Apakah DPR Mulai Antikritik?
Pembatasan terhadap wartawan dan interupsi anggota DPR di rapat paripurna menunjukkan kecenderungan DPR yang saat ini tertutup, antidialog, bahkan mengarah pada otoriter.
”Interupsi, pimpinan!” kata Andi Yuliani Paris.
Suara anggota Komisi VII dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) itu mengentak di ruang rapat paripurna, Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (17/12/2019) siang. Interupsinya memecah kesunyian sesaat setelah Wakil Ketua Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Ibnu Multazam membacakan laporan tentang penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024.
Menurut Yuliani, ada yang kurang dari draf Prolegnas Jangka Menengah 2020-2024 dan Prolegnas Prioritas 2020 yang diserahkan kepada para peserta rapat. Belum ada penjelasan detail terkait pengusul 248 rancangan undang-undang (RUU) yang dalam draf.
Keterangan kategori RUU juga belum tercantum. Pada periode ini, ada dua kategori khusus yang tak dikenal sebelumnya. Pertama, omnibus law atau RUU yang akan menyinkronkan puluhan UU menjadi satu agar tak tumpang tindih. Kedua, RUU carry over atau RUU yang pembahasannya merupakan kelanjutan dari periode 2014-2019.
”Kami ingin agar daftar Prolegnas ini diperbaiki. Dalam kolom keterangan diberikan penjelasan mengenai usulan dari siapa, mana yang carry over, mana yang omnibus law,” kata Yuliani.
Saat napas Yuliani masih terdengar lewat pelantang suara, Ketua DPR Puan Maharani yang memimpin rapat tampak sudah bersiap untuk menyela interupsi dan menanyakan apakah laporan Baleg bisa diterima oleh peserta.
Namun, Puan kalah cepat. Wakil Ketua Komisi VIII dari Fraksi Partai Golkar Ace Hasan Syadzily mendahuluinya. ”Interupsi, pimpinan,” kata Ace.
Menurut Ace, draf Prolegnas Jangka Menengah 2020-2024 tak semestinya segera disahkan. Draf itu justru membutuhkan pengkajian kembali, baik oleh komisi maupun fraksi di DPR. Target untuk membahas 248 RUU selama lima tahun ke depan baginya terlalu ambisius.
”Terus terang saja, saya enggak yakin ini bisa diselesaikan. Maka, lebih baik kita menyetujui dulu apa target prioritas utama sehingga tidak menjadi catatan bahwa kita pernah mencantumkan 248 RUU sebagai target,” ujarnya.
Ace mendukung usul perbaikan yang disampaikan Yuliani. Keterangan jelas terkait pengusul RUU dinilai sebagai wujud akuntabilitas kerja anggota legislatif.
Baca juga : Tunggu RUU Omnibus Law, DPR Tunda Pengesahan Prolegnas
Interupsi Ace rupanya bukan yang terakhir. Anggota Komisi V dari Fraksi Partai Golkar, Anshar Ahmad, melanjutkannya. Ia mempertanyakan keberadaan RUU tentang Ibu Kota Negara. Menurut dia, pemindahan ibu kota merupakan agenda prioritas pemerintah yang semestinya didukung dengan menempatkan pembahasan RUU-nya pada Prolegnas Prioritas 2020.
Tanpa menunggu lama, Puan menanggapi sejumlah interupsi. Dari sejumlah pertanyaan dan saran, ia hanya menanggapi soal RUU tentang Ibu Kota Negara. ”Terkait ibu kota ada di nomor 131. Jadi, apakah laporan bisa disetujui?” ujarnya.
Sementara itu, masukan lain terkait Prolegnas 2020-2024 tak mendapatkan respons. Seiring dengan lantunan setuju sejumlah anggota Dewan, ia pun mengetuk palu, tanda bahwa pengesahan Prolegnas sudah dilakukan secara formal.
Cepat
Pada hari terakhir masa sidang I DPR tahun 2019, Puan yang didampingi oleh Wakil Ketua DPR dari Fraksi Gerindra Sufmi Dasco Ahmad dan Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Nasdem Rachmat Gobel itu memang membawa rapat berjalan cepat. Mulai besok, DPR memasuki masa reses dan baru kembali aktif bersidang pada Januari 2020.
Sebelum dan setelah interupsi beruntun yang mempertanyakan Prolegnas, ada pula penyelaan dari anggota Dewan yang lain. Bahkan, beberapa interupsi sempat menunda pembacaan pidato penutupan masa sidang.
”Ini terakhir, ya, nanti akan ditindaklanjuti oleh komisi terkait. Ini sudah pukul 12.00, apakah saya bisa lanjut ke agenda berikutnya,” kata Puan ketika menanggapi interupsi terakhir tentang permintaan pembahasan nasib korban gempa Lombok, Nusa Tenggara Barat, yang masih terkatung-katung.
Selain terkait interupsi, upaya mempercepat rapat juga terasa pada agenda rapat lainnya. Saat pengumuman pembentukan Tim Pengawas/Tim Pemantauan DPR, misalnya, Puan hanya menyebutkan nama sembilan tim yang dibentuk. Ia tak menjelaskan definisi dan tugas dari setiap tim.
Adapun mengenai anggota tim, ditampilkan pada layar besar. Durasi penayangan sekitar lima menit, untuk sembilan tim yang rata-rata beranggotakan 29 orang.
Totalnya, rapat paripurna terakhir pada 2019 itu berlangsung sekitar 1,5 jam, mulai pukul 11.00 hingga pukul 12.30. Penyelenggaraan itu mundur satu jam dari jadwal pukul 10.00.
Rapat paripurna terakhir di tahun 2019 itu juga terasa terbatas. Pada area depan ruang rapat dipasang garis pembatas sekitar 4 meter. Garis itu praktis menutup jalan bagi wartawan untuk menemui para anggota DPR ketika meninggalkan ruang rapat
Tidak semua anggota hadir, termasuk Wakil Ketua DPR dari Fraksi PKB Muhaimin Iskandar dan Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar Aziz Syamsuddin. Saat membacakan laporan, Puan mengatakan ada 357 orang yang tercatat di daftar hadir.
Namun, berdasarkan penghitungan manual, hingga pukul 11.05, hanya ada 288 orang termasuk tiga pimpinan. Total anggota DPR adalah 575 orang.
Antikritik
Rapat paripurna terakhir di tahun 2019 itu juga terasa terbatas. Pada area depan ruang rapat dipasang garis pembatas sekitar 4 meter. Garis itu praktis menutup jalan bagi wartawan untuk menemui para anggota DPR ketika meninggalkan ruang rapat.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai, pembatasan terhadap wartawan dan interupsi anggota di rapat paripurna menunjukkan kecenderungan tertutup, antidialog, bahkan mengarah pada otoriter. ”Hal itu bertentangan dengan fungsi pimpinan DPR yang menurut tata tertib adalah mengkomunikasikan sikap DPR kepada publik,” ujar Lucius.
Ia menambahkan, protes terhadap pembengkakan jumlah RUU dalam Prolegnas 2020-2024 adalah sikap yang wajar. Sebab, jumlah itu meningkat dibandingkan dengan lima tahun lalu, yaitu 189 RUU. Dari 189 RUU, hanya 20 persen yang bisa dibahas dan disahkan menjadi UU.
”Jumlah RUU Prolegnas yang bombastis itu memang tidak realistis sehingga wajar jika dipertanyakan,” ujarnya.
Menurut Lucius, sikap pimpinan DPR juga merupakan konsekuensi peta politik parlemen. Ketua DPR dari Fraksi PDI-P tidak hanya memegang jabatan fungsional sebagai pimpinan, tetapi juga pengendali koalisi peraih kursi terbanyak.
Ia mengingatkan, posisi tersebut bisa membuka potensi arogansi Ketua DPR. Hal itu jelas harus dihindari karena bisa berakibat pada tumpulnya daya kritis parlemen karena takut pada penguasa.
Lantas, apakah benar DPR mulai antikritik? Tentu bukan itu yang diharapkan rakyat.