Sketsa Wajah Nusantara di Era Digital Menanti Sentuhan Nyata
Di era ketika jaringan internet menjadi kunci segalanya, Indonesia dengan penduduk lebih dari 260 juta jiwa merupakan pasar bisnis yang legit.
Oleh
GESIT ARIYANTO
·4 menit baca
Di Budapest, Hongaria, September 2019, dalam konferensi internasional teknologi dan informasi digital dunia, delegasi Indonesia memaparkan tuntasnya infrastruktur dasar Palapa Ring dengan jaringan serat optik sepanjang 58.000 kilometer. Delegasi negara lain banyak yang geleng-geleng kepala karena kagum.
Setelah paparan, pembicara dari Kementerian Komunikasi dan Informatika menerima ucapan selamat dan penjajakan kerja sama. Di era ketika jaringan internet menjadi kunci segalanya, Indonesia dengan penduduk lebih dari 260 juta jiwa merupakan pasar bisnis yang legit.
Karakter umum masyarakat Indonesia sebagai pengguna internet paling rajin di dunia, dengan jumlah telepon genggam sudah lebih banyak daripada jumlah penduduknya, makin menggambarkan betapa Indonesia sungguh menggiurkan.
Namun, apakah kondisi lapangan memang demikian legit? Jawabannya, belum. Di kota besar, termasuk Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan Makassar, jaringan internet belum stabil, apalagi di kota lain.
Lepas dari itu, upaya pemerintah pusat membuka keterisolasian akses digital dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas hingga Pulau Rote patut diapresiasi.
Kesigapan pemerintah daerah juga dibutuhkan, misalnya dalam penyediaan lahan untuk pembangunan lebih dari 2.000 menara pemancar (BTS) di tahun 2020 guna melengkapi dampak Palapa Ring.
Tanpa pembangunan BTS tersebut, Palapa Ring tidak akan optimal. Padahal, triliunan rupiah telah dikucurkan untuk membangun jaringan itu, yang 35.000 kilometer di antaranya merupakan kabel bawah laut yang menghubungkan 34 provinsi dan 440 kabupaten/kota.
Di tengah ketidaksempurnaan yang ada, usaha-usaha rintisan (start up) yang mayoritas dikendalikan dari Jakarta menggeliat hingga pelosok Nusantara. Generasi milenial di balik bisnis itu sepanjang tahun ini telah mengusik rantai bisnis mapan dunia pertanian, hortikultura, produk laut, kesehatan, pendidikan, makanan, distribusi, dan transportasi.
Meski skalanya masih rintisan, digitalisasi juga telah ikut mengungkit kesejahteraan petani dan nelayan. Sejumlah petani dan nelayan kecil di Sukabumi, Situbondo, Lampung, hingga Banjarmasin, misalnya, telah merasakan manfaat dari pemasaran digital dalam mengurai sejumlah masalah pemasaran, seperti tentang harga jual, perilaku tengkulak, hingga soal regenerasi.
Direktur Jenderal Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi Samsul Widodo mengakui, anak-anak muda kreatif dan gigih seperti merekalah tumpuan masa depan desa dan masyarakat di era kekinian. Sepatutnya pemerintah cepat belajar, mendukung, dan mendampingi para anak muda ini secara nyata.
Hujan bencana
Di tengah geliat baru era serba internet of things (IoT) dalam Revolusi Industri 4.0, bencana terulang seperti tiada putus. Krisis air bersih melanda desa dan kota saat kemarau 2019, disusul kebakaran hutan, lahan gambut, dan pegunungan di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Dua bulan menjelang pergantian tahun, giliran banjir, banjir bandang, longsor, dan angin puting beliung meneror Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan Jawa. Berbagai bencana yang sebenarnya bukan hal baru itu tidak hanya menggerus dana triliunan rupiah untuk penanggulangannya. Hal itu juga mengakibatkan korban jiwa dan harta benda hingga menuai protes dari negara lain.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana mewanti-wanti, pengurangan risiko bencana paling efektif adalah dengan memperlakukan alam secara bijak. Eksploitasi berlebihan merupakan bibit bencana. Dua bulan ini pula, sejumlah lokasi tambang ilegal, seperti di Mandailing Natal, Solok Selatan, Jambi, hingga Sumatera Selatan, ditertibkan.
Liputan Kompas di Sumatera mengungkap, penambahan jumlah petambang emas liar antara lain berasal dari petani karet yang berusaha mencari nafkah karena terpukul oleh harga karet yang hanya Rp 6.000 per kilogram. Harga komoditas, seperti karet, bertahun-tahun tak pernah stabil. Kebun-kebun karet di Sumut dan Sumsel ditinggalkan.
Dana desa
”Bencana” lain datang. Kali ini datang dari Kendari, Sulawesi Tenggara. Oknum birokrasi diduga telah membajak dana desa dalam tiga tahun terakhir. Caranya, dengan membuat desa fiktif.
Secara nasional, besaran dana desa periode 2015-2019 mencapai Rp 257 triliun. Besaran alokasi dana desa (ADD) periode yang sama lebih besar, Rp 329,8 triliun. Dana desa sepenuhnya bersumber dari APBN, sedangkan ADD ada unsur 10 persen APBD dan dana alokasi umum.
Jangan main-main, itu pesan Presiden Joko Widodo terkait pembangunan desa. Kasus di Kendari tak menyurutkan langkah negara. Bahkan, dana desa 2020 dinaikkan jadi Rp 72 triliun dengan perbaikan teknis untuk sekitar 75.000 desa.
Pemberdayaan dan sektor produktif diputuskan jadi mantra penggunaan dana desa 2020. Strateginya, dengan merevitalisasi badan usaha milik desa (BUMDes) yang kini berjumlah sekitar 45.800.
Pengalaman di desa wisata Pujon Kidul (Kabupaten Malang, Jawa Timur) dan desa wisata Ponggok (Kabupaten Klaten, Jawa Tengah) menunjukkan, potensi besar desa dalam menghasilkan pemasukan hingga miliaran rupiah. Ratusan pemuda desa pun diserap bekerja. Belum termasuk efek produksi berantai.
Desa jadi penting karena di sanalah kemiskinan bersanding ironis dengan sektor produksi. Dari sisi pendidikan, sekitar 70 persen tenaga kerja di desa juga hanya tamatan SMP. Apa kabar tahun 2020? Kolaborasi seluruh sumber daya (manusia dan alam) dengan teknologi digital bisa menjadi kabar baik.
Di Budapest, ”sihir” Palapa Ring menghadirkan sketsa masa depan Nusantara di era digital. Namun, tanpa kolaborasi dan juga konsistensi kebijakan pusat dan daerah, sketsa itu takkan pernah selesai.