Sejumlah organisasi Islam mendesak Pemerintah Indonesia agar lebih aktif berperan dalam menangani masalah pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi terhadap Muslim Uighur di Xinjiang, China.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah organisasi Islam mendesak Pemerintah Indonesia agar lebih aktif berperan dalam menangani masalah pelanggaran hak asasi manusia terhadap Muslim Uighur di Xinjiang, China. Terjadi pelanggaran hak asasi, antara lain pembatasan hak warga Uighur untuk beribadah.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (16/12/2019), mengatakan, PP Muhammadiyah mendesak Pemerintah Indonesia agar lebih tegas dalam menanggapi isu pelanggaran HAM di Xinjiang itu. Indonesia perlu berperan lebih aktif untuk menggalang dukungan.
”Indonesia hendaknya lebih aktif menggunakan peran sebagai anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan anggota tidak tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) untuk menggalang diplomasi dalam menghentikan pelanggaran HAM di Xinjiang dan beberapa negara lainnya,” kata Abdul ketika membacakan pernyataan sikap PP Muhammadiyah.
Abdul melanjutkan, khusus negara-negara anggota OKI dapat menggelar sidang khusus untuk mengambil langkah-langkah yang lebih konkret dalam menyikapi masalah di Xinjiang. Sedangkan PBB diharapkan dapat mengeluarkan resolusi terkait pelanggaran HAM kepada masyarakat Uighur serta umat Islam lainnya di Myanmar, Palestina, Suriah, Yaman, dan India.
Sejumlah media dan ormas Islam, meliputi Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Nahdlatul Ulama (NU), berkunjung ke Daerah Otonom Khusus Xinjiang pada 17-24 Februari 2019 atas undangan Pemerintah China. Dalam kesempatan itu, mereka berkunjung ke pusat pelatihan dan vokasi bagi warga Xinjiang serta berdiskusi dengan perwakilan Asosiasi Islam China.
Dibatasi
Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional MUI Muhyiddin Djunaidi mengakui, dalam kunjungan yang diikuti oleh 18 orang dari ormas dan media itu, terdapat sejumlah pembatasan akses yang memicu kecurigaan. Salah satunya adalah para undangan dilarang untuk berkeliaran di luar jadwal dan pengawasan pihak pengundang.
”Kunjungan ke beberapa tempat meyakinkan kami bahwa tidak ada kebebasan beragama (kepada warga Uighur) meski konstitusi China menyatakan hal yang sebaliknya. Setelah kembali, kami menyampaikan sejumlah saran kepada Pemerintah Indonesia untuk meminta Pemerintah China memberikan kebebasan beribadah karena hal ini dijamin dalam Piagam PBB,” tuturnya.
Ketua Lembaga Dakwah Khusus PP Muhammadiyah Muhammad Ziyad menambahkan, pihak ormas Islam Indonesia juga telah memberikan masukan langsung kepada Asosiasi Islam China dan Pemerintah China terkait kebebasan beribadah, terutama shalat lima waktu bagi warga Uighur.
Sejak 2018, dunia internasional menyoroti masyarakat Uighur yang ditahan di kamp pelatihan dan vokasi di Xinjiang. Beijing mengklaim kamp tersebut merupakan bagian dari program pelatihan dan deradikalisasi warga yang terpapar terorisme. Sejumlah lembaga HAM menyoroti dugaan pelanggaran HAM dan mengecam sikap tertutup China.
Uighur merupakan kelompok minoritas di China. Mayoritas dari mereka merupakan pemeluk agama Islam. Negara-negara Barat termasuk vokal dalam menyoroti isu di Xinjiang. Pada Oktober 2019, misalnya, Duta Besar AS untuk Indonesia Joseph R Donovan bertemu dengan sejumlah ketua ormas Islam untuk membahas isu ini.
Bantah WSJ
Dalam konferensi pers tersebut, Muhammadiyah juga menyampaikan bantahan atas pemberitaan media asing Wall Street Journal (WSJ). Melalui artikel ”How China Persuaded One Muslim Nation to Keep Silent on Xinjiang Camps”, 11 Desember 2019, WSJ melaporkan melunaknya sikap sejumlah ormas Islam Indonesia terhadap pelanggaran HAM di Xinjiang setelah berkunjung pada awal 2019.
Artikel itu menyebutkan, ormas-ormas tersebut menerima bantuan finansial dari China. Tujuannya untuk membentuk opini positif mengenai kamp-kamp pelatihan warga Uighur. Meskipun begitu, WSJ tidak merinci jumlah dana atau bentuk bantuan lainnya yang diterima.
”Pemberitaan itu sangat tidak berdasar dan kami mendesak WSJ meralat berita serta meminta maaf. Muhammadiyah tidak pernah menerima donasi apa pun dalam bentuk apa pun dari China. Kami senantiasa bersikap tegas terhadap pelanggaran HAM oleh siapa pun dan di mana pun,” kata Abdul.
Secara terpisah, pekan lalu, Sekjen MUI Pusat Buya Anwar Abbas mengatakan, tuduhan bahwa ormas Islam di Indonesia tidak bersikap merupakan tuduhan yang tidak beralasan.
”Selama Pemerintah China tidak bisa menghormati hak-hak beragama rakyat Uighur, MUI akan tetap bersuara lantang,” ujarnya, dikutip dari situs resmi MUI.
Sementara itu, Bank Dunia, bulan lalu, mengatakan bahwa pihaknya akan mengurangi proyek pembangunan di Xinjiang, China, setelah adanya spekulasi bahwa pinjaman 50 juta dollar AS yang diberikan pada 2015 untuk proyek pendidikan digunakan untuk mendanai kamp-kamp tahanan minoritas Muslim.
Bank Dunia telah melakukan tinjauan proyek sejak Senator AS Marco Rubio dan Perwakilan Jim McGovern menyatakan kekhawatiran tentang hal itu pada Agustus 2019. Juga setelah seorang peneliti independen menemukan bukti yang menunjukkan bahwa dana itu digunakan untuk membeli pentungan polisi dan peluncur gas air mata.
Pemerintah China telah menghadapi kritik karena menahan lebih dari satu juta Muslim Uighur dan menempatkan mereka di kamp-kamp ”pendidikan ulang”, tempat mereka dipaksa untuk melepaskan keyakinan agama mereka dan menganut ideologi Partai Komunis.
Media resmi China dan Beijing telah berulang kali membantah tuduhan adanya kamp penyiksaan di Xinjiang. Pemerintah China menyebut kamp-kamp di Xinjiang sebagai pusat pendidikan kejuruan yang diikuti secara sukarela.
Beijing menegaskan, tidak ada penyiksaan atau kekerasan terhadap warga Uighur di sana selain sebagai tempat warga mendapatkan pelatihan kerja. Beijing juga mengatakan, pusat pendidikan itu diperlukan untuk menjauhkan warga setempat dari ekstremisme, terorisme, dan separatisme. (REUTERS/AFP)