Menembus tembok stigma negatif penyandang disabilitas tidak mudah. Setelah batasan itu runtuh, mereka dapat meraih prestasi luar biasa seperti warga pada umumnya.
Oleh
Fajar Ramadhan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Tidak mudah menjalani kehidupan sebagai seorang penyandang disabilitas. Dibutuhkan mental luar biasa untuk melanjutkan kehidupan sebagaimana orang pada umumnya sambil tetap berdaya. Mereka juga membutuhkan dukungan dari keluarga.
Muhammad Nur Saliim Madek (14), penyandang disabilitas tuna rungu menjadi contoh nyata kuatnya mental penyandang disabilitas untuk tetap berdaya. Kendati mengalami gangguan saraf sejak lahir sehingga tidak dapat mendengar, ia dan keluarganya tidak pernah meratapi nasib.
Juli lalu, ia bersama pasangannya, Ilyas Rachman Riyandhani, berhasil meraih medali emas dalam ajang World Deaf Badminton Championship 2019 di Taipei, Taiwan. Di partai pamungkas, mereka mengalahkan pasangan ganda putra India dengan skor ketat, 18 – 21, 21 – 14, 22 – 20. “Saliim tidak pernah absen latihan, ia selalu minta porsi latihan yang sama dengan kakaknya yang berusia tiga tahun lebih tua,” kata Mulyadi, Ayah Saliim saat ditemui di rumahnya, Kabupaten Bogor, Kamis (12/12/2019).
Saliim mulai berlatih bulu tangkis saat berusia empat tahun. Sejak 2014, tepatnya saat duduk di kelas IV SD, juara demi juara sudah ia raih baik dalam kejuaraan daerah maupun nasional. Hal ini berkat kerja keras Saliim yang giat berlatih setiap hari. “Walaupun paginya bersekolah, ia tetap latihan setiap sore sampai malam,” kata Mulyadi.
Saat duduk di bangku SD, Saliim bersekolah di SDLB Tuna Rungu Santi Rama, Jakarta. Jarak sekolahnya dari rumahnya di Bojong Gede, Kabupaten Bogor sekitar 25 kilometer. Karena itu, ayahnya harus harus mengantarkannya pukul 05.00. Sebab, jika tidak Mulyadi yang akan terlambat.
Mulyadi mengungkapkan, karena sering berlatih hingga malam, Saliim sering merasa kecapekan. Pun saat berangkat ke sekolah. “Hampir setiap hari dia ketiduran saat saya boncengkan naik motor. Biasanya saya ikat pakai selendang biar dia tidak jatuh,” katanya sambil menunjuk selendang cokelat sepanjang dua meter yang menjuntai di jendela rumahnya.
Kini, Saliim bergabung dengan Victory Badminton Club Bogor agar bisa terus mengasah kemampuannya. Ia menjadi satu-satunya pebulu tangkis tuna rungu yang ada di sana. Namun, menurut Mulyadi Saliim sama sekali tidak merasa minder. Bahkan, saat ini ia bermimpi untuk bergabung ke Sekolah Khusus Olahragawan Ragunan, Jakarta Selatan.
Melawan
Semangat untuk melawan ketidakberdayaan juga digelorakan Muhammad Sabar (28), seorang penyandang disabilitas parapeglia asal Yogyakarta. Saat ini, ia menjadi pembatik di PT Zola Permata Indonesia. Karya-karyanya yang sudah dipasarkan antara lain kain motif dua meter, taplak meja hingga tas. “Pendapatan perbulannya sekitar Rp 400 – 500 ribu kalau ada pesanan. Saya syukuri karena saya sudah tidak minta orang tua lagi,” katanya.
Bukan dari lahir, Sabar menjadi penyandang disabilitas pada 2009 akibat jatuh dari pohon kelapa. Pasca kejadian itu, ia mengalami masalah pada tulang ekornya sehingga bentuk tubuhnya menjadi tidak sempurna. Ia juga membutuhkan kursi roda untuk bergerak.
Melakukan aktivitas membatik bukan hal yang mudah baginya. Keahlian membatik memang keahlian tangan. Masalahnya, Sabar tidak diperbolehkan duduk terlalu lama. Kerusakan tulang ekornya memaksa dia harus sering merebahkan badan.
Saat ini, Sabar bukan lagi dalam tahapan menerima keadaan. Lebih dari itu, Sabar tidak lagi menganggap kelemahannya sebagai penghambat. Bahkan, kini ia merasa sangat percaya diri setelah salah satu kain batik ukuran dua meter buatannya dibeli oleh Duta Besar Sri Lanka untuk Indonesia.
Calon pegawai
Penyandang disabilitas juga berkesampatan untuk berkarir di kantor pemerintahan. Agus (30) salah satunya. Penyandang disabilitas tuna daksa ini pada 2018 lalu diterima menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di salah satu kantor kementerian.
Hal itu tidak pernah ia duga sebelumnya. Terlebih kondisi ekonomi keluarganya nyaris memupus harapannya untuk berkuliah beberapa tahun silam. Untuk melanjutkan kuliah, ia harus bekerja di salah satu Pusat Perbelanjaan di Cilacap dengan gaji tidak lebih dari Rp 1 juta.
Berbekal tabungannya selama bekerja beberapa bulan tersebut, ia akhirnya bisa berkuliah di Sekolah Tinggi Manajemen Informatika Komputer (STMIK) Tasikmalaya. Adapun, untuk membiayai kebutuhan sehari-hari, ia kembali bekerja sebagai staf TI di salah satu sekolah di Tasikmalaya. “Gajinya hanya ratusan ribu, tapi itu sudah lebih dari cukup untuk bertahan hidup,” kata Agus.
Lulus dari kuliah, ia sempat bekerja di beberapa perusahaan swasta sebelum diterima menjadi CPNS. Hal ini sekaligus menjawab keraguan dari banyak orang. Terlebih, salah satu SD di tempat tinggalnya dulu pernah menolaknya karena kondisi fisiknya. “Saat akan menikah, teman-teman istri juga meremehkan. Untung saja calon istri saat itu cuek. Sekarang saya bisa membuktikan,” ungkap Agus.