Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan meraih musim yang melebihi harapan pada 2019. Mereka seperti kembali ke masa kejayaannya, periode 2013-2015. Momentum ini akan mereka manfaatkan untuk bisa tampil di Olimpiade Tokyo 2020.
Oleh
Yulia Sapthiani
·4 menit baca
GUANGZHOU, MINGGU — Pebulu tangkis ganda putra top dunia patut waspada terhadap Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan pada 2020. Pasangan dengan rata-rata usia tertua pada peringkat 10 besar dunia itu bisa menjadi ”kuda hitam” seandainya tampil dalam Olimpiade Tokyo 2020. Mereka tahu bagaimana caranya mengatasi tekanan dalam momen besar.
Kemampuan itu mereka tunjukkan pada 2019. Dari 19 turnamen yang diikuti, mereka 11 kali lolos ke final. Gelar juara yang didapat tak banyak, hanya empat, kalah dari Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon dengan delapan gelar.
Akan tetapi, tiga dari empat gelar itu didapat dari ajang besar, yakni All England, Kejuaraan Dunia, dan Final BWF World Tour. Itu menambah gelar dari Selandia Baru Terbuka berlevel BWF Super 300, empat tingkat di bawah Final BWF yang mereka menangi pada Minggu (15/12/2019) di Guangzhou, China.
Dalam final di Tianhe Gymnasium, Hendra/Ahsan mengalahkan Hiroyuki Endo/Yuta Watanabe (Jepang), 24-22, 21-19. Ini menjadi gelar ketiga pasangan berjulukan ”The Daddies” pada ajang yang sama setelah 2013 dan 2015. Selain Hendra/Ahsan, hanya ada Kevin/Marcus dari Indonesia yang pernah juara, yaitu pada 2017.
Gelar dari Hendra/Ahsan juga menjadi satu-satunya bagi Indonesia di Guangzhou. Harapan mendapat gelar dari tunggal putra pupus dengan kekalahan Anthony Sinisuka Ginting dari Kento Momota. Anthony kalah 21-17, 17-21, 14-21.
Meski gagal pada tujuh final lainnya, empat di antaranya dari Kevin/Marcus, Hendra/Ahsan tahu cara mengatasi tekanan yang lebih berat dalam ajang besar. Pada Final BWF World Tour, misalnya, mereka harus bersaing dengan pemain-pemain berpenampilan terbaik selama 2019. Turnamen yang digelar sejak 2008—dulu bernama Final Super Series Masters lalu Final Super Series—ini hanya diikuti delapan wakil terbaik dari setiap nomor pada setiap tahunnya.
Hendra (35 tahun) dan Ahsan (32 tahun) selalu tampil tenang dalam setiap pertandingan meski berada dalam kesulitan. Melawan Endo/Watanabe, yang selalu mengalahkan Kevin/Marcus dalam lima pertandingan pada 2019, mereka tertinggal, 10-16, pada gim kedua. Dengan sikap tenang dan kecerdikan dalam mengarahkan pukulan yang menyulitkan lawan, mereka berbalik unggul.
Kami bersyukur dan senang, tahun ini benar-benar luar biasa buat kami, tetapi setelah ini kami harus lebih siap lagi untuk tahun depan.
Motivasi dan hasrat yang besar pada bulu tangkis yang tak pudar juga mengantarkan mereka pada posisi seperti saat ini. Dengan usia rata-rata 33,5 tahun dan berada pada peringkat kedua dunia, mereka menjadi pasangan tertua di jajaran 10 besar dunia.
Hendra/Ahsan unggul dalam statistik pertemuan dari enam pasangan di 10 besar tersebut pada 2019, termasuk dari Endo/Watanabe (5-0) yang selalu menang atas Kevin/Marcus pada lima pertemuan. Duet yang berpasangan sejak Oktober 2012 itu hanya kalah dari Kevin/Marcus (0-5) dan Choi Solgyu/Seo Seung-jae (Korea Selatan, 0-1).
Prestasi yang setara dengan masa kejayaan sebelumnya, pada 2013-2015, dibangun secara perlahan pada tahun ini. Setelah membuat kejutan dengan menjuarai All England pada Maret—diraih dalam rentang lima tahun dengan gelar All England sebelumnya—Hendra/Ahsan meraih gelar kedua di Selandia Baru Terbuka.
”Juara BWF Super 300 rasanya seperti juara Super 1000,” kata Ahsan menggambarkan perasaannya ketika itu. Dia bersyukur masih bisa bersaing dengan atlet-atlet yang berusia lebih muda.
Motivasi yang diwujudkan dengan latihan yang tak kalah keras dengan atlet lainnya membawa mereka pada pencapaian yang melebihi ekspektasi. Hendra memang menargetkan kembali ke jajaran 10 besar dunia, tetapi tak setinggi posisi saat ini.
”Kami bersyukur dan senang, tahun ini benar-benar luar biasa buat kami, tetapi setelah ini kami harus lebih siap lagi untuk tahun depan. Itu yang menurut kami lebih penting,” kata Hendra yang menargetkan tampil di Olimpiade Tokyo 2020.
PR Anthony
Kekalahan dari Momota menjadi sinyal bahwa Anthony masih harus bekerja keras untuk menyamai level penampilan tunggal putra nomor satu dunia itu. Anthony memberi harapan menjadi tunggal putra pertama Indonesia yang menjuarai Final BWF ketika unggul, 12-5, pada gim ketiga.
Namun, gerakan kakinya melambat hingga dia kesulitan mengantisipasi permainan Momota yang tak kendur meski dalam posisi tertinggal. Padahal, kehilangan fokus sedikit saja saat melawan Momota akibatnya akan fatal. Pemain yang meraih gelar ke-11 dengan gelar juara di Guangzhou itu tak pernah memperlihatkan sikap tubuh patah arang meski dalam posisi tertinggal.
Momota bahkan telah mengantisipasi menurunnya konsisi Anthony pada gim ketiga. ”Saya memang membutuhkan waktu untuk mengimbangi kecepatannya. Namun, saya tahu dia akan lelah pada gim ketiga. Ini adalah turnamen tersulit karena semua pemain terbaik hadir di sini,” tutur Momota dalam laman BWF.
Anthony menyebut, penurunan performanya pada gim ketiga dipengaruhi rasa sakit pada jari kaki kanan yang lecet. “=”Pada awal pertandingan, saya tak mau fokus pada rasa sakit ini, tetapi lama-lama terasa perih. Jadi, cukup berpengaruh pada permainan di gim ketiga,” kata Anthony.
Tunggal putra peringkat kedelapan dunia itu menambahkan, kegagalan meraih gelar pada 2019, meski tampil pada lima final, menjadi pelajaran baginya.
Pada tiga nomor lain, tunggal dan ganda putri, serta ganda campuran, gelar juara diperoleh pemain-pemain China.