Pemerintah daerah masih menunggu petunjuk teknis pengendalian dan penanggulangan wabah demam babi afrika (African swine fever/ASF) setelah deklarasi yang dilakukan Kementerian Pertanian.
Oleh
NIKSON SINAGA
·4 menit baca
MEDAN, KOMPAS — Pemerintah daerah bersiap melakukan pengendalian dan penanggulangan yang lebih intensif menyusul pernyataan wabah penyakit demam babi afrika (African swine fever/ASF) oleh Kementerian Pertanian. Pemerintah mengutamakan pembatasan lalu lintas ternak babi agar ASF tidak menyebar dari 16 kabupaten/kota di Sumatera Utara.
Pemerintah juga berfokus menyosialisasikan bahwa daging babi aman dikonsumsi karena virus ASF tidak dapat menular ke manusia. Konsumsi penting sebagai upaya pengurangan populasi (depopulasi) secara alami tanpa merugikan peternak.
”Kami akan tindak lanjuti pernyataan wabah ASF sesuai dengan tahapan dan koridor yang ditetapkan Kementerian Pertanian. Kami masih menunggu petunjuk teknis pengendalian dan penanggulangan,” kata Kepala Bidang Kesehatan Hewan Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan Sumatera Utara Mulkan Harahap, Rabu (18/12/2019).
Mulkan mengatakan, mereka masih menunggu surat resmi dari Kementerian Pertanian tentang pernyataan wabah penyakit ASF. Sejak dideteksi pada September lalu, kata Mulkan, mereka telah melakukan penanganan seperti pembatasan lalu lintas babi dan pembagian desinfektan kepada peternak.
Sejauh ini, lanjut Mulkan, kematian babi masih terus terjadi di daerah terjangkit wabah ASF. Kematian yang dilaporkan di Sumut sudah lebih dari 29.000 ekor dari populasi 1,2 juta babi di Sumut.
Dalam Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian Nomor 820/KPTS/PL.320/12/2019 tentang Pernyataan Wabah Penyakit Demam Babi Afrika (African Swine Fever) pada Beberapa Kabupaten/Kota di Sumatera Utara tertanggal 12 Desember 2019 yang diterima Kompas dinyatakan, terdapat 16 kabupaten/kota di Sumut yang terjangkit virus ASF.
Ke-16 daerah itu adalah Kabupaten Dairi, Humbang Hasundutan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Karo, Toba Samosir, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, Samosir, Simalungun, Pakpak Bharat, Langkat, Kota Tebing Tinggi, Pematang Siantar, dan Kota Medan.
Kami masih menunggu petunjuk teknis pengendalian dan penanggulangan. (Mulkan Harahap)
Di dalam SK juga dinyatakan bahwa di wilayah Sumut terdapat kompartemen atau unit usaha peternakan dan kesehatan hewan bebas penyakit ASF. Daerah itu dapat dinyatakan sebagai daerah bebas sepanjang tidak ditemukan kasus atau agen penyakit ASF. Penetapan daerah bebas itu dinyatakan dalam keputusan menteri.
Kepala Balai Veteriner Medan Agustia mengatakan, mereka telah menyampaikan saran teknis kepada pemerintah kabupaten untuk pengendalian dan penanggulangan ASF. ”Kami meminta penutupan wilayah terjangkit bisa dilakukan dengan lebih intensif,” katanya.
Pihaknya juga terus menyosialisasikan bahwa daging babi masih aman dikonsumsi meskipun terjangkit ASF. ”Konsumsi babi ini penting agar proses depopulasi secara alami terjadi. Depopulasi merupakan salah satu cara untuk menghentikan penyebaran agar tidak ada inang tempat hidup virus. Sampai saat ini belum ada vaksin ataupun obat ASF,” ujarnya.
Terbatas
Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Karo Matehsa Purba mengatakan, pengendalian dan penanggulangan penyakit ASF dalam beberapa bulan belakangan dilakukan pemda dengan sangat terbatas karena kesulitan anggaran. Mereka tidak punya dana darurat dan sulit mengalihkan anggaran dari pos lain karena sudah di pengujung tahun.
Matehsa mengatakan, mereka berharap pengendalian dan penanggulangan bisa semakin baik seiring dengan pernyataan wabah ASF oleh Menteri Pertanian. ”Kami sudah mengajukan sejumlah program dan anggaran untuk pengendalian dan penanggulangan ASF,” katanya.
Kepala Bidang Peternakan Dinas Pertanian Dairi Jhon Manurung mengatakan, kematian babi masih terus terjadi di daerahnya. Para peternak seharusnya bisa menjual ternaknya yang masih hidup untuk diperdagangkan di dalam daerah. Hal itu sangat penting agar peternak tidak semakin merugi. ”Namun, kami tidak bisa melakukan hal itu karena babi justru tidak laku dijual karena konsumsi masyarakat menurun,” ujarnya.
Manarimsan Siburian (60), peternak babi di Kecamatan Sitinjo, Dairi, mengatakan, belum mengetahui penyakit apa yang menyebabkan ternak babinya mati. Hingga kini, mereka belum pernah mendengar ASF dan belum mendapat pemberitahuan atau bantuan apa pun dari pemerintah. ”Kami hanya berusaha memberikan berbagai macam obat, seperti antibiotik dan vitamin. Namun, 11 babi saya sudah mati,” katanya.
Hal yang sama juga dialami Andri Siahaan (33), peternak di Kecamatan Sunggal, Deli Serdang. Sebanyak 30 babinya mati dalam satu bulan belakangan. Ternak awalnya tidak nafsu makan, muncul bintik merah di badan, dan demam tinggi. Dalam waktu 3-7 hari, babi mengalami pendarahan di mulut dan dubur lalu mati.
Andri mengatakan, harga ternak babi di daerah mereka terus menurun dan sangat sulit dijual. ”Ada yang menjual Rp 100.000 per ekor dengan timbangan 80 kilogram. Padahal, harga babi sebelumnya Rp 30.000 per kilogram,” katanya.