Hanura Kembali Bergejolak, Wiranto Minta Oesman Sapta Mundur
Konflik di Partai Hanura kembali memanas. Pendiri partai, salah satunya Wiranto, mendesak Oesman Sapta Odang untuk mundur dari jabatan ketua umum. Namun, Oesman menolak desakan tersebut.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Konflik di Partai Hanura kembali memanas. Pendiri partai, salah satunya Wiranto, mendesak Oesman Sapta Odang untuk mundur dari jabatan ketua umum. Namun, Oesman menolak desakan itu. Ia justru mengklaim legitimasi musyawarah nasional sebagai pengambil keputusan tertinggi partai.
Pendiri sekaligus Ketua Dewan Pembina Partai Hanura Wiranto dalam jumpa pers bertajuk ”Penyelamatan Partai Hanura”, di Hotel Atlet Century Park, Jakarta, Rabu (18/12/2019), menyatakan tidak mau mengakui hasil Musyawarah Nasional (Munas) III Hanura yang diselenggarakan di Hotel Sultan, Jakarta, Selasa-Rabu (17-18/12/2019). Dalam munas tersebut, Ketua Umum Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) dipilih kembali sebagai ketua umum secara aklamasi.
Menurut Wiranto, munas berlangsung disertai sejumlah kejanggalan. Salah satunya tidak mengundang Presiden Joko Widodo dan dirinya sebagai pendiri sekaligus Ketua Dewan Pembina Hanura. ”Saya tidak apa-apa tidak diundang, tetapi ini keluar dari kelaziman sebuah partai politik,” kata Wiranto yang didampingi dua pendiri Hanura lainnya, Subagyo HS dan Chairudddin Ismail.
Keterpilihan Oesman juga dinilai tak sesuai dengan kesepakatan saat ia dipilih sebagai ketua umum pada 2016. Sebelum menggantikan Wiranto yang diangkat sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Oesman terlebih dulu diminta menandatangani pakta integritas yang berisi enam syarat, di antaranya memimpin Hanura sampai 2020 dan menjamin penambahan kursi Hanura di DPR.
Jika ada syarat yang tak dipenuhi, Oesman bersedia mengundurkan diri sebagai ketua umum. Pakta integritas itu ditandatangani Oesman dan dua saksi, yaitu Subagyo dan Chairuddin. ”Untuk itu, saya meminta sikap kenegarawanan dan sportivitas saudara OSO untuk memenuhi bunyi pakta integritas guna mengundurkan diri sebagai Ketua Umum DPP Partai Hanura,” ujar Wiranto.
Selain disampaikan secara lisan, desakan agar Oesman mundur juga disampaikan melalui surat Nomor B/01/Dewan Pembina-Partai Hanura/II/2019. Surat ditembuskan kepada Presiden, Menko Polhukam, Menteri Hukum dan HAM, Dewan Penasihat DPP Hanura, dewan kehormatan, pengurus DPP, organisasi sayap dan otonom, dewan pimpinan daerah, dewan pimpinan cabang, serta dewan pimpinan luar negeri.
Dalam kesempatan yang sama, Wiranto menyatakan untuk mundur dari jabatannya di partai. Selain ingin fokus melaksanakan tugas sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Presiden, ia menilai salah satu isu yang dikemukakan dalam konflik internal Hanura adalah keberadaan dirinya. ”Jika Saudara jadi saya, apakah tahan? Apakah kerasan? Ini kesadaran politik saya untuk mundur,” ujarnya.
Chairuddin Ismail menambahkan, untuk memperkuat penolakan terhadap hasil Munas III, kubunya akan menunjuk pelaksana tugas (Plt) untuk dua jabatan, yaitu Plt Ketua Dewan Pembina dan Plt Ketua Umum. ”Setelah keduanya terpilih, kami akan menyelenggarakan munas luar biasa (munaslub) untuk membentuk struktur kepengurusan,” ujarnya.
Ia mempersilakan kepada pengurus cabang untuk memilih Hanura versi mana. Namun, ia yakin kubunya yang akan mendapatkan pengakuan secara legal formal.
Hasil munas
Secara terpisah, kubu Oesman juga menggelar jumpa pers di Hotel Sultan. Selain menutup munas, mereka pun menanggapi desakan yang disampaikan sejumlah pendiri partai.
Ketua DPP Hanura Benny Ramdhani mengatakan, munas yang digelar dua hari terakhir menghasilkan sembilan keputusan, salah satunya menetapkan Oesman sebagai Ketua Umum Hanura periode 2019-2024 secara aklamasi. Oesman pun memiliki mandat penuh sebagai formatur tunggal dalam penyusunan kepengurusan DPP.
”Munas memerintahkan untuk melaksanakan langkah strategis partai selama lima tahun ke depan melalui rebranding, restrukturisasi, revitalisasi, reorganisasi, dan reaktualisasi yang diharapkan berdampak kuat pada konsolidasi internal partai,” kata Benny.
Sementara itu, Oesman enggan menanggapi desakan yang disampaikan Wiranto dan pendiri partai lainnya. Ia hanya akan tunduk pada hasil Munas III. ”Enggak perlu ditanggapi,” ujar Oesman.
Ia membenarkan ada pakta integritas yang ditandatangani sebelum ia dipilih secara aklamasi sebagai ketua umum pada 2016. Kesepakatan di dalamnya terkait dengan larangan pengkhianatan terhadap partai, berbohong, dan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART).
Mengelak
Oesman juga membenarkan bahwa dalam pakta integritas, masa jabatannya akan berakhir pada 2020. Namun, menurut dia, hal itu sudah tak berlaku jika merujuk pada hasil munas. ”Kalau saya tidak dipilih lagi, mungkin saja sampai 2020 sudah selesai. Akan tetapi, saya ini, kan, diminta, didaulat kembali untuk memimpin partai ini, masak saya tinggalkan?” kata Oesman.
Menurut dia, surat permintaan pengunduran diri yang disampaikan Wiranto sebagai Ketua Dewan Pembina juga dipertanyakan. Sebab, sejak Munas II di Solo pada 2016, jabatan itu sudah dihapus dari struktur kepengurusan partai.
”Itu (juga) bukan urusan dia (Wiranto). (Pengangkatan ketua umum) itu urusan munas dan munas meminta saya kembali. Munas ini dihadiri oleh pengurus dari 514 DPC lho, dan saya juga tidak mengusulkan diri untuk menjadi ketua,” kata Oesman.
Itu bukan urusan Wiranto. Pengangkatan ketua umum itu urusan munas dan munas meminta saya kembali. Munas ini dihadiri oleh pengurus dari 514 DPC lho, dan saya juga tidak mengusulkan diri untuk menjadi ketua. (Oesman Sapta Odang)
Konflik internal melanda Hanura sejak awal 2018. Kubu kepengurusan yang mengakui Oesman sebagai ketua umum berseteru dengan kubu pengusung Daryatmo sebagai ketua umum pengurus baru Hanura.
Menyusul konflik tersebut, beberapa kader Hanura pindah ke partai lain, satu tahun jelang Pemilu 2019. Mereka di antaranya Sarifuddin Sudding, Dossy Iskandar, Dadang Rusdiana, dan Rufinus Hotmaulana.
Dalam situasi tersebut, raihan suara Hanura anjlok. Partai yang didirikan pada 2006 itu gagal lolos ambang batas parlemen 4 persen dan harus hengkang dari parlemen.
Padahal, sejak pertama kali mengikuti pemilu pada 2009, partai ini berhasil menempatkan kadernya baik di lembaga legislatif maupun eksekutif. Pada 2009, misalnya, raihan suara Hanura mencapai 3,8 persen dan mendapatkan 18 kursi di DPR. Kemudian, pada 2014, Hanura mendapatkan 16 kursi di DPR dengan raihan suara 5,3 persen.