Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Sulawesi Tenggara mengaudit penggunaan anggaran empat desa di Konawe. Polisi juga memeriksa ulang puluhan saksi terkait desa bermasalah.
Oleh
Saiful Rijal Yunus
·3 menit baca
KENDARI, KOMPAS - Dugaan adanya penyimpangan dan penyalahgunaan anggaran dana desa di Konawe menguat. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Sulawesi Tenggara mengaudit penggunaan anggaran sepekan terakhir. Kepolisian juga memeriksa ulang puluhan saksi terkait desa bermasalah.
Koordinator Pengawasan Bidang Investigasi BPKP Sultra Leo Lendra di BPKP Sultra, di Kendari, Senin (16/12/2019), menyatakan, audit dilakukan di empat desa di Konawe, yaitu Lerehoma, Arombu Utama, Napooha, dan Wiau, atas permintaan pihak kepolisian.
Menurut Leo, pihaknya baru melakukan audit seminggu terakhir setelah memastikan semua berkas dan informasi awal lengkap. Setelah ekspose awal kepolisian, dibutuhkan berbagai kelengkapan berkas, mulai dari berita acara pemeriksaan saksi hingga keterangan ahli. Keterangan ahli yang dimaksud terkait konstruksi, jalan, dan berbagai kegiatan di desa. Hal itu untuk informasi pelengkap dalam mengaudit kerugian negara di lapangan.
Leo menyatakan, audit difokuskan pada aliran dana desa dari pusat hingga penggunaan di tingkat desa. Dugaan penyimpangan akan ditelusuri ke siapa saja jika ada aliran dana yang digunakan untuk kepentingan pribadi. Kronologi pembentukan desa menjadi fakta untuk pedoman selama proses berlangsung. Hasil akhir dari audit menunjukkan jumlah kerugian negara jika ditemukan penyimpangan.
Audit difokuskan pada aliran dana desa dari pusat hingga penggunaan di tingkat desa.
Kepala Subdirektorat Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi Polda Sultra Komisaris Dolvi Kumaseh mengatakan, pihak kepolisian menunggu audit dari BPKP Sultra terkait penyidikan dugaan penyalahgunaan anggaran dana desa bermasalah. Audit menjadi salah satu bukti utama dalam berkas perkara yang diselidiki Polda Sultra sejak Januari lalu. Sejauh ini, kata Dolvi, penyidik memeriksa ulang 37 saksi dari total 57 saksi.
Kepala Kejaksaan Tinggi Sultra Raden Febrytriyanto menuturkan, telah menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan yang bersifat umum dari kepolisian. Empat desa yang menjadi fokus audit dan penyidikan merupakan bagian dari 56 desa yang dibentuk berdasarkan aturan fiktif Perda No 7/2011. Saat disambangi beberapa waktu lalu, Desa Lerehoma, Kecamatan Anggaberi, hanya dihuni belasan keluarga. Sementara Desa Arombu Utama, Kecamatan Latoma, tercatat dihuni 30 keluarga.
Empat desa bersama 52 desa lain mendapat kucuran dana desa sejak 2017 yang total mencapai puluhan miliar rupiah selama tiga tahun terakhir. Aturan pembentukan desa-desa ini tidak pernah dibahas dan direkayasa seolah-olah menjadi dasar pembentukan desa. Perda No 7/2011 di Konawe tercatat sebagai aturan pertanggungjawaban APBD 2010, bukan terkait pembentukan dan pendefinitifan desa.
Liputan mendalam Kompas pada akhir November lalu menemukan, aturan terkait pembentukan 56 desa itu direkayasa. Menurut mantan Kepala Bagian Pemerintahan Kabupaten Konawe Jumrin Pagala, yang ditemui di rumah tahanan di Sultra, akhir November, desa-desa baru itu dirancang di peternakan milik Bupati Konawe Kery Saiful Konggoasa. Desakan bupati membuat Jumrin mencarikan perda untuk pembentukan desa baru.
Pengajar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan, dugaan rekayasa peraturan daerah seperti yang terjadi di Konawe bukan hanya merupakan pelanggaran administratif, melainkan juga pidana.