin menuturkan, sejauh ini belum semua perusahaan tambang nikel membangun smelter.
Ekspor nikel olahan sebagian besar disumbang PT VDNI yang membangun smelter di Konawe. Di luar nikel, ekspor Sultra juga disumbang sektor perikanan dan perkebunan, di antaranya ekspor kakao yang hanya 0,4 persen dan udang 0,16 persen.
Menurut Muslimin, upaya memajukan ekspor di luar pertambangan terus dilakukan. Sebab, potensi di luar pertambangan sangat besar jika bisa dikelola, antara lain pendampingan bagi petani kakao, kelapa, dan mete serta nelayan yang membudidayakan rumput laut dan udang.
Namun, Muslimin mengakui, masih ada kendala permodalan hingga keberlanjutan produksi. Oleh karena itu, dibutuhkan kerja sama kuat dari lintas sektor untuk menggenjot kualitas, produksi, hingga mencari pembeli.
Manfaat sesaat
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Muhammadiyah Kendari Syamsul Alam menilai tingginya ekspor tambang hanya manfaat sesaat yang dinikmati daerah. Sebab, sumbangsih tambang tidak sebanding dengan kesejahteraan warga dan kerusakan lingkungan.
”Tenaga kerja yang terserap di sektor pertambangan penuh masalah. Orang lokal yang masuk bekerja hanya sekian persen. Di satu sisi, dampak lingkungan dari pertambangan sangat besar, tidak sebanding dengan jaminan reklamasi dan royalti yang ada,” katanya.
Selain itu, postur ekonomi Sultra sangat tergantung pada sektor pertambangan. Dengan deposit nikel yang terbatas, hal ini bisa menjadi masalah ke depan. Saatnya komoditas di luar tambang diberi ruang untuk berkembang.