Dualisme kepengurusan di induk cabang tenis meja telah merugikan para atlet, juga menghambat pembinaan dan regenerasi atlet. Pemerintah diharapkan bersikap tegas untuk menyelesaikan dualisme yang terjadi sejak 2013 ini.
Oleh
Denty Piawai Nastitie
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketegasan Kemenpora untuk mengakhiri dualisme kepengurusan di tubuh Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia dinantikan para atlet. Peristiwa percoretan tenis meja dari kontingen Indonesia pada SEA Games 2019, karena alasan dualisme kepengurusan, harus dijadikan momentum perbaikan pembinaan tenis meja nasional.
Atlet tenis meja senior Indonesia, Yon Mardiono, mengatakan, pencoretan atlet-atlet tenis meja dari daftar kontingen SEA Games 2019 telah merugikan kepentingan atlet.
”Kami memahami bahwa pencoretan ini dilakukan sebagai hukuman terhadap dualisme kepengurusan, tetapi kenapa atlet-atlet yang kemudian dikorbankan? Seharusnya pemerintah bisa mengambil alih pengiriman atlet atas nama negara, bukannya lepas tangan begitu saja,” kata Yon di Jakarta, Senin (23/12/2019).
Yon menjelaskan, saat ini atlet-atlet Indonesia tidak berafiliasi pada kepengurusan mana pun, baik di bawah kepengurusan Oegroseno maupun Peter Layardilay, dan Lukman Eddy. Alasannya, tidak ada satu pun dari kepengurusan yang eksis saat ini melakukan pembinaan dengan baik dan terencana.
”Sebelumnya, beberapa atlet bergabung dengan Pengurus Pusat Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia (PP PTMSI) karena ini yang satu-satunya diakui di internasional sehingga atlet punya potensi untuk go international, atau bertanding di luar negeri. Tetapi sekarang PP PTMSI membuat pola pembinaan yang tidak memberikan wadah untuk atlet-atlet terbaik bisa berkembang. Dari situ, kami memutuskan atlet bukan milik siapa-siapa,” ujar Yon.
Ia menjelaskan, mandeknya pembinaan terlihat dari tidak adanya proses seleksi untuk menentukan atlet-atlet nasional serta tidak ada evaluasi pembinaan olahraga. Berkaca dari negara lain, seperti China, yang terpilih dalam pelatnas merupakan atlet-atlet terbaik berusia muda. Namun, PP PTMSI tidak memberikan kesempatan kepada atlet terbaik Indonesia untuk mengembangkan diri.
Menurut Yon, masalah dualisme kepengurusan telah merugikan atlet, seperti batal menjalani pertandingan di SEA Games 2019. Selain itu, pembinaan tenis meja di tingkat nasional hingga klub-klub dan sentra-sentra olahraga juga jadi berantakan. Apalagi, tenis meja belum tentu dimainkan pada PON 2020 sehingga banyak atlet yang tak bisa melanjutkan pembinaan di daerah.
Pencoretan tenis meja dari kontingen Indonesia pada SEA Games 2019 karena alasan dualisme kepengurusan seharusnya menjadi pukulan keras agar masalah dualisme kepengurusan ini bisa segera diselesaikan. Di samping itu, menurut Yon, pemerintah juga mempunyai tugas berat untuk memastikan tenis meja tetap dimainkan pada PON Papua 2020.
Ketua Umum PP PTMSI Oegroseno mengatakan, masalah dualisme kepengurusan seharusnya tidak terjadi apabila semua pihak mengacu pada Pasal 47 Ayat 1-4 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan.
”Dalam aturan itu jelas disebutkan induk organisasi cabang olahraga harus berbadan hukum, memiliki akta pendirian yang bersifat otentik, dan wajib menjadi anggota federasi olahraga internasional,” katanya.
Dualisme kepengurusan PTMSI sudah berlangsung sejak 2013. Dualisme itu terjadi karena KONI Pusat diduga menolak melantik PP PTMSI yang secara hukum menang dan inkrah di PTUN. Tanpa ada pengakuan dari KONI dan Kemenpora, tidak ada anggaran pembinaan untuk atlet.
Menurut Oegroseno, PP PTMSI sudah diakui oleh Federasi Tenis Meja Internasional sehingga bisa menjadi pelaksana Kejuaraan Asia Tenis Meja di GOR Among Rogo, Yogyakarta, 15-22 September. Dengan pengakuan internasional, atlet-atlet tenis meja Indonesia juga bisa mengikuti kejuaraan pada ajang multicabang, seperti SEA Games dan Asian Games.
Namun, masalahnya, tanpa ada restu dari KONI dan Kemenpora, tidak ada anggaran pembinaan untuk atlet. Selain itu, atlet juga berpotensi tidak dikirimkan pada ajang multicabang selanjutnya.
Sekretaris Kemenpora Gatot S Dewa Broto mengatakan, Menpora Zainudin Amali telah memberikan arahan kepada Ketua KONI Marciano Norman dan Ketua KOI Raja Sapta Oktohari agar menyelesaikan masalah dualisme kepengurusan tenis meja.
”Ini untuk membiasakan cabang olahraga menghargai peran KONI dan KOI. Kalau di sana sudah mentok, pemerintah baru turun tangan,” ujarnya.
Gatot menyadari bahwa dualisme kepengurusan ini sudah terjadi bertahun-tahun. ”Namun, dalam penanganannya agar sesuai ketentuan hukum dan mengikuti aturan,” katanya.