Sejak dibentuk pada 2008, jumlah kasus kriminalisasi yang ditangani aparat penegak hukum terkait Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE terus meningkat.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejak dibentuk pada tahun 2008, jumlah kasus kriminalisasi yang ditangani aparat penegak hukum terkait Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE terus meningkat. Ada sejumlah pasal karet yang perlu direvisi agar jumlah kasus tidak terus meningkat dan penerapan undang-undang tersebut tidak salah menyasar korban.
Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Damar Juniarto, Sabtu (21/12/2019), di Jakarta, menjelaskan, kasus kriminalisasi semakin buruk dengan memanfaatkan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE. Hal ini terlihat dari meningkatnya jumlah orang yang diselidiki Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri.
”Jumlah kasus yang diselidiki terus meningkat tahun demi tahun. Sejak 2017 hingga 2019, ada total 6.895 orang yang sudah diselidiki Polri dengan rincian 38 persen terkait dengan penghinaan terhadap tokoh, penguasa, lembaga publik; 20 persen terkait penyebaran tipuan; 12 persen terkait pidato kebencian; dan sisanya tindakan lain,” tutur Damar.
Menurut Damar, ada kasus yang berlanjut ke pengadilan. Menurut data Mahkamah Agung pada 2008-2018, ada 525 kasus hukum terkait UU ITE. Jumlah kasus pada 2018 ada 292 perkara atau meningkat melebihi dua kali dari tahun 2017 yang sebanyak 140 perkara.
”Kasus-kasus seperti ini rentan dialami sejumlah kalangan, seperti jurnalis, aktivis antikorupsi, aktivis lingkungan, minoritas jender, dan minoritas agama. Mereka diserang secara digital dan fisik, mengalami doxing (tindakan melacak identitas seseorang dari dunia maya), ditangkap, dituntut dengan hukum internet,” katanya.
Beberapa kasus itu seperti yang dialami aktivis sekaligus pengurus nasional Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Dandhy Dwi Laksono, September 2019. Ia ditangkap di rumahnya oleh petugas Polda Metro Jaya dengan tuduhan melanggar Pasal 28 Ayat (2) serta Pasal 45 A Ayat (2) UU ITE dan/atau Pasal 14 dan Pasal 15 Kitab Undang-undang Hukum Pidana karena alasan unggahan di media sosial Twitter mengenai Papua yang menimbulkan rasa kebencian.
Selain itu, ada juga kasus yang dialami Baiq Nuril, salah seorang guru honorer di Mataram, NTB, yang malah dikriminalisasi dengan UU ITE karena menyebarkan bukti terkait pelecehan seksual yang dialaminya. Ia akhirnya mendapat amnesti dari Presiden Joko Widodo setelah dipidana dengan hukuman penjara 6 bulan dan denda Rp 500 juta. Kasusnya pun sudah berjalan hingga tingkat Mahkamah Agung ketika itu.
Damar menjelaskan, ada beberapa pasal karet dalam UU ITE yang perlu segera direvisi oleh DPR. Pasal karet tersebut adalah Pasal 27 terkait pencemaran nama baik dan Pasal 28 terkait berita yang menebarkan kebencian.
Direktur Asosiasi Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial Wijayanto mengatakan, UU ITE juga kerap dijadikan sebagai senjata bagi setiap orang yang memiliki perbedaan pandangan politik satu sama lain. UU ITE juga kerap dijadikan alat untuk melemahkan kelompok yang kritis terhadap pemerintah.
”Jika hal ini terus didiamkan, akan terjadi kemunduran demokrasi dan pemerintahan yang otoriter karena UU ITE dijadikan sebagai alat pembungkam kebebasan berekspresi,” katanya.
Dihubungi secara terpisah, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Golkar, Dave Laksono, menjelaskan, Komisi I DPR belum berencana untuk merevisi UU ITE pada 2020. Ia juga mengatakan, pasal-pasal karet dalam UU ITE masih belum perlu untuk direvisi.
”Komisi I tidak ada rencana untuk merevisi UU ITE. Selain itu, revisi UU ITE juga tidak masuk dalam Prolegnas 2020,” ucapnya.