Buruh di Jabar menuntut salah satu poin dalam SK Gubernur Jabar tentang UMK 2020 dihapus. Poin itu berpotensi melonggarkan pengusaha dari kewajiban membayar upah sesuai ketentuan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Lebih dari 1.000 buruh berunjuk rasa di depan Kantor DPRD Jawa Barat di Kota Bandung, Senin (23/12/2019). Buruh menuntut salah satu poin dalam Surat Keputusan Gubernur Jabar tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) Tahun 2020 dihapus. Poin itu berpotensi melonggarkan pengusaha dari kewajiban membayar upah sesuai ketentuan.
Poin yang dimaksud adalah diktum ketujuh huruf d pada Surat Keputusan (SK) Gubernur Jabar No 561/Kep.983-Yanbangsos/2019. Diktum itu menyebutkan, pengusaha industri padat karya yang tidak mampu membayar UMK dapat melakukan perundingan bipartit bersama pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh di tingkat perusahaan dalam menentukan upah.
”Poin itu berpotensi menciptakan kongkalikong dalam menentukan upah sehingga merugikan buruh,” ujar Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Jabar Roy Jinto. Unjuk rasa diikuti ribuan orang dari belasan organisasi buruh.
Roy mengatakan, poin yang dipersoalkan dalam SK Gubernur Jabar itu bertentangan dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 231 Tahun 2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum. Dalam keputusan menteri itu dijelaskan, jika pengusaha tidak mampu membayar upah minimum, pengusaha dapat mengajukan penangguhan pelaksanaan UMK.
”UMK-nya ditangguhkan dan tetap dibebankan kepada perusahaan untuk membayar di tahun berikutnya. Jadi, bukan dinegosiasikan. Oleh sebab itu, diktum ketujuh huruf d pada SK gubernur harus dihapus,” ujarnya.
Roy menuturkan, sejumlah perusahaan di Jabar sudah mengajukan penangguhan UMK ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jabar. Dia menilai, hal itu karena SK gubernur tersebut memberikan kelonggaran bagi pengusaha untuk tidak mengupah buruh sesuai UMK.
Aneh kalau SK gubernur yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat tetap dijalankan.
Jika upah ditentukan lewat bipartit, buruh dalam posisi lemah karena sebagai pihak yang menerima upah. Apalagi, sebagian buruh berstatus kontrak sehingga khawatir tidak diperpanjang jika menolak tawaran besaran upah dari pengusaha.
Menurut Roy, beberapa perusahaan mengajukan kenaikan upah di bawah 3 persen. Padahal, pemerintah pusat menetapkan kenaikan upah pada 2020 sebesar 8,51 persen sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
”Aneh kalau SK gubernur yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah pusat tetap dijalankan. Jadi, kami meminta DPRD Jabar sebagai wakil rakyat mengingatkan gubernur mengenai hal itu,” ujarnya.
Puluhan perwakilan buruh beraudiensi dengan anggota DPRD Jabar. Mereka meminta anggota Dewan menyurati Gubernur Jabar Ridwan Kamil untuk menghapus diktum ketujuh huruf d pada SK gubernur itu.
Roy menjelaskan, jika upah ditentukan lewat bipartit, buruh dalam posisi lemah karena sebagai pihak yang menerima upah. Apalagi sebagian buruh berstatus kontrak sehingga khawatir tidak diperpanjang jika menolak tawaran besaran upah dari pengusaha.
Wakil Ketua DPRD Jabar Achmad Ru’yat mengatakan, pihaknya mendorong Pemerintah Provinsi Jabar untuk melindungi buruh dalam penetapan upah. Dia pun sepakat dengan aspirasi buruh yang menolak diktum ketujuh huruf d pada SK gubernur tersebut. ”Suratnya segera dibuat dan akan dikirimkan secepatnya ke Gubernur Jabar,” ucapnya.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jabar Mochamad Ade Afriandi, yang hadir dalam audiensi itu, mengatakan, pembayaran upah tetap mengacu pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 231 Tahun 2003. Namun, menurut dia, kondisi di lapangan menunjukkan beberapa perusahaan tidak dapat menerapkan penangguhan upah karena keuangan terbatas.
”Perusahaan ingin tetap jalan, buruh ingin tetap bekerja. Tidak ada jalan lain selain mengajukan upah yang disepakati bersama meskipun di bawah upah minimum,” ujar Ade.
Akan tetapi, lanjutnya, perusahaan tidak dapat sesuka hati mengajukan penetapan upah di bawah UMK. Harus ada audit dari akuntan publik yang membuktikan keuangan perusahaan tidak sanggup membayar upah buruh sesuai UMK.