Merawat Bumi, Merajut Kebersamaan
Natal dan Tahun Baru menjadi momentum melahirkan kesadaran baru. Harapan untuk membangun keadilan iklim. Menyelamatkan bumi dari kehancuran.
Kepedulian lingkungan bukan sekadar wacana di Sunter Jaya, Jakarta Utara. Menyusuri Kampung Berseri Proklim itu bagai melintasi belantara. Rindang pepohonan dan sejuknya udara buah perjuangan masyarakat.
”Dulu (udara) di sini panas, tapi semua berubah sejak warga bahu-membahu menanam,” kata Ketua RW 001 Sunter Jaya, Sri Rahayu, Selasa (17/12/ 2019).
Kampung tak lagi langganan banjir, panas, dan kumuh. Sejak 2010 dibangun gerakan kolektif. Selain menanam pohon, resapan air dibenahi. Warga pun mengolah sampah rumah tangga jadi pupuk. Bungkus minuman plastik, kain perca, dan kaleng bekas disulap menjadi kerajinan tangan.
Hasilnya menambah perekonomian keluarga. Namun, yang lebih membanggakan, kampung itu menerima anugerah kampung ramah iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2016.
Perbedaan agama bukan masalah. Kami melebur untuk merawat Bumi.
Sang inisiator, Robertus Bellarminus Sutarno, menceritakan gerakan itu berjalan dalam hubungan antarpemeluk agama. ”Perbedaan agama bukan masalah. Kami melebur untuk merawat Bumi,” katanya.
Gerakan serupa berjalan juga di rumah-rumah ibadah. Uskup Agung Keuskupan Agung Jakarta Kardinal Ignatius Suharyo mengatakan, masalah lingkungan menjadi sumber keprihatinan bersama. Pesan Paus Fransiskus, ”Laudato si” yang berarti ’Puji Bagi-Mu’, lanjutnya, dimaknai wujud kepedulian atas Bumi. Paus mengkritik konsumerisme dan pembangunan tak terkendali sehingga merusak lingkungan dan memicu pemanasan global. Karena itu, gerakan global harus dibangun untuk menyelamatkan bumi dari kehancuran.
Menurut Suharyo, umat Kristiani diajak memilah dan mengolah sampah hingga menyetop penggunaan kemasan plastik. Dalam ibadah-ibadah rumah tangga atau acara di gereja, umat membawa botol minum sendiri.
Gerakan lintas agama juga dibangun lewat forum Siaga Bumi. ”Dalam konteks lingkungan, tidak ada lagi perbedaan agama,” ujar Hayu Prabowo, Ketua Penggerak Dewan Siaga Bumi.
Tempat-tempat ibadah ramah lingkungan diciptakan. Contohnya di Sentul, Jawa Barat, ada program Ecomasjid alias masjid ramah lingkungan. Air wudu ditampung dalam bak khusus, lalu dimanfaatkan untuk menyiram tanaman dan selebihnya disuling. Residu sampah diolah menjadi energi. Pada akhirnya, gerakan kolektif merawat Bumi mendatangkan pula kebaikan bagi umat.
Liputan Natal
Kompas ingin mengingatkan pembaca untuk kembali pada kebersamaan hidup selaras pada alam. Natal menjadi momentum menyalakan optimisme. Pesan ”Merawat Bumi, Merajut Kebersamaan” sebagai potret gerakan kolektif.
Baik umat, dunia usaha, maupun semua warga bersama-sama mengurangi sampah. Pohon dan ornamennya tak lagi beli baru, tetapi dibangun dari botol plastik bekas hingga bahan daur ulang.
Lalu, bagaimana warga menyiasati sampah menumpuk di masa Natal? Bagaimana perilaku belanja, perubahan konsumsi, dan pola komunikasi masyarakat. Ucapan Selamat Natal tak lagi menghabiskan kartu dan biaya pengiriman, tetapi lewat pesan singkat.
Teknologi semakin memudahkan masyarakat dan menghemat energi, dari pemesanan tiket mudik hingga layanan antar makanan. Seberapa efektif kemudahan itu mengurangi sampah, atau jangan-jangan malah sebaliknya.
Pesan-pesan untuk hidup selaras dengan alam juga diwarisi gereja-gereja bersejarah di Nusantara. Sebut Katedral Ketapang yang berarsitektur khas Dayak dan berkayu ulin dengan interior berukir, berkisah cara orang Dayak mengenal Yesus serta ikatan batin mereka pada alam. Ini membawa pesan pelestarian lingkungan. Ada pula Gereja Katolik St Dionysius di Sumatera Utara, masih mempertahankan gereja kayu tua dengan ukiran kuno dan aksara lama yang menggambarkan inkulturasi budaya.
Semangat keberagaman dan toleransi perlu senantiasa dipupuk dalam kehidupan di masyarakat. Di Bandung, ada kelompok Peace Generation, yang getol mengusung semangat keberagaman lewat beragam acara hingga pendampingan anak-anak muda. Natal juga diwarnai Festival Welas Asih yang bertujuan mendorong terciptanya kebersamaan umat.
Kisah dari gereja membawa semangat kolektif kebersamaan. Ada kisah toleransi tentang gereja dan masjid yang berdampingan, hingga tradisi janur kuning umat Hindu, kini melebur pada tradisi Natal di Bali.
Ada pula fenomena masyarakat membangun tempat-tempat wisata Natal untuk menyambut pengunjung di akhir tahun. Tujuan wisata yang pernah terempas akibat bencana alam mulai bangkit di sejumlah daerah. Ada semangat memperkuat mitigasi bencana dan mendongkrak pariwisata.
Di pengujung tahun, anak-anak muda gandrung naik gunung untuk merasakan kedamaian alam dan keagungan Sang Pencipta menjelang pergantian tahun.
Edisi Natal dan Tahun Baru akan ditutup dengan harapan dan optimisme generasi milenial dalam menyongsong tahun yang baru. (TIM KOMPAS)