Metromini/Kopaja di ujung tanduk. Dalam kondisi kian tersisih, mereka bersaing dengan pelayanan moda lain yang lebih baik. Publik berharap bus sedang ini berbenah supaya tetap melaju di Ibu Kota.
Oleh
Albertus Krisna
·4 menit baca
Metromini/Kopaja di ujung tanduk. Dalam kondisi kian tersisih, mereka bersaing dengan pelayanan moda lain yang lebih baik. Publik berharap bus sedang ini berbenah supaya tetap melaju di Ibu Kota.
Populasi bus sedang seperti Metromini/Kopaja/Koantas Bima/Kopami Jaya di Jakarta semakin langka. Hingga 21 Agustus 2019, Dinas Perhubungan DKI Jakarta mencatat, tersisa 83 unit bus ukuran sedang yang izin trayek atau kartu pengawasannya masih berlaku. Di periode waktu yang sama, 964 unit bus ditertibkan dengan sanksi pelanggaran berupa stop operasi dan tilang.
Operasi penertiban ini gencar dilakukan Dishub setelah penerbitan Perda Nomor 5 Tahun 2014 tentang Transportasi. Pasal 51 perda ini melarang usia bus sedang di atas 10 tahun beroperasi di jalanan ibu kota. Peraturan ini membuat banyak operator bus sedang tunggang langgang. Mayoritas bus yang mereka miliki buatan tahun 1980-an, yang artinya tahun ini berusia lebih dari 30 tahun.
Di samping maraknya penertiban, operator bus juga harus menghadapi minimnya jumlah penumpang. Kenyataan di lapangan menunjukkan pengguna setia moda transportasi ini memang sudah tidak banyak lagi.
Hal ini terlihat dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas awal November lalu. Hampir 70 persen responden mengaku terakhir kali menaiki Metromini dan sejenisnya, lebih dari satu tahun yang lalu.
Metromini tidak lagi menjadi sarana transportasi umum andalan bagi sebagian besar warga di Jakarta seperti di era 1990-an. Sebagian telah beralih ke sejumlah pilihan moda lain.
Hampir sepertiga responden, kini lebih mengandalkan bus transjakarta. Setelah itu disusul ojek atau taksi daring yang menjadi favorit hampir seperempat responden, dan KRL Commuterline oleh sekitar 20 persen responden. Bus sedang seperti metromini/kopaja, menduduki peringkat empat, yang masih digunakan oleh 6,4 persen responden.
Transjakarta paling banyak menjadi andalan warga karena mempunyai banyak kelebihan. Mulai dari harga tiket yang murah (Rp 3.500), seperti yang disebutkan 43,5 persen responden. Selanjutnya, 18,5 persen responden menyatakan soal kenyamanan fasilitas bus. Faktor jangkauan yang luas (13,3 persen), aman (10,9 persen), serta terintegrasi (2,89 persen), juga menjadi titik berat pengguna bus transjakarta.
Sementara bus Metromini/Kopaja, tidak miliki kelebihan sebanyak transjakarta ataupun KRL Commuterline. Mayoritas (50 persen) hanya menyebutkan tarif murah sebagai salah satu alasan masih menggunakan Metromini/Kopaja. Tarif murah ini sebenarnya juga andalan bus Transjakarta ataupun kereta komuter. Tarif metromini/kopaja berkisar Rp 4.000 – 8.000.
Selanjutnya sekitar 12 persen pengguna bus sedang juga menyebutkan, jika metromini/kopaja cukup mudah diakses dari tempat tinggalnya. Alasan ini muncul karena bus ini bisa menaikkan dan menurunkan penumpang di mana saja, meski tidak ada halte.
Rasia yang gencar digalakkan Dishub DKI Jakarta, menjadi upaya menonaktifkan bus berwarna oranye, hijau, biru, dan putih ini secara perlahan. Menengok kualitas layanan yang jauh tertinggal dengan moda transportasi lainnya, sekitar 60 persen responden mengamini upaya pemerintah untuk memberhentikan operasional Bus Metromini dan kawan-kawan tahun depan. Sementara sisanya berpendapat bus sedang tersebut masih layak beroperasi
Melalui laman trafi.com, diketahui ada 57 rute yang masih dilayani Metromini, Kopaja, Kopami, Deborah, Koantas Bima, dan Dian Mitra. Diantaranya, ada 19 rute yang berimpitan dengan rute transjakarta. Sementara sisanya masih sepenuhnya dilayani Metromini dan sejenisnya.
Rute bus sedang tersebut barangkali menjadi andalan bagi mereka yang kontra dengan penghentian operasional bus sedang tahun ini. Alasannya, belum ada pilihan moda transportasi lainnya.
Publik pada dasarnya berharap Metromini/Kopaja/Kopami bisa tetap beroperasi di ibu kota dengan sejumlah persyaratan. Paling utama adalah peremajaan bus yang disebutkan oleh 45,6 persen responden.
Selanjutnya, seperempat responden mengusulkan usulan pendidikan ketrampilan bagi pengemudi agar tidak ‘ugal-ugalan’. Perilaku sopir ini kerap dikeluhkan, bahkan terkadang berujung pada kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan korban jiwa. Sisanya, sekitar 19 persen menyebutkan penambahan fasilitas bus seperti penyejuk udara, serta pengawasan ekstra untuk mengurangi potensi kriminalitas (3,2 persen).
Persyaratan publik yang utama sebenarnya sudah diinisiasi PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) melalui anak perusahaanya, PT Trans Swadaya, sejak 2016. Metromini dan operator lainnya, melalui perusahaan ini dimungkinkan tetap dapat beroperasi menggunakan bus ukuran sedang bernama Minitrans.
Selain menggunakan armada baru, fasilitas Minitras juga sudah sesuai dengan standar yang ditetapkan Transjakarta. Hingga Oktober 2019, sudah tiga operator yang menanggapi tawaran tersebut, yakni Kopaja, Kopami Jaya, dan Koantas Bima.
Saat ini, posisi operator bus sedang cukup sulit. Bergabung dengan manajemen di bawah Transjakarta menjadi satu-satunya pilihan. Namun konsekuensinya, ciri khas bus Metromini dengan warna oranye, Kopaja dengan warna hijau, ataupun Kopami yang berwarna biru di ibukota akan hilang. Bagaimanapun, ini merupakan konsekuensi demi layanan transportasi yang lebih baik.