Kafe Sunyi, Ruang Kreasi untuk Barista Disabilitas
Panggung penyandang disabilitas sebenarnya nyaris tanpa batas. Pada sebuah kafe, mereka bisa meracik kopi senikmat barista pada umumnya.
Oleh
Ayu Pratiwi
·4 menit baca
”Dunia ini didesain untuk kita yang punya indera lengkap. Proses penyeduhan kopi memerlukan dua tangan. Bagaimana dengan barista yang hanya punya satu tangan? Sistem pemanasan susu memerlukan telinga untuk tahu ketika susu sudah matang. Bagaimana dengan barista yang tuli?”
Demikian pertanyaan yang disampaikan Mario Gultom, salah seorang pendiri Sunyi House of Coffee and Hope, sebuah kafe di Jalan RS Fatmawati Raya, Jakarta Selatan, Kamis (12/12/2019), ketika memperkenalkan bagaimana dapur kafenya didesain supaya mudah digunakan sejumlah karyawannya yang menyandang disabilitas.
Mesin pembuat kopi, misalnya, dimodifikasi agar bisa digunakan karyawan tunadaksa. Andhika Prima Yutha, salah seorang barista yang menyandang tunadaksa sejak lahir, mengalami kelainan pada tangan kirinya. Tulang jarinya hilang atau kurang berkembang.
Supaya Dhika bisa menggunakan mesin pembuat kopi dengan tangannya yang mengalami kelainan, bagian tuas mesin pembuat kopi diberikan oli supaya lebih ringan. Meja bar kafe juga dibangun lebih tinggi untuk mempermudah Dhika dan penyandang tunadaksa lain menyeduh kopi dengan satu tangan.
Tidak hanya sarana karyawan, sarana untuk pelanggan juga didesain ramah penyandang disabilitas. Menu kafe tidak hanya ditulis dengan alfabet, tetapi juga dengan huruf braille supaya bisa dibaca penyandang tunanetra. Lantai kafe juga dipasang dengan jalur pemandu bagi tunanetra.
Di area dalam kafe, meja dan kursi pelanggan hanya ditempatkan di tepi ruangan. Bagian tengah ruangan kosong sehingga penyandang disabilitas dengan kursi roda bisa masuk. Ada pula meja yang disediakan dalam bentuk bundar untuk memfasilitasi komunikasi pelanggan penyandang tunarungu.
Agar interaksi berlangsung lancar, penyandang tunarungu perlu melihat seluruh wajah teman bicaranya agar bisa membaca gerakan bibir dengan lancar. Ketika duduk di meja dengan bentuk segi empat, wajah teman bicara yang berada di tepi kiri atau kanan hanya bisa dilihat sebagian dari samping.
Akibatnya, penyandang tunarungu itu tidak bisa melihat seluruh gerakan bibir temannya dan tidak mengerti pesan yang disampaikan. Ketika berada di meja bundar, muka semua teman bisa dilihat sepenuhnya dan gerakan bibir bisa dibaca lebih baik.
”Saya tadinya merasa penyandang disabilitas itu tidak memiliki kemampuan. Itu mindset yang salah. Kalau mereka diberikan akses yang sama, edukasi yang sama, dan kesempatan yang sama, mereka itu sama seperti kita yang normal. Tidak ada bedanya,” kata Mario.
Siti Rodiah, penyandang tunarungu serta Wakil Ketua Kepemudaan Gerakan Kesetaraan untuk Tuli Indonesia, berharap desain lingkungan yang ramah penyandang disabilitas seperti di kafe sunyi itu bisa diperluas ke pelayanan publik. Untuk itu, pihaknya akan terus berupaya bertemu dengan pembuat kebijakan dan memberi advokasi agar disediakan fasilitas khusus bagi kaum disabilitas supaya bisa mengakses pelayanan tersebut.
Akses yang dimaksud itu cukup beragam, mulai dari infrastruktur jalan hingga pelayanan kesehatan, pendidikan, dan angkutan umum. Contohnya, Siti dulu kesulitan menggunakan kereta karena pengumuman ketika kereta tiba di stasiun hanya disampaikan melalui suara. Papan nama stasiun di luar sering kali tidak kelihatan. Akibatnya, ia harus selalu bertanya kepada penumpang lain untuk mengetahui keberadaan kereta.
”Lima belas menit sebelum kereta tiba di stasiun tujuan, aku selalu bolak-balik dalam kereta untuk tanya penumpang lain kereta sudah berada di mana. Apabila fasilitas tidak memadai, orang tuli tidak bisa mandiri dan tergantung dengan orang lain terus,” kata Siti yang juga bekerja sebagai barista di Sunyi House of Coffee and Hope. Ia menjawab pertanyaan Kompas dengan bahasa isyarat sambil diterjemahkan oleh atasannya, Mario Gultom, pendiri kafe tersebut.
Kini, angkutan umum, seperti moda raya terpadu (MRT) dan kereta rel listrik (KRL), sudah lebih ramah penyandang disabilitas. Pengumuman kereta tiba di stasiun mana diumumkan melalui audio serta pesan tertulis pada layar televisi.
Bisa menjadi penyandang disabilitas
Aliyah Wibowo, anggota staf sumber daya manusia dari Thisable Enterprise, berpendapat, upaya Indonesia dalam menyediakan fasilitas yang dibutuhkan penyandang disabilitas kurang maksimal karena kelompok ini merupakan kaum minoritas. Di sejumlah negara maju sementara itu, upaya membangun lingkungan inklusif lebih serius karena dianggap tidak hanya berguna untuk kaum disabilitas, tetapi juga masyarakat umum lain yang akan menjadi tua dan mengalami penurunan kemampuan tubuh.
”Kita sewaktu-waktu juga bisa menjadi (penyandang) disabilitas. Tidak hanya karena penyakit atau kecelakaan. Semakin kita tua, jalan akan semakin susah. Pendengaran juga berkurang. Budaya inklusif lebih tinggi di beberapa negara, seperti Jepang dan Belanda. Mereka menciptakan lingkungan inklusif, tidak hanya untuk kaum disabilitas, tetapi juga untuk nanti ketika mereka tua,” tutur Aliyah.