Jumat yang Tak Lagi ”Keramat” di KPK
Sejak Undang-Undang KPK yang baru diundangkan, pertengahan Oktober lalu, KPK belum lagi melakukan penindakan dengan operasi tangkap tangan. ”Jumat Keramat” di KPK tak akan ada lagi?
”Jumat Keramat”. Demikian istilah yang dulu pernah tenar di Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK. Sebab, hampir saban Jumat, KPK berhasil menangkap koruptor melalui operasi tangkap tangan.
Namun, kini, sudah sepuluh Jumat terlewati setelah Undang-Undang KPK hasil revisi berlaku, tak ada lagi operasi. Jumat tak lagi ”keramat” di KPK. Begitu pula hari-hari lainnya.
Suasana hari Jumat di KPK kini tak lagi seperti dulu. Saat malam tiba, ruang wartawan sudah sepi dari wartawan.
Begitu pula area di pintu masuk Gedung KPK, di Jalan HR Rasuna Said, Jakarta. Di tempat yang biasa ”dijaga” wartawan hingga larut malam itu kini nyaris tak ada lagi yang rela berlama-lama.
Padahal, dulu, sebelum UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK diundangkan, 17 Oktober 2019, KPK menjadi pos liputan yang tak mungkin ditinggalkan wartawan, khususnya saban Jumat.
Pasalnya, di hari menjelang akhir pekan itu, kerap kali justru menjadi hari sibuk bagi para pemberantas korupsi di KPK. Bersumber dari penyadapan, mereka giat melakukan operasi tangkap tangan (OTT). Wartawan pun setia menantinya sekalipun tak jarang operasi oleh KPK baru tuntas larut malam atau setelah hari berganti.
Perubahan itu menjalar ke hari-hari lainnya. Hari-hari lain pascapemberlakuan UU No 19/2019 juga sepi dari OTT KPK.
OTT KPK terakhir terjadi pada Senin (14/10/2019) malam hingga Rabu (16/10/2019) dini hari, atau sehari sebelum UU No 19/2019 diundangkan dan diberlakukan.
Saat itu, KPK bahkan melakukan dua OTT, yaitu terhadap Bupati Indramayu Supendi dan Wali Kota Medan Dzulmi Eldin. OTT ini tak pelak dikhawatirkan sebagai akhir dari penindakan KPK dengan OTT yang sejak KPK berdiri tahun 2002 telah berhasil menangkap ratusan koruptor.
Sepanjang 2016 hingga OTT terakhir di pertengahan Oktober 2019, misalnya, sebanyak 327 orang yang ditangani KPK berasal dari OTT. Dari OTT itu, koruptor lain kemudian bisa dijerat. Dalam 2016-2019, sebanyak 281 orang yang diproses oleh KPK berasal dari pengembangan perkara.
Kekhawatiran bahwa OTT pada pertengahan Oktober lalu menjadi yang terakhir muncul karena berlakunya norma-norma baru di UU No 19/2019 yang dinilai akan mempersulit OTT KPK.
Baca juga: Pesan dari Kuningan dan Urgensi Perppu KPK
”Sesuai UU No 19/2019, penyadapan sebagai senjata utama OTT KPK harus melalui banyak tahapan. Ada gelar perkara, kemudian harus izin ke Dewan Pengawas. Problematika sistem ini memperlemah kinerja penindakan KPK melalui OTT,” tutur Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari.
Pada Pasal 12B UU No 19/2019 disebutkan, penyadapan oleh KPK harus dilaksanakan setelah mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas. Sebelum itu, pimpinan KPK harus mengajukan permintaan tertulis kepada Dewan Pengawas.
Kemudian, Pasal 37B menyebutkan bahwa Dewan Pengawas memiliki kewenangan untuk memberikan izin atau tidak atas permohonan penyadapan.
Dewan Pengawas terdiri atas lima orang. Untuk angkatan pertama Dewan Pengawas, Presiden memiliki kewenangan untuk memilih, menunjuk, dan mengangkatnya.
Setelah angkatan pertama, pemilihan anggota Dewan Pengawas harus melalui panitia seleksi yang dibentuk Presiden. Menurut rencana, lima anggota Dewan Pengawas angkatan pertama itu akan diumumkan Presiden Joko Widodo hari ini (20/12/2019).
Kehadiran aturan penyadapan yang baru itu pula yang diduga membuat KPK tak lagi menggigit. ”Ada dampak teknis dan psikologis pada KPK setelah berlakunya UU KPK,” ujar peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz.
Baca juga: KPK (Terancam) Lumpuh
Dampak teknis, KPK akan menghadapi berbagai macam komplikasi persoalan hukum kalau OTT tetap dilakukan. Salah satunya, kemungkinan yang tertangkap melalui OTT menggugat KPK dengan mendasarkan pada UU KPK yang baru. Penyadapan yang harus seizin Dewan Pengawas, misalnya, sedangkan realitasnya, Dewan Pengawas belum dibentuk.
Adapun problem psikologis, pegawai KPK kini dihadapkan pada persoalan bahwa status mereka akan diubah menjadi aparatur sipil negara. Ini pun amanah UU No 19/2019.
”Ini bukan hanya soal status, tapi bagaimana kemerdekaan bekerja secara independen yang direnggut oleh negara dan itu yang saya lihat membuat zona tidak nyaman. Independensi yang menjadi mahkota KPK, mahkota itu dirampas dan memunculkan keresahan. Keresahan membuat kinerja KPK melemah,” katanya.
Namun, anggapan-anggapan itu ditepis para pemimpin KPK.
Ketua KPK Agus Rahardjo menyebut ada persoalan teknis, yaitu pergantian server, sehingga aktivitas penyadapan belum bisa dilakukan. Namun, kini, proses pergantian sudah tuntas, dan perangkat untuk penyadapan sudah bisa digunakan kembali.
Baca juga: Era Baru KPK: Tersandera, Teramputasi, dan Birokratis
”Bukan, bukan karena UU KPK yang baru, sama sekali bukan. Kalau UU-nya masih mengizinkan, apalagi transisi UU berlaku dua tahun. Jadi, kalau kemarin ada (hasil penyadapan) yang matang, ya, bisa saja (OTT), tetapi kemarin tidak ada yang matang,” ujar Agus.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menambahkan, ada setidaknya 200 nomor telepon yang masih disadap KPK. Ada penyadapan yang sudah berjalan sejak enam bulan lalu, ada pula nomor baru yang disadap setelah KPK menerima laporan dari masyarakat.
”Kalau kenapa sejak UU KPK yang baru berlaku belum ada OTT, ya memang karena hasil penyadapan belum menunjukkan adanya dugaan korupsi. Yang jelas, UU yang baru tak menghalangi penyadapan. Hanya nanti kalau setelah ada Dewan Pengawas, kan, harus persetujuan. Sekarang belum ada. Ya, sudah pimpinan tanda tangan, lalu lanjutkan penyadapan,” katanya.
Tanpa OTT, Agus melanjutkan, bukan berarti pula KPK berhenti menindak koruptor. Dari pengembangan perkara korupsi lain, KPK beberapa kali menetapkan tersangka.
Terakhir, empat hari lalu persisnya, KPK menetapkan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) periode 2011-2016 Nurhadi sebagai tersangka penerima suap dan gratifikasi senilai Rp 46 miliar terkait dengan pengurusan perkara.
Ini merupakan pengembangan perkara Edy Nasution, bekas panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang ditangkap pada April 2016.
Baca juga: KPK Bongkar Mafia Hukum
Metode pengembangan perkara itu pula yang diyakini Agus dapat menjadi ”senjata” KPK ke depan, selain ”senjata” penyadapan yang setelah berlakunya UU No 19/2019 harus melalui prosedur berlapis-lapis.
Seperti diketahui, pada 20 Desember 2019, pimpinan KPK akan berganti. Firli Bahuri bersama Alexander Marwata, Lili Pintauli Siregar, Nurul Ghufron, dan Nawawi Pomolango akan memimpin KPK hingga tahun 2023.
Lantas, akankah prosedur berlapis di UU No 19/2019 itu membuat OTT terhambat atau bahkan membuat OTT tak akan ada lagi?
Kuncinya, menurut Feri Amsari, ada pada pimpinan KPK dan mereka yang akan menjabat Dewan Pengawas.
”Sepanjang personal pimpinan yang baru dan orang-orang Dewan Pengawas itu orang-orang baik dan figur-figurnya memang memiliki komitmen kuat untuk memberantas korupsi, tentu penindakan KPK dengan OTT tak akan hilang. Jadi, pelemahan sistem melalui UU KPK yang baru akan tertutupi oleh kebaikan dan komitmen figur-figur itu,” ujarnya.
Sebaliknya, jika figur-figur pimpinan KPK dan Dewan Pengawas bukan orang baik, ditambah lagi sistemnya lemah, sirna sudah harapan publik akan pemberantasan korupsi ke depan.
Baca juga: Pemilihan Dewan Pengawas Tak Beri Ruang Partisipatif
Yang jadi persoalan, tak sedikit yang meragukan pimpinan KPK 2019-2023. Ketua KPK 2019-2023 Firli Bahuri menjadi sosok yang paling kontroversial. Sejak masih dalam proses pemilihan pimpinan KPK, dia paling banyak disorot terutama karena rekam jejaknya saat menjabat Deputi Penindakan KPK (2018-2019).
Baca juga: Mahasiswa Bentangkan Poster "SOS" Saat Uji Capim KPK Firli Bahuri
Kala itu, dia diduga melanggar kode etik dan pernah diperiksa Direktorat Pengawasan Internal KPK. Namun, proses tidak tuntas karena Firli ditarik bertugas di Polri.
”Firli Bahuri harus membuktikan komitmennya pada pemberantasan korupsi,” kata Feri Amsari.
Khusus Dewan Pengawas, harapan diletakkan pada Presiden Joko Widodo karena angkatan pertama Dewan Pengawas ditunjuk sepenuhnya oleh Presiden. Ini juga menjadi momentum bagi Presiden untuk membuktikan komitmennya pada agenda pemberantasan korupsi.
Keraguan pada Presiden belakangan muncul karena Presiden tak kunjung menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk mencabut UU KPK yang baru, yang dinilai banyak kalangan bakal melemahkan KPK. Keraguan pun menguat setelah Presiden mengeluarkan grasi untuk terpidana korupsi, mantan Gubernur Riau Annas Maamun.
Baca juga: Ujung Jalan Penindakan KPK?
Atas keraguan yang muncul pada pimpinan KPK 2019-2023, Nurul Ghufron menepisnya. OTT KPK dipastikan akan tetap berjalan ke depan.
”Bahkan nantinya akan lebih on the track karena penyadapan tidak akan menyadap hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan perkara korupsinya,” katanya.
Kehadiran Dewan Pengawas juga diyakininya tak akan menghambat kerja penindakan KPK dengan OTT. Justru sebaliknya, Dewan Pengawas akan menguatkan penyadapan sekaligus OTT yang akan dilakukan KPK.
”Intinya begini, sama dengan orang berjalan, orang berjalan sendiri dibandingkan dengan orang berjalan diawasi kira-kira memperkuat atau melemahkan? Kalau kami berjalan sendiri, bisa ugal-ugalan. Dewan Pengawas itu hal positif yang dapat tetap menjaga marwah KPK saat KPK menyimpang atau sewenang-wenang,” ujarnya.
Baca juga: Syafii Maarif Harapkan Sosok yang Tak Punya Cacat
Sebelumnya, Presiden Jokowi juga telah menyatakan tak akan sembarangan memilih orang untuk menjadi anggota Dewan Pengawas KPK. Presiden berjanji memilih orang-orang terbaik untuk menjadi pengawas KPK.
Kita tunggu!