Di balik penyandang disabilitas, ada sosok sukarelawan yang dengan hati besar mendampingi. Mereka meluangkan waktu dan tenaga mendorong terwujudnya kesetaraan penyandang disabilitas dengan saudaranya sesama manusia.
Oleh
ALBERTUS KRISNA
·4 menit baca
Mereka adalah para pembimbing dan pemimpin komunitas disabilitas yang setiap hari berinteraksi dengan para penyandang disabilitas. Perhatian mereka terhadap penyandang disabilitas cukup besar. Sebagian dari mereka merupakan penyandang disabilitas itu sendiri.
Hasil diskusi kelompok terarah (focus group discussion/FGD) penyandang disabilitas yang diselenggarakan Kompas, 7 Desember 2019, telah merekam motivasi, kendala, serta harapan para pembimbing dan pemimpin komunitas disabilitas.
Satu per satu peserta pendamping dan pendiri komunitas penyandang disabilitas memperkenalkan diri sekaligus menceritakan aktivitas kesehariannya bersama para penyandang disabilitas, mulai dari komunitas motor, olahraga, batik, hingga advokasi.
Ketua Harian Disabled Motorcycle Community (DMC) Jabodetabek Heru Zainudin (40), yang juga penyandang disabilitas, mengatakan, awalnya membentuk komunitas dari hobi mengendarai sepeda motor khusus disabilitas. Namun, dalam perkembangannya, komunitas tersebut ikut menyuarakan hak parkir sepeda motor khusus penyandang disabilitas di ruang publik.
Keraguan Meli sirna setelah mengenal lebih dalam pembatik tuli di sana.
Begitu juga dengan Harpalis Alwi (60), disabilitas tunarungu, yang membentuk Perhimpunan Olahraga Tuna Rungu Indonesia (Porturin) untuk mewadahi atlet tunarungu. Sebelumnya, atlet tunarungu, kerap disamakan dengan atlet biasa karena tidak ada kekurangan dalam bentuk fisik. Namun, dalam pertandingan olahraga, hal tersebut tidak adil. Alasannya, atlet tuli akan mengalami kesulitan mengetahui instruksi dari wasit tanpa menggunakan bahasa isyarat.
Cerita Harpalis senada dengan Budi Darmawan alis Iwan (55), pendiri Rumah Batik Palbatu. Iwan yang bukan penyandang disabilitas turut memberdayakan penyandang disabilitas tuli melalui Beasiswa Batik sejak tahun 2017. Hingga tahun ini sudah ada lima angkatan penerima Beasiswa Batik.
Sama halnya dengan pendamping pengrajin batik, Meli (30). Ia terjun di dunia sosial sejak tahun 2017 setelah ia berhenti dari pekerjaannya sebagai karyawan bank.
Di tahun itu juga ia diajak temannya menjadi pendamping batik di Rumah Batik Palbatu milik Iwan. Ia terpukau oleh antusias dan kemampuan mereka yang ternyata di atas rata-rata orang biasa. Keraguan Meli sirna setelah mengenal lebih dalam pembatik tuli di sana.
Paradigma salah
Hanya masyarakat tertentu yang bisa menempatkan penyandang disabilitas pada porsinya. Hal ini diungkapkan Ketua Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) DKI Jakarta Eka Setiawan (48).
Banyak penyandang disabilitas di daerah tidak tersentuh fasilitas pemerintah karena mereka tidak memiliki identitas diri, seperti akta kelahiran dan KTP. Keluarga sengaja tidak mengurusnya karena tidak siap dengan kehadiran anggota keluarga penyandang disabilitas.
Paradigma berpikir masyarakat pada umumnya juga masih belum tepat. Ketika bicara tentang penyandang disabilitas, akan masuk ke ranah ”ketidakmampuan”.
Masyarakat awam masih memandang penyandang disabilitas sebagai kelompok yang rentan, jarang melihatnya dari sisi yang berdaya. Kondisi ini menyebabkan pendekatan yang dilakukan berupa kemurahan hati atau kasihan, padahal bukan itu yang diinginkan penyandang disabilitas.
Stigma ini juga yang turut menyulitkan mereka dalam mencari pekerjaan. Beragam pelatihan telah diberikan pemerintah, tetapi tidak berkelanjutan dan pekerjaan belum didapat.
Meli bercerita, salah satu muridnya di Rumah Batik Palbatu telah mengumpulkan berlembar-lembar sertifikat pelatihan. Namun, kesempatan bekerja tidak juga diperoleh. Untuk mengatasi hal itu, mereka akhirnya membangun usaha sendiri.
Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menyatakan, ”jatah” 2 persen orang dengan disabilitas untuk berkarya di lembaga pemerintahan dan 1 persen di perusahaan swasta. Namun, hal ini belum sepenuhnya terealisasi.
Inilah yang turut dipertanyakan Wakil Ketua Perkumpulan Penyandang disabilitas Indonesia Dadan Kurniawan (50). Meski penyandang disabilitas dipekerjakan, masa kontrak yang diberikan hanya sebatas satu tahun. Setelah itu mereka kembali menganggur.
Kelompok berdaya
Sama dengan manusia normal, penyandang disabilitas berharap bisa ikut merasakan berbagai fasilitas dan infastruktur publik. Sarana guiding block di trotoar/stasiun kereta dan ramp atau bidang miring untuk menuju ke gedung atau trotoar sangat diperlukan penyandang disabilitas mata.
Namun, implementasinya sering kali belum maksimal, mulai dari guiding block yang menabrak tiang/pohon, ujung trotoar yang dipasangi tiang, ramp yang terlalu curam lebih dari 5 derajat, hingga belum tersedia petugas yang mampu berbahasa isyarat di layanan publik.
Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman terkait penyandang disabilitas belum banyak dimengerti. Menanggapi hal itu, Dadan mengusulkan sosialisasi mengenai pengetahuan penyandang disabilitas kepada khalayak umum, tidak hanya pemerintah, tetapi juga masyarakat dan swasta.
Keberadaan infrastruktur kota yang bisa diakses penyandang disabilitas menjadi salah satu langkah awal memberdayakan penyandang disabilitas dengan membuat mereka beraktivitas secara mandiri.
Di atas normal
Pembatik tuli bimbingan Iwan dan Meli kini telah bisa membuat batik sendiri di rumah. Bahkan, batik karyanya sudah ada yang terjual hingga ke luar negeri. Mereka sukses karena keberhasilannya di bisnis batik yang mampu bersaing dengan produksi orang normal.
Masyarakat dan pemerintah mungkin harus banyak belajar dari para pendiri komunitas dan pendamping penyandang disabilitas ini. Penyandang disabilitas bisa jadi merupakan kelompok yang istimewa, bahkan ternyata kemampuannya melebihi rata-rata orang normal dalam hal tertentu.
Langkah pertama adalah perlu membenahi paradigma yang keliru. Ketika paradigma tentang penyandang disabilitas sudah tepat, perbedaan menjadi lebih relatif. Bersama dengan sesama manusia lain, mereka berhak untuk sama-sama menikmati kehidupan dengan lebih berkualitas dan dijamin keberadaannya oleh pemerintah kota.