Daya Saing Ekspor Indonesia Jadi Tantangan Tembus Pasar Regional
Daya saing mayoritas produk ekspor Indonesia masih tergolong rendah. Hal ini menjadi tantangan bagi Indonesia untuk menembus pasar negara anggota Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Daya saing mayoritas produk ekspor Indonesia masih tergolong rendah. Hal ini menjadi tantangan bagi Indonesia untuk menembus pasar negara anggota Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (Regional Comprehensive Economic Partnership/RCEP).
Berdasarkan data ekspor Indonesia ke negara-negara perunding RCEP yang dihimpun Kementerian Perdagangan, produk olahan industri dengan teknologi tingkat rendah mendominasi dengan nilai sekitar 25 juta dollar AS. Ekspor produk hasil olahan industri dengan teknologi tingkat tinggi-menengah, teknologi tingkat tinggi, serta teknologi informasi dan komunikasi masing-masing 10 juta dollar AS-15 juta dollar AS, 5 juta dollar AS, dan 3 juta-5 juta dollar AS.
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo mengatakan, produk Indonesia yang berdaya saing di pasar RCEP terdiri dari kertas dan produk kertas, produk kimia, karet, produk plastik, dan logam besi. ”Kita perlu meningkatkan kuantitas jenis produk dan kualitasnya untuk menikmati manfaat optimal dari RCEP,” katanya dalam paparan yang diselenggarakan Kementerian Perdagangan, Senin (16/12/2019), di Jakarta.
Negara-negara anggota RCEP berperan strategis dalam perdagangan dan investasi Indonesia. Kementerian Perdagangan mendata, 61,42 persen dari total ekspor Indonesia ke dunia menyasar pasar RCEP sepanjang 2018. Di sisi lain, impor Indonesia dari negara-negara RCEP sebesar 71,35 persen.
Investasi negara-negara RCEP di Indonesia mencapai 71,8 persen dari total penanaman modal asing langsung (foreign direct investment/FDI) sepanjang 2018. Nilainya berkisar 21 miliar dollar AS.
Untuk meningkatkan daya saing produk ekspor Indonesia, Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjadja Kamdani menyatakan, ada tiga aspek yang harus dipenuhi. Ketiga aspek itu terdiri dari akses pasar, efisiensi biaya dan pemenuhan skala ekonomis, serta perdagangan internasional yang rendah biaya.
Dalam kerangka RCEP, Shinta berpendapat, Indonesia dapat memanfaatkan transfer teknologi dari kerja sama perdagangan antarnegara tersebut. Industri nasional mesti mampu mengadopsi teknologi-teknologi terkini yang telah diterapkan di negara-negara RCEP lainnya.
Sementara itu, dalam ranah perdagangan internasional, Indonesia berencana melayangkan gugatan terhadap Uni Eropa (UE) melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait diskriminasi produk kelapa sawit. Produk kelapa sawit dan turunannya merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan Indonesia.
Tindakan diskriminasi itu berupa penggolongan minyak kelapa sawit mentah (CPO) dalam kelompok tanaman yang berisiko tinggi terhadap alih fungsi lahan secara tidak langsung dalam dokumen Renewable Energy Directive (RED) II atau Arahan Energi Terbarukan II. Penggolongan ini menjadi hambatan ekspor CPO sebagai bahan bakar nabati di pasar UE.
Hal ini mengakibatkan biofuel berbahan baku CPO tidak termasuk dalam target pemakaian energi terbarukan UE pada 2020-2030. Oleh sebab itu, Kementerian Perdagangan mengirimkan permintaan konsultasi secara resmi kepada UE sebagai langkah awal.
Menurut Iman, Indonesia juga telah menyampaikan keberatan atas kebijakan UE tersebut di berbagai forum, misalnya Technical Barriers to Trade Committee di WTO. Dia berharap tahap konsultasi ini dapat memberikan jalan keluar bagi kedua belah pihak.
Di sisi lain, Indonesia tengah berunding dengan UE terkait penyusunan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif atau I-EU CEPA. ”Perundingan I-EU CEPA dapat berjalan paralel dengan proses gugatan ini. Kami juga akan membahas kesepakatan terkait sawit Indonesia dalam I-EU CEPA,” kata Menteri Perdagangan Agus Suparmanto saat ditemui di Jakarta, Senin.
Menurut ekonom senior Center for Strategic and International Studies (CSIS) Mari Elka Pangestu, gugatan Indonesia terhadap UE di tingkat WTO terkait produk sawit merupakan langkah profesional. ”Di WTO, Indonesia dapat menggugat metode penggolongan tanaman yang berisiko tinggi terhadap alih fungsi lahan secara tak langsung yang digunakan UE,” katanya.
Menurut data yang dihimpun Kementerian Perdagangan dari Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor biofuel berbahan baku CPO (fatty acid methyl ester/FAME) Indonesia ke negara-negara UE senilai 882 juta dollar AS pada periode Januari–September 2019. Angka ini lebih rendah 5,58 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada 2018.
Kanal baru
Dalam hal neraca perdagangan, Indonesia masih mengalami defisit. BPS mencatat, defisit sepanjang Januari-November 2019 mencapai 3,11 miliar dollar AS dengan ekspor senilai 153,11 miliar dollar AS dan impor 156,22 miliar dollar AS.
Terkait defisit tersebut, Agus mengemukakan, Indonesia harus melihat kanal-kanal baru untuk meningkatkan ekspor. Salah satunya ekspor melalui kanal e-dagang (perdagangan melalui sistem elektronik) yang mengedepankan produk-produk lokal.
Menurut Agus, perbaikan defisit neraca perdagangan tidak bisa instan. Misalnya, pemanfaatan biodiesel dengan kandungan FAME sebanyak 30 persen atau B30 untuk menekan impor minyak dan gas baru bisa efektif diterapkan tahun depan.