Pengembangan Pusat Studi Lambanapu Menyatu dengan Warga
Pendirian Pusat Studi dan Rumah Peradaban Sumba Timur di Situs Lambanapu disesuaikan dengan kondisi permukiman masyarakat. Tidak akan ada bangunan museum di sana.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
Pendirian Pusat Studi dan Rumah Peradaban Sumba Timur di Situs Lambanapu disesuaikan dengan kondisi permukiman masyarakat. Tidak akan ada bangunan museum di sana.
WAINGAPU, KOMPAS — Pendirian Pusat Studi dan Rumah Peradaban Sumba Timur di Situs Lambanapu menggunakan konsep membumi atau menyatu dengan kekhasan identitas masyarakat setempat. Oleh karena itu, pengembangan kawasan ini tidak akan menggusur hunian masyarakat setempat.
Pembentukan Pusat Studi dan Rumah Peradaban Sumba Timur merupakan kelanjutan dari hasil penelitian Situs Lambanapu di Desa Lambanapu, Kecamatan Kambera, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Penelitian Situs Lambanapu dimulai sejak 1978 oleh Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) waktu itu, almarhum RP Soejono. Di tempat itu, peneliti menemukan jejak kubur kuno yang kemudian penelitiannya dilanjutkan secara intensif pada 1980, 1982, dan 1989.
Karena padatnya temuan, baik berupa kubur tanpa wadah maupun dengan wadah, Balai Arkeologi Bali yang merupakan Unit Pengelola Teknis di bawah Puslit Arkenas melanjutkan penelitian ini secara simultan pada 1990-2006. Sepuluh tahun kemudian, pada 2016 Puslit Arkenas meneruskan penelitian yang kemudian berhasil mengungkap kompleks penguburan kuno yang diperkirakan menandakan keberadaan perkampungan leluhur Sumba yang dihuni sekitar 3.500 hingga 3.000 tahun lalu.
“Kami tidak akan membuat bangunan megah atau pun museum di situs ini yang nantinya justru mangkrak, masyarakat tergusur dan mereka tidak mendapatkan apa-apa. Pusat Studi dan Rumah Peradaban ini biarlah menyatu dengan masyarakat dan budayanya,” kata Kepala Puslit Arkenas I Made Geria, Jumat (20/12/2019), di Waingapu, Sumba Timur.
Kami tidak akan membuat bangunan megah atau pun museum di situs ini yang nantinya justru mangkrak, masyarakat tergusur dan mereka tidak mendapatkan apa-apa.
Karena menerapkan konsep membumi dengan masyarakat setempat, maka pembangunan Pusat Studi dan Rumah Peradaban Sumba Timur disesuaikan dengan kondisi pemukiman masyarakat setempat. Untuk itu, Puslit Arkenas menggandeng arsitek Yori Antar, perintis gerakan Rumah Asuh yang fokus menciptakan arsitektur-arsitektur lokal sebagai kekayaan budaya bangsa yang sarat dengan kearifan lokal. Saat ini, proses pembuatan Pusat Studi dan Rumah Peradaban baru memasuki tahap awal.
“Jangan ada lagi kesan dari masyarakat bahwa pemerintah menciptakan benda-benda mati (bangunan infrastruktur) saja. Oleh karena itu, Pusat Studi dan Rumah Peradaban Sumba Timur mesti menumbuhkan kesadaran masyarakat terhadap kekayaan budaya mereka. Setelah para arkeolog meneliti, maka hasilnya diserahkan kembali kepada mereka karena pasti mereka ingin hidup dengan budaya leluhur dan mendapatkan manfaat serta inspirasi darinya,” kata dia.
Rapat kerja di situs
Mendengar kabar tentang keberadaan Situs Lambanapu serta pengembangan Pusat Studi dan Rumah Peradaban Sumba Timur, Gubernur NTT Victor Laiskodat yang tengah memimpin peringatan Hari Ulang Tahun Ke-61 NTT di Waingapu langsung menggerakkan 22 bupati/walikota seluruh NTT untuk menggelar rapat kerja di Situs Lambanapu pada Sabtu (21/12/2019) pagi. Raker akan dihadiri sekitar 750 tamu undangan.
Dalam kesempatan ini akan diluncurkan pula buku Sumba Timur, Permata dari Nusa Tenggara Timur yang diterbitkan Gadjah Mada University Press bersama Puslit Arkenas dengan dukungan Pemkab Sumba Timur. Setelah peluncuran, gubernur dan seluruh bupati/walikota langsung meninjau Situs Lambanapu dengan dibimbing oleh arkeolog senior Prof Truman Simanjuntak.
Situs Lambanapu yang awalnya terlihat kumuh berada di belakang kompleks pemukiman warga, kini mulai terlihat bersih dan tertata. Lereng tanggul di sisi situs diperkuat dengan formasi tanggul batu, sementara itu jalanan menuju situs telah diratakan oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat NTT.
Lokasi Situs Lambanapu berada di pinggir bekas Sungai Kambaniru yang telah mati dan beralih alur. Dari situs ini, pengunjung bisa menyaksikan pemandangan savana indah yang memanjang di seberang bekas sungai tersebut.
“Dahulu kala, leluhur Sumba sengaja memilih tempat ini sebagai hunian karena mereka mudah mendapatkan sumber air dari Sungai Kambaniru. Sungai itu sekarang telah mati dan berpindah jalur di tempat Sungai Kambaniru sekarang,” kata Truman.
Dahulu kala, leluhur Sumba sengaja memilih tempat ini sebagai hunian karena mereka mudah mendapatkan sumber air dari Sungai Kambaniru.
Untuk mengantisipasi agar kerangka manusia dan kubur tempayan tidak rusak, Puslit Arkenas mencetak casting atau replika yang kemudian ditempatkan di lubang galian situs. Sementara itu, temuan yang asli dipindahkan ke Rumah Leluhur, yaitu sebuah bangunan adat Sumba kecil yang berada di samping situs.
Masyarakat Lambanapu di sekitar situs meyakini bahwa individu-individu yang dikubur di kawasan itu merupakan leluhur mereka. Karena itu, mereka juga memperlakukan kerangka-kerangka yang disimpan di Rumah Leluhur seperti halnya kerabat-kerabat mereka yang telah meninggal dengan membungkusnya menggunakan kain-kain tenun ikat khas Sumba.
Menurut Andreas Marambadidi, warga Lambanapu, sejak dahulu warga di sekitar Situs Lambanapu telah mendapat cerita turun-temurun dari para orang tua bahwa di sekitar Lambanapu ada area pemakaman kuno. “Dulu saya juga pernah menemukan tempayan utuh yang digunakan sebagai wadah penguburan,” kata dia.