JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah memulai transformasi ekonomi untuk memperbaiki defisit neraca perdagangan pada awal 2020 dengan cara meningkatkan produk ekspor dan mengembangkan substitusi impor.
Dua langkah prioritas itu terjabar dalam enam program perbaikan neraca perdagangan. Keenam program itu meliputi implementasi mandatori biodiesel 30 persen, gasifikasi batubara, restrukturisasi Trans-Pacific Petrochemical Indotama (TPPI), pembangunan smelter, pengembangan kilang hijau, dan pengenaan bea masuk tindakan pengamanan sementara (BMTPS).
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Iskandar Simorangkir, Selasa (17/12/2019), di Jakarta, mengatakan, enam program jangka pendek itu mulai dilaksanakan awal 2020.
Implementasi pencampuran 30 persen biodiesel dalam 1 liter solar (B-30) pada 2020 dilakukan dengan penyaluran bahan bakar nabati (BBN) sebanyak 9,6 juta kiloliter. Implementasi B-30 ini diperkirakan menghemat devisa 4,8 miliar dollar AS. ”Langkah itu akan diikuti percepatan pembangunan pabrik gasifikasi batubara berkapasitas 1,8 juta ton per tahun untuk substitusi impor elpiji,” ujarnya.
Semua program perbaikan neraca dagang itu dalam satu tahun sudah mulai dilaksanakan.
Program ketiga adalah restrukturisasi TPPI untuk mengurangi impor produk petrokimia. Penghematan devisa dari program ini diperkirakan 1 miliar dollar AS per tahun. Berikutnya adalah pembangunan smelter, pabrik pengolahan dan pemurnian bijih tambang, untuk hilirisasi produk tambang, terutama industri nikel. Industri hulu dan hilir aluminium juga akan diintegrasikan melalui program sinergi BUMN.
Sementara program kelima adalah pengembangan kilang hijau berbahan baku produk olahan minyak kelapa sawit di Plaju, Sumatera Selatan, oleh PT Pertamina. Pengembangan bahan bakar hijau, seperti solar hijau (green diesel) dan bensin hijau (green gasoline), ini masih dalam tahap penelitian dan percobaan untuk menggantikan bahan bakar minyak berbasis fosil. Terakhir ialah pengenaan BMTPS melindungi produk dalam negeri dari impor produk sejenis. ”Semua program perbaikan neraca dagang itu dalam satu tahun sudah mulai dilaksanakan,” kata Iskandar.
Melalui enam program itu, target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 diharapkan terealisasi. Dalam draf rancangan awal RPJMN 2020-2024, pertumbuhan ekspor dan impor ditargetkan seimbang masing-masing 4,8 persen. Khusus ekspor nonmigas rata-rata ditargetkan tumbuh 7,2 persen. Adapun rata-rata pertumbuhan ekonomi pada periode 2020-2024 sebesar 6 persen.
Langkah konkret
Senin lalu, Presiden Joko Widodo meminta transformasi ekonomi untuk memperbaiki defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan segera dilaksanakan. Salah satu yang diminta Presiden adalah mengurangi impor migas.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan Januari-November 2019 defisit 3,105 miliar dollar AS atau Rp 43,4 triliun. Defisit itu berpotensi memperlebar defisit transaksi berjalan pada akhir 2019. Pada triwulan III-2019, defisit transaksi berjalan sebesar 7,7 miliar dollar AS atau 2,7 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Iskandar memperkirakan defisit transaksi berjalan akhir tahun ini 2,6 persen PDB. ”Defisit transaksi berjalan itu sedikit melebar dari target kami yang sebesar 2,5 persen PDB. Kondisi ini sejalan dengan kontraksi terhadap kinerja ekspor sepanjang tahun ini,” katanya.
Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Agung Pribadi mengatakan, tahun ini pencampuran 20 persen biodiesel dalam 1 liter solar telah dinaikkan menjadi 30 persen. Targetnya, pada 1 Januari 2020, masyarakat bisa menggunakan biosolar B-30.
Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Risiko PT Pertamina (Persero) Heru Setiawan mengatakan, Pertamina bekerja sama dengan PT Pupuk Kujang dan Institut Teknologi Bandung mengembangkan pabrik pembuatan katalis. Katalis merupakan zat untuk mempercepat laju reaksi kimia pada suhu tertentu dalam proses pengolahan produk migas. ”Selama ini, Indonesia mengimpor katalis senilai 500 juta dollar AS per tahun,” ujarnya.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani mengatakan, pelaku usaha Indonesia akan mengambil peluang perang dagang AS-China, terutama melalui substitusi produk China. ”Kami menargetkan lima sektor utama, yaitu tekstil, sepatu, elektronik, mebel, dan makanan minuman. Ini jadi fokus yang akan kami ambil untuk diekspor ke AS,” katanya.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 5,07 persen pada 2019 dan 5,04 persen tahun 2020. Perang dagang AS-China yang berefek pada kecenderungan proteksionisme dan perlambatan pertumbuhan negara jadi faktor penekan.
Tata kelola yang baik dan tepat jadi kunci penting percepatan transformasi guna mengangkat pertumbuhan ekonomi Indonesia. ”Ketidakpastian global mau tak mau harus dihadapi dan ini membutuhkan bauran kebijakan yang tak mudah,” kata Kepala Pusat Penelitian Ekonomi LIPI Agus Eko Nugroho.