Penyerapan Anggaran Bermasalah Sebabkan Stimulus Ekonomi Tak Optimal
Sepertiga dana transfer dari pemerintah pusat mengendap di rekening pemerintah daerah, yakni Rp 230 triliun. Lambatnya penyerapan anggaran daerah menyebabkan stimulus perekonomian tidak optimal.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sepertiga dana transfer dari pemerintah pusat mengendap di rekening pemerintah daerah, yakni Rp 230 triliun. Lambatnya penyerapan anggaran daerah menyebabkan stimulus perekonomian tidak optimal.
Saldo simpanan pemerintah daerah (pemda) di bank nasional per 30 November 2019 mencapai Rp 230 triliun. Padahal, realisasi transfer ke daerah dan dana desa dari pemerintah pusat mencapai Rp 689,2 triliun atau 91,1 persen dari pagu APBN 2019.
Rincian realisasi transfer ke daerah meliputi dana transfer umum Rp 496,1 triliun, dana transfer khusus Rp 166,5 triliun, insentif daerah Rp 9,7 triliun, dana otonomi khusus dan dana keistimewaan DIY Rp 16,9 triliun, serta dana desa Rp 63,6 triliun. Transfer ke daerah pada November 2019 tumbuh 4 persen secara tahunan.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng berpendapat, transfer dana dari pusat yang mengendap di rekening pemerintah daerah jadi masalah klasik yang berulang setiap tahun. Pengendapan biasanya paling besar terjadi di akhir tahun anggaran.
”Penyebabnya mismanajemen sehingga daya serap anggaran rendah, yang berimplikasi ke peningkatan silpa (sisa lebih penghitungan anggaran). Persoalan ini harus dilihat secara serius, bukan hanya urusan internal pemda, tetapi pusat dan masyarakat,” ujar Robert di Jakarta, Jumat (20/12/2019).
Pengendapan transfer dana di rekening pemda dinilai ironis karena penerimaan perpajakan nasional dalam kondisi menantang. Realisasi penerimaan perpajakan per November 2019 sebesar Rp 1.312,4 triliun, hanya tumbuh 0,8 persen secara tahunan. Potensi penerimaan pajak yang tidak mencapai target (shortfall) tahun 2019 lebih dari Rp 140 triliun.
Di tengah kondisi penerimaan perpajakan yang sulit, pemerintah pusat tetap harus menyalurkan transfer dana ke daerah dan dana desa senilai Rp 756,8 triliun pada 2019. Transfer ke daerah sifatnya final sehingga tidak boleh ada pemangkasan anggaran.
Robert mengatakan, perencanaan anggaran daerah acap kali diselimuti intrik politik dan manipulasi sehingga proses belanja terhambat. Di sisi lain, aturan dan proses belanja memang rumit, misalnya terkait pengadaan barang dan jasa serta lelang. Hal itu mengakibatkan eksekusi program baru bisa dilakukan pada bulan ke-4 atau ke-5.
”Jika normalnya tahun anggaran berjalan 12 bulan, tetapi hambatan pengadaan dan lelang membuat tahun anggaran pemda yang efektif hanya 8-9 bulan,” ujar Robert.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, realisasi transfer ke daerah tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2018, yakni 2,8 persen. Pertumbuhan ini ditopang realisasi dana transfer umum yang mencapai 94,6 persen dari pagu APBN. Meski demikian, penyerapan anggaran di daerah harus terus diawasi.
”Pemerintah pusat sudah transfer dana ke daerah, tetapi berhenti di rekening pemerintah daerah, yang berarti dampaknya ke perekonomian daerah berkurang sepertiganya. Masalah ini perlu diperbaiki,” ucap Sri Mulyani.
Selain masalah serapan anggaran, kemampuan daerah untuk mengeksekusi pembangunan dari dana alokasi khusus fisik relatif rendah. Hal itu refleksi dalam realisasi dana alokasi khusus fisik yang mengalami kontraksi minus 1,9 persen atau terealisasi Rp 47,9 triliun. Sementara realisasi dana alokasi khusus nonfisik sebesar Rp 118,6 triliun atau tumbuh 6,3 persen.
”Akar masalah bukan uangnya, tetapi uang sudah ditransfer tertahan di rekening pemda dan waktu membangun tidak secepat yang diharapkan. Ini persoalan fundamental yang harus dihadapi,” tutur Sri Mulyani.
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Astera Primanto Bhakti mengatakan, ada berbagai penyebab transfer ke daerah mengendap di rekening pemda. Salah satunya karena pola belanja setiap daerah berbeda, ada yang ditumpuk di akhir tahun atau disalurkan bertahap dengan nominal sangat kecil.
”Dana mengendap di rekening pemda juga bisa jadi karena mereka (pemda) belum siap membelanjakan. Program dan output-nya belum siap sehingga dana tertahan,” ujar Astera.
Untuk itu, pemda terus didorong memperbaiki tata kelola keuangannya. Perencanaan harus benar-benar terencana sehingga penyaluran anggaran sesuai dengan jadwal yang ditetapkan. Pemda juga diberikan peringatan agar mengalokasi anggaran yang sifatnya mandatori, seperti pendidikan dan kesehatan.
”Jika tidak dilakukan, pemerintah pusat akan mengenakan sanksi berupa penundaan transfer dana alokasi umum,” kata Astera.
Pada 2020, penguatan transfer ke daerah dan dana desa dilakukan dengan menambah bidang baru untuk dana alokasi khusus fisik, yaitu sosial dan transportasi laut. Selain itu, tambahan dana alokasi umum dialokasikan juga untuk penyetaraan penghasilan tetap perangkat desa dan penggajian pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja.
Kementerian Keuangan juga akan mengubah skema penyaluran dana desa tahun 2020. Penyaluran anggaran akan dipercepat untuk mendorong konsumsi pemerintah daerah, terutama berupa pembangunan proyek infrastruktur.
Sejauh ini, skema yang paling memungkinkan adalah 40 persen tahap I, 40 persen tahan II, dan 20 persen tahap III.