Pemerintah mendesain enam program perbaikan neraca perdagangan yang akan dieksekusi dalam satu tahun mendatang. Program jangka pendek ini sebagai pijakan untuk memulai transformasi ekonomi nasional.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mendesain enam program perbaikan neraca perdagangan yang akan dieksekusi dalam satu tahun mendatang. Program jangka pendek ini sebagai pijakan untuk memulai transformasi ekonomi nasional.
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Perekonomian Iskandar Simorangkir mengatakan, program perbaikan neraca dagang jangka pendek mulai dilaksakan pada 2020. Fokusnya untuk mengurangi impor minyak dan gas, serta mengembangkan substitusi impor.
Enam program perbaikan neraca perdagangan meliputi implementasi mandatori biodiesel 30 persen (B-30) pada 2020, dengan penyaluran FAME sebesar 9,6 juta kiloliter. Implementasi B-30 ini diperkirakan menghemat devisa 4,8 miliar dollar AS. Selain itu adalah meliputi percepatan pembangunan pabrik gasifikasi batubara berkapasitas 1,8 juta ton per tahun untuk substitusi impor elpiji.
Program ketiga adalah restrukturisasi Trans-Pasific Petrochemical Indotama (TPPI) untuk mengurangi impor produk petrokimia. Penghematan devisa dari restrukturisasi TPPI diperkirakan 1 miliar AS per tahun.
Berikutnya adalah terkait pembangunan smelter untuk hilirisasi produk tambang terutama industri nikel. Industri hulu dan hilir aluminium juga akan diintegrasikan melalui program sinergi BUMN.
Sementara yang kelima adalah pengembangan green refinery di Plaju Sumatera Selatan oleh PT Pertamina. Pengembangan greenfuel ini dalam tahap penelitian dan percobaan untuk menggantikan BBM berbasis fosil.
Terakhir, atau keenam, yakni pengenaan bea masuk tindakan pengamanan sementara (BMPTS) melindungi produk dalam dari masuknya impor yang negeri produk sejenis.
”Semua program perbaikan neraca dagang itu dalam satu tahun sudah mulai dilaksanakan. Misalnya, B-30 mulai Januari 2020,” kata Iskandar di Jakarta, Selasa (17/12/2019).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan Indonesia pada November 2019 defisit 1,33 miliar dollar AS. Nilai defisit itu terbesar kedua sepanjang Januari-November 2019, setelah April 2019 yang defisit 2,29 miliar dollar AS.
Defisit pada November itu semakin melebarkan defisit neraca perdagangan pada Januari-November 2019 menjadi sebesar 3,105 miliar dollar AS.
Iskandar mengatakan, impor minyak dan gas meningkat karena kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) naik setiap menjelang akhir tahun. Namun, impor migas secara keseluruhan tahun ini menurun tajam. Hal itu sejalan dengan implementasi program substitusi impor yang dijalankan sejak 2018, seperti B-20.
”Meski ada perbaikan, neraca perdagangan tahun 2019 masih akan defisit, tetapi lebih baik dibandingkan dengan tahun 2018,” kata Iskandar.
Kontraksi terhadap kinerja ekspor dan impor bukan hanya dialami Indonesia. Berdasarkan riset Kemenko Perekonomian, kata Iskandar, 62 dari 95 negara di dunia per Agustus 2019 mengalami pertumbuhan ekspor negatif. Kondisi ini adalah konsekuensi atas berlanjutnya perang dagang AS-China.
Bank Dunia dalam ”Laporan Perekonomian Kawasan Asia Timur dan Pasifik: Risiko Pelapukan Meningkat” memperkirakan, pertumbuhan ekspor Indonesia minus 1 persen pada 2019 dari sebelumnya 6,5 persen pada 2018. Sementara impor tumbuh minus 3,5 persen pada 2019 dari tahun 2018 yang tumbuh 12 persen.
Hilirisasi industri
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Manoarfa dalam wawancara ekslusif bersama Kompas, beberapa waktu lalu, mengatakan, untuk mempercepat hilirisasi industri, kebijakan smelter di sektor pertambangan akan diadopsi ke sektor-sektor lain, misalnya, perkebunan.
Nantinya, kata Suharso, perusahaan yang akan memperpanjang izin usaha perkebunan sawit wajib melakukan hilirasi industri di dalam negeri. Selama ini banyak perusahaan mengeruk sumber daya alam dari Indonesia, tetapi membangun industri di luar negeri. Kebijakan ini akan segera dieksekusi oleh Kementerian Perindustrian.
Dalam draf rancangan awal Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pertumbuhan eskpor dan impor ditargetkan seimbang masing-masing 4,8 persen. Adapun rata-rata pertumbuhan ekspor nonmigas 7,2 persen. Dengan demikian, rata-rata pertumbuhan ekonomi 2020-2024 sebesar 6 persen bisa tercapai.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Fithra Faisal, berpendapat, perbaikan neraca dagang sangat terkait dengan industri manufaktur. Kontribusi industri manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) harus mulai ditingkatkan. Salah satu kuncinya dengan menjamin ketersediaan bahan baku.
”Indonesia dapat mencontoh Vietnam yang menerapkan kebijakan tarif impor bahan baku rendah atau nol. Kendati keran impor dibuka, tetapi produktivitas industri diyakini tumbuh,” kata Fithra.
Dia mencontohkan, sejak pengenaan tarif impor bahan baku rendah, industri tekstil di Vietnam tumbuh mencapai 17 persen. Sementara industri tekstil Indonesia saat ini hanya kisaran 5 persen. Kebijakan pembatasan impor jangan sampai menahan produktivitas industri dalam negeri.
Produktivitas industri manufaktur yang mengkhawatirkan tecemin pada impor barang modal pada Januari-November 2019 sebesar 2,5 miliar dollar AS atau turun 3,55 persen secara tahunan, dan impor barang bahan baku dan penolong 11,17 miliar dollar AS atau turun 13,23 persen.