Sejarah Tuhan Kisah Manusia
”Kemuliaan bagi Tuhan di tempat yang mahatinggi, dan damai di bumi bagi umat-Nya”.
Karl Kohlhase, dalam lagu ”Glory to God in the Highest”, melukiskan kelahiran Yesus (Isa Almasih) dengan ungkapan ”Kemuliaan bagi Tuhan di tempat yang mahatinggi, dan damai di bumi bagi umat-Nya”. Lirik itu fasih memaknai kelahiran Yesus: Tuhan mewahyukan diri mencipta damai di Bumi rinduan umat-Nya.
Sejarah Tuhan mewahyu Diri masuk ke dunia nyata dalam rangkaian kisah manusia. Namun, kisah-kisah sederhana gagap menerjemahkan wahyu Tuhan karena keterbatasan bahasa. ”Tuhan terlalu kaya dan sangat tidak terbatas sehingga suatu tradisi religius, yang tentu saja memiliki keterbatasan, tidak akan menimba secara tuntas kesempurnaan dan kepenuhan Tuhan” (Schillebeeckx, 1992: 225).
Maka, memutlakkan suatu penafsiran berbahaya dan bisa fatal. Makna ’kemuliaan Tuhan’ yang tiada batas itu harus rela menemukan ilustrasi nyata yang berkisah tentang hubungan sesama manusia. Tuhan Yang Mahamulia menjelma dalam sosok riil yang solider dan peduli akan situasi kemiskinan kita: Yesus lahir di kandang hewan.
Suasana kemiskinan kelahiran Yesus mengubah cara pandang kita dalam ”memuji dan memuliakan Tuhan”. Tuhan tidak memerlukan pujian manusia. Memuji dan memuliakan Tuhan justru terwujud ketika manusia sungguh-sungguh hidup.
Ireneus meringkasnya menjadi Gloria Dei est vivens homo (kemuliaan Tuhan adalah manusia yang sungguh-sungguh hidup). Manusia sungguh hidup ketika menghayati hidup sesuai tujuan diciptakan: menjadi secitra dengan Tuhan; Mahabaik, Mahakasih, dan Maharahim.
Kemanusiaan Yesus menggugat kesalehan orang-orang munafik. Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku ”Tuhan! Tuhan!” akan masuk Kerajaan Surga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku di surga (Matius 7: 21).
Apa artinya melakukan kehendak Tuhan? Tak lain adalah peduli penderitaan sesama: Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku dalam penjara, kamu mengunjungi Aku (Matius 25: 35).
Memahami penderitaan korban berarti membangun kedekatan dengannya. Dengan menggugah tanggung jawab, korban memberi pembenaran akan makna kebebasan.
Dengan demikian, peduli sesama membuat sejarah Tuhan menjadi nyata dalam kisah-kisah manusia. Menolak membantu meringankan penderitaan sesama berarti menutup diri terhadap kehendak Tuhan.
Martabat manusia sebagai citra Tuhan dilecehkan. Jadi, apa pun pembenarannya, jika atas nama agama orang mengajarkan kekerasan, kebencian, apalagi pembunuhan, berarti melecehkan sifat hakiki citra Tuhan.
Belarasa lawan mistifikasi
Sebagai ironi terhadap kekerasan dan kebencian, kelahiran Yesus dalam kemiskinan menyingkap perwahyuan Tuhan sebagai Agape (cinta-belarasa). Tuhan mewahyukan diri dalam ingatan akan penderitaan mereka yang dipinggirkan dan ditindas oleh narasi besar sukses yang sarat hasrat kekuasaan. Melawan narasi besar ini, kelahiran-Nya mengetuk kepedulian dan solidaritas manusia.
Teologi semacam itu menggugat teisme yang kental dengan legitimasi kekuasaan. Maka, penggunaan konsep ’Tuhan’ dikritik sejauh hanya untuk kepentingan politik. Tuhan sekadar kerangka proyek legitimasi kekuasaan. Akibatnya, kisah-kisah manusia bukan lagi perpanjangan sejarah Tuhan karena Tuhan dikesankan ikut campur melalui tindakan manusia yang haus kuasa.
Para pelaku kekerasan atas nama agama, menurut Nelson- Pallmeyer, merasa dirinya menjadi perpanjangan tangan Tuhan yang sedang menghukum. Mereka masuk dalam proses mistifikasi kejahatan: tindakan mereka seakan jasa atau prestasi.
Mistifikasi berakar dalam tradisi seakan Tuhan menghendaki kekerasan dan seakan tersurat pada teks-teks suci. Dalam kekerasan agama-agama, gambaran Tuhan adalah penghukum dan penganiaya. Ini bukan masalah penafsiran.
Ada masalah yang lebih mendasar, bahwa kekerasan yang seakan dikehendaki Tuhan dipakai untuk alat pembenaran kejahatan, kekerasan, ancaman, balas dendam.
Nelson-Pallmeyer mempertanyakan jangan-jangan tradisi ini adalah proyeksi manusia tentang hukuman dan balas dendam untuk pembenaran kekerasan. Kekerasan Tuhan menjadi bagian dari kesucian-Nya sehingga menjadi benar (Nelson-Pallmeyer, 2007: 43-44).
Kekerasan Tuhan disamarkan dalam rangka pertobatan. Kategori kekerasan diterima sebagai fungsi korektif. Lalu penggunaan ancaman Ilahi terhadap perilaku manusia dianggap sudah semestinya karena demi kebaikan manusia sendiri (Nelson-Pallmeyer, 2007: 86). Akibatnya, pencarian kebenaran sangat diwarnai kekerasan.
Tuhan menjadi dalih semua konflik dan alat pembenaran kekerasan. Padahal, martabat manusia tidak bisa diinjak-injak dengan mengatasnamakan Tuhan. Janganlah kekerasan menodai kisah manusia karena mengingkari sejarah Tuhan: sejarah keselamatan yang membawa damai dan cinta.
Peduli sesama
Menyambut Natal adalah ajakan memeluk cinta Tuhan dan mencipta hidup damai. Cinta merupakan daya hidup, sedangkan kekerasan budaya kematian. Yesus datang membawa cinta yang menyatukan: Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam NamaKu, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka (Matius 18: 20). Meminjam kisah yang diceritakan Elie Wiesel (Nobel Perdamaian 1986), kutipan Matius di atas maknanya ’mencintai sesama berarti memuliakan Tuhan’.
Wiesel menceritakan persahabatan dua orang pada zaman Tsar di Rusia. Salah satu ditangkap polisi rahasia Tsar. Yang lain mengaku sebagai pelaku kejahatan agar sahabatnya dibebaskan. Keduanya masuk penjara.
Mendengar kisah itu, Tsar memanggil keduanya. Ia berkata, ”Kalian dituduh subversif. Ancamannya hukuman mati. Tetapi saya terkesan dengan persahabatan kalian. Kalian akan saya bebaskan asal saya boleh menjadi sahabat ketiga.”
Jadi, jika kita saling mencintai atau peduli sesama, Tuhan akan datang jadi sahabat ketiga kita. Jadi, berkumpul dalam nama Yesus bukan hanya berdoa, tetapi saling berbagi dan peduli. Sejarah Tuhan menjadi nyata dalam kisah manusia yang saling mencintai dan peduli.
Setiap agama mengemas pesan cinta dengan kekhasannya. Namun, kekhasan agama seharusnya dimengerti dan dirasakan semua kelompok. Kekhasan agama akan bermakna jika membuka dimensi universal kemanusiaan.
Luc Ferry, filsuf politik Perancis, mengusulkan proyek perdamaian antaragama dengan gagasan ”universalitas konkret” (L Ferry, 1998: 246). Analogi universalitas konkret ialah karya seni, yang dianggap berhasil jika sebagian besar orang menghargainya. Universalitas konkret adalah bentuk hidup bersama yang khas, tetapi bermakna bagi seluruh manusia.
Agama-agama diundang untuk membuat hidup pemeluknya sebagai karya seni, berarti ambil bagian dalam kehidupan bersama untuk memberi makna bagi semua orang. Hidup sebagai karya seni berarti membuka akses ke yang universal melalui otentifikasi khas dari agama: bentuk kebebasan yang mampu melepaskan diri dari partikularisme.
Orang-orang seperti Mahatma Gandhi, Ibu Teresa, atau KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah ungkapan karya seni, wujud universalitas-konkret itu. Universal karena tokoh-tokoh itu diterima dan dihargai semua pemeluk agama serta golongan, dan konkret mengakar pada agama masing-masing.
Harus kita kenang juga karya seni kemanusiaan Riyanto, anggota Banser NU dari Mojokerto, Jawa Timur, pahlawan yang meninggal memeluk bom untuk menyelamatkan umat Kristiani yang sedang merayakan Natal di Gereja Ebenheizer, Mojokerto, 24 Desember 2000. Pengorbanannya menjadi bagian dari sejarah Tuhan dalam menciptakan damai di Bumi.