Pembahasan anggaran di DKI mengeruk perhatian publik. Ini tak bisa dihindari di tengah era keterbukaan informasi. Sebuah potensi kolaborasi yang wajar diberi ruang oleh pemerintah demi pembangunan kolaboratif yang nyata.
Oleh
Irene Sarwindaningrum
·6 menit baca
Pembahasan anggaran DKI Jakarta yang berlangsung tahun ini merupakan proses perumusan anggaran terpanas selama tiga tahun terakhir. Belum pernah terjadi dalam periode itu, dua pejabat utama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mundur dan satu anggota Dewan menuai rekomendasi sanksi peringatan dari Badan Kehormatan DPRD DKI Jakarta di tengah ramainya pembahasan anggaran. Apa yang menyebabkan proses rutin tahunan itu menjadi begitu panas tahun ini?
Lemahnya perencanaan dan kurangnya transparansi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta soal penganggaran dinilai sebagai faktor utama masalah ini menjadi liar. Buruknya perencanaan memunculkan sejumlah mata anggaran janggal di tahap pembahasan rancangan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS), yaitu dokumen sebelum Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD).
Sebut saja mata anggaran lem Aibon di Dinas Pendidikan DKI Jakarta senilai Rp 82 miliar serta influencer senilai Rp 5 miliar di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta. Sri Mahendra Satria Wirawan mundur dari jabatannya sebagai Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta, sedangkan Edy Junaedi mundur dari jabatannya sebagai Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta.
Kendati kemunduran itu tak dijelaskan terkait usulan anggaran janggal, keduanya paling aktif memberikan klarifikasi terkait masalah itu sejak mencuat ke publik. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyebutkan anggaran-anggaran janggal itu karena masih merupakan dummy atau mata anggaran sementara sebelum nantinya diperbaiki. Anggaran lem Aibon dan influencer langsung dihapus setelah keramaian tersebut.
”Perencanaan itu bisa jadi memang bisa lemah, tetapi kami melihat bisa juga perencanaan yang buruk itu disengaja. Sebab, potensi korupsi bisa muncul sejak perencanaan anggaran. Ditambah kurangnya transparansi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta soal pembahasan anggaran tahun ini, dugaan publik pun semakin liar,” tutur Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Misbah Hasan di Jakarta, Kamis (19/12/2019).
Pelaksana Tugas Bappeda DKI Jakarta Suharti mengatakan, anggaran janggal karena sistem penganggaran elektronik (e-budgeting) yang membuka peluang terjadinya kesalahan pemasukan mata anggaran itu.
Ia tak menyangkal bahwa diperlukan perbaikan dalam perencanaan anggaran DKI Jakarta, baik dari sisi e-budgeting yang bisa mendeteksi kesalahan, kajian yang lebih matang dalam pengajuan usulan anggaran, maupun peningkatan kapasitas pegawai negeri sipil yang berurusan dengan anggaran.
(Tak) transparan
Panasnya pembahasan anggaran tahun ini tak lepas dari besarnya keinginan masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam anggaran DKI Jakarta. Partisipasi ini bisa berupa mengawasi, mengkritik, hingga memberi masukan.
Kegaduhan, kata Misbah, tak bisa dihindari saat masyarakat sudah melek informasi di tengah era keterbukaan seperti sekarang. Ketidakterbukaan, seperti yang tahun ini terjadi dalam penganggaran DKI Jakarta, justru membuat kritik dan masukan kurang bermutu. Sebaliknya, dengan keterbukaan, masukan dari masyarakat akan semakin bermutu.
”Transparansi, akuntabilitas, dan aspirasi publik itu seharusnya sudah satu rangkaian dengan perencanaan anggaran,” ujarnya.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tak lagi mengunggah rancangan anggaran dari awal, yaitu dari pembahasan rancangan KUA-PPAS. Rancangan anggaran baru diunggah ke situs apbd.jakarta.go.id pada 9 Desember 2019 atau hanya dua hari sebelum disepakati bersama dengan DPRD DKI Jakarta sebagai RAPBD.
Nyaris tak ada waktu bagi warga untuk memeriksa ratusan ribu mata anggaran dalam waktu hanya dua hari, apalagi untuk memberi masukan. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berkali-kali mengatakan visinya untuk mewujudkan pengelolaan Ibu Kota sebagai bentuk kolaboratif bersama warga.
Transparansi, akuntabilitas, dan aspirasi publik itu seharusnya sudah satu rangkaian dengan perencanaan anggaran.
Mata anggaran ganjil ”bocor” ke publik dan media karena salah satu anggota Badan Anggaran dari Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI), William Aditya Sarana, membukanya melalui cuitan di akun Twitter pribadinya. Untuk usahanya mengusung keterbukaan itu, ia diganjar dengan rekomendasi memperoleh sanksi peringatan verbal dari Badan Kehormatan DPRD DKI Jakarta.
Berbeda dengan banyak rekannya di DPRD DKI Jakarta, Ketua Komisi E DPRD DKI Jakarta Iman Satria justru mendukung keterbukaan tersebut. Ia merasa terbantu dengan masukan itu dalam membahas mata anggaran-mata anggaran di komisinya.
”Anggaran lem Aibon itu, kan, ada di komisi saya. Justru saya merasa terbantu dengan adanya informasi itu, jadi bisa langsung membahas,” katanya, beberapa waktu lalu.
Ia juga sepakat tentang lemahnya perencanaan pada anggaran tahun ini sehingga memunculkan mata anggaran janggal. Padahal, jika lebih terencana, anggaran DKI Jakarta bisa dibahas dengan lebih baik dan menghasilkan anggaran yang lebih berkualitas.
Arah kebijakan
Postur anggaran juga menjadi parameter untuk membaca arah kebijakan kepala daerah. Pada tahun 2020, terlihat jelas prioritas utama adalah membangun sarana transportasi yang mengutamakan transportasi nonmotor, seperti jalur sepeda dan trotoar.
Untuk RAPBD 2020, anggaran untuk trotoar melonjak drastis menjadi Rp 1,38 triliun dari tahun 2019 yang hanya Rp 618 miliar dan tahun 2016, misalnya, yang hanya Rp 237,9 miliar. Jalur sepeda diusulkan Rp 62 miliar.
Jumlah ini lebih besar dari anggaran untuk pengadaan tanah di Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta untuk penataan bantaran kali dan waduk sebesar Rp 669,9 miliar; naturalisasi Rp 288,63 miliar, pembangunan saluran, waduk, embung, dan polder Rp 369 miliar; serta pemeliharaan pengendalian banjir Rp 465,5 miliar.
Beberapa anggaran untuk mengantisipasi banjir bahkan turun dari tahun 2019, seperti pembangunan saluran, waduk, embung, dan polder Rp 410,7 miliar serta pemeliharaan pengendali banjir Rp 702,24 miliar. Tahun 2019, Dinas Sumber Daya Air juga memperoleh anggaran untuk pengerukan Rp 5,3 miliar, sedangkan pada 2020 tak diusulkan.
Secara total, anggaran untuk antisipasi banjir sebenarnya tak terlalu berbeda dengan tahun sebelumnya. Akan tetapi, peningkatannya memang tak setinggi peningkatan pembangunan dan pemeliharaan trotoar. Padahal, antisipasi banjir dinilai masih perlu mendapat prioritas untuk Jakarta.
”Jadi, fokus kebijakan Pemerintah Provinsi DKI ini bagaimana,” kata Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Ida Mahmudah yang membahas anggaran trotoar dan Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta.
Di sisi lain, sejumlah pertanyaan juga muncul seputar besarnya anggaran untuk penyelenggaraan Formula E yang memperoleh porsi anggaran Rp 1,16 triliun di RAPBD 2020, antara lain untuk commitment fee Rp 396 miliar dan penyertaan modal daerah untuk pembangunan sarana dan prasarana Formula E sebesar Rp 767 miliar. Jumlah ini belum termasuk acara lain yang digelar untuk penyelenggaraan Formula E. Anies mengatakan, salah satu tujuan Formula E di Jakarta adalah promosi kendaraan listrik ramah lingkungan.
Wakil Ketua Komisi E Anggara Wicitra Sastroamidjojo mengatakan, mendorong penggunaan kendaraan listrik di Jakarta bisa dilakukan lebih efektif ketimbang menyelenggarakan Formula E yang dibebankan pada APBD. Di antaranya menggunakan anggaran untuk membangun 4.000 unit pengisian daya mobil listrik (charging station) yang bisa disebar ke seluruh penjuru Jakarta dan membeli 250 bus listrik yang bisa dipakai untuk melayani 120.000 warga jakarta setiap hari.
Mendorong penggunaan kendaraan listrik di Jakarta bisa dilakukan lebih efektif ketimbang menyelenggarakan Formula E yang dibebankan pada APBD.
”Saya bukannya menentang Formula E, tetapi anggarannya bisa dicarikan dari pihak lain sehingga tak membebani APBD DKI,” ujarnya.
Tingginya kritik dan saran dalam proses penganggaran DKI Jakarta ini tak akan pernah bisa dihindari di tengah era keterbukaan informasi ini. Semua mata memandang Jakarta. Sebuah potensi kolaborasi yang seharusnya diberi ruang oleh pemerintah demi pembangunan kolaboratif yang nyata bukan di mulut saja.