Aset sitaan atau rampasan negara dari perkara tindak pidana umum dan khusus yang totalnya mencapai Rp 411,36 miliar terbengkalai karena ketidakpastian penerapan aturan hukum.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aset sitaan atau rampasan negara dari perkara tindak pidana umum dan khusus yang totalnya mencapai Rp 411,36 miliar terbengkalai karena ketidakpastian penerapan aturan hukum. Akibatnya, harta rampasan yang semestinya bisa dimanfaatkan sebagai penerimaan negara justru menjadi beban keuangan negara.
Hal itu mengemuka dalam peluncuran organisasi non-pemerintah Forum Masyarakat Peduli Aset Negara (Formapan) di Jakarta, Kamis (19/12/2019). Peluncuran juga disertai diskusi bertajuk ”Benda Sitaan dan Barang Rampasan Negara Hasil Tindak Pidana Umum dan Khusus: Aset, Beban, atau Sampah”.
Dalam acara tersebut, hadir antara lain Direktur Eksekutif Formapan Sahat Ferdinandus Aritonang, Direktur Advokasi dan Edukasi Formapan Edi Danggur, serta Ketua Pembina Yayasan Tirta Bakti Nusantara Anton Lukmanto. Selain itu, ada pula Direktur Pelayanan Tahanan dan Pengelolaan Benda Sitaan Negara dan Barang Rampasan Negara Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Heni Yuwono.
”Berdasarkan catatan Kemenkumham per 18 Desember 2019, nilai total aset sitaan dan rampasan mencapai Rp 411,36 miliar,” kata Heni.
Aset tersebut terdiri atas 12 jenis barang, antara lain mobil, sepeda motor, kapal/pesawat, kayu, uang, dan perhiasan. Selain itu, ada pula logam nonmulia, surat berharga, tanah atau bangunan, bahan bakar minyak dan gas, serta barang elektronik.
”Kalau benda sitaan dan barang rampasan negara ini dipertanyakan akan menjadi aset, beban, atau sampah, itu sangat tepat,” ujar Heni.
Ia menambahkan, aset-aset itu terbengkalai dan berpotensi menyusut nilai ekonominya. Praktik yang terjadi, aset-aset tersebut belum dilelang sebelum ada putusan inkracht terkait perkara yang melekat pada aset.
Padahal, mengacu pada Pasal 45 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), pemanfaatan aset sitaan bisa saja dilakukan sebelum ada putusan inkracht.
Adapun bunyi pasal tersebut, ”Dalam hal benda sitaan terdiri atas benda yang dapat lekas rusak atau yang membahayakan sehingga tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan pengadilan terhadap perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum tetap atau jika biaya penyimpanan benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi, sejauh mungkin dengan persetujuan tersangka atau kuasanya dapat diambil tindakan sebagai berikut: pertama, apabila perkara masih ada di tangan penyidik atau penuntut umum, benda tersebut dapat dijual lelang atau dapat diamankan oleh penyidik atau penuntut umum, dengan disaksikan oleh tersangka atau kuasanya; kedua, apabila perkara sudah ada di tangan pengadilan, maka benda tersebut dapat diamankan atau dijual lelang oleh penuntut umum atas izin hakim yang menyidangkan perkaranya dan disaksikan oleh terdakwa atau kuasanya.”
”Akan tetapi, Pasal 45 KUHAP itu masih jarang sekali digunakan,” kata Heni.
Tak optimal
Selain celah hukum, penyusutan nilai aset juga terjadi karena kekurangan infrastruktur. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP, diatur bahwa aset sitaan harus disimpan di rumah penyimpanan benda sitaan negara (rupbasan). Menkumham perlu membentuk rupbasan di setiap ibu kota kabupaten/kota.
”Namun, total rupbasan kita baru 64 unit di seluruh Indonesia,” ujar Heni.
Menurut dia, pemerintah kekurangan anggaran untuk membangun rupbasan baru. Lokasi pembangunan pun belum tentu ada.
Di luar ke-64 rupbasan itu, aset disimpan pada setiap instansi yang terkait dengan penanganan perkara. Akan tetapi, tidak satu pun lokasi penyimpanan melapor ke rupbasan terdekat.
”Oleh karena itu, sejumlah aset sitaan tidak terlacak. Nilainya mungkin bisa triliunan rupiah dan bisa menyusut jika tidak dirawat,” lanjutnya.
Perjelas status hukum
Sahat Ferdinandus Aritonang menyayangkan penyusutan nilai ekonomis aset sitaan dan rampasan. Menurut dia, hal itu semestinya dihindari agar negara bisa mengambil manfaat dari harta hasil pelanggaran hukum. Perhatian terhadap persoalan itu juga yang mendorongnya dan rekan-rekan mendirikan Formapan.
Menurut dia, harus ada dorongan agar mekanisme pemanfaatan aset sitaan menjadi jelas. Salah satunya, menetapkan status hukum barang sitaan. ”Solusi paling penting adalah penggunaan Pasal 45 KUHAP, atas izin tersangka, kan, itu bisa langsung dilelang,” kata Sahat.
Ia menambahkan, penerapan pasal tersebut juga baru bisa mengatasi perkara yang baru terjadi. Sementara itu, perkara yang mangkrak sehingga aset ikut terbengkalai membutuhkan terobosan berupa fatwa Mahkamah Agung (MA).
Sahat mengusulkan, fatwa itu dimohonkan oleh penanggung jawab yuridis perkara atau penyidik. Dengan begitu, penyidik dapat langsung melelang aset sitaan. Lalu, menyimpan hasil penjualannya pada rekening khusus yang ditunjuk Menteri Keuangan sebagai penempatan sementara.
”Fatwa MA pun nanti semestinya mengubah isi putusan pengadilan, menyebutkan bahwa barang bukti sudah diuangkan,” ujar Sahat.