Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2019-2023 memasuki babak baru. Dewan Pengawas KPK kini menjadi penguasa baru di KPK.
Oleh
·2 menit baca
Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2019-2023 memasuki babak baru. Dewan Pengawas KPK kini menjadi penguasa baru di KPK.
Presiden Joko Widodo melantik Dewan Pengawas KPK, yakni Tumpak Hatorangan Panggabean (ketua), Artidjo Alkostar (mantan hakim agung), Albertina Hoo (hakim), Harjono (Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu), dan Syamsuddin Haris (peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Lima pimpinan KPK yang dipimpin Komisaris Jenderal Firli Bahuri dilantik bersama wakil ketua di Istana Negara, Jumat, 20 Desember 2019.
Kita memberi apresiasi keputusan Presiden Jokowi menunjuk anggota Dewan Pengawas yang rekam jejaknya relatif baik. Saat menjadi hakim agung, Artidjo adalah hakim ”killer” untuk koruptor. Komitmen memberantas korupsi tidak perlu diragukan. Namun, sepeninggal Artidjo, tren penurunan vonis para koruptor mulai terjadi di lingkungan Mahkamah Agung.
Memberikan kesempatan kepada Dewan Pengawas KPK dan pimpinan KPK untuk bekerja adalah pilihan bijak. Biarlah mereka bekerja untuk membuktikan, bahwa keraguan publik, masyarakat sipil, aktivis antikorupsi, bahwa revisi Undang-Undang KPK adalah pelemahan KPK adalah penilaian yang salah. Publik kini menantikan bagaimana Dewan Pengawas dan pimpinan KPK bekerja membersihkan bangsa ini dari korupsi yang menurut calon presiden Prabowo Subianto—kini Menteri Pertahanan—telah memasuki stadium empat. Namun, sebelum mereka bekerja, anggota Dewan Pengawas harus segera melepaskan jabatan mereka di tempat lain.
Tantangan berat akan dihadapi Dewan Pengawas. Mereka adalah tokoh yang relatif dikenal baik, tetapi bekerja dalam panggung yang rapuh. Mengutip seorang narasumber di Satu Meja, Dewan Pengawas ibarat artis top, yang menyanyi di atas panggung yang rapuh. Panggung rapuh itu adalah desain UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, hasil revisi UU KPK, yang menempatkan Dewan Pengawas sebagai penguasa baru, pimpinan KPK yang juga bukan penyidik dan penuntut.
UU No 19/2019 memang mengandung sejumlah kelemahan substansial dan bisa menghambat kerja pemberantasan korupsi, termasuk penempatan KPK dalam rumpun kekuasaan eksekutif. Sebut saja, penyadapan yang harus mendapat izin tertulis dari Dewan Pengawas dan didahului dengan gelar perkara. Dengan konstruksi seperti itu akan sulit bagi KPK melakukan operasi tangkap tangan. Gelar perkara mengasumsikan sudah ada tersangka, sementara penyadapan barulah pada tahap penyelidikan. Semua tindakan hukum penyadapan, penyitaan, penggeledahan kini harus mendapat izin dari Dewan Pengawas.
Terlepas dari kelemahan desain UU KPK yang baru, kita berharap KPK tak mengurangi progresivitasnya dalam memberantas korupsi. Kita berterima kasih kepada pimpinan KPK 2015-2019 yang telah berkontribusi membersihkan korupsi dan mengungkap perkara mega-besar. Penyidik KPK, salah satunya Novel Baswedan, harus menderita disiram air keras dan negara belum bisa mengungkap siapa pelakunya!