Rumah Cinwa: Wadah Pencinta Wayang Nusantara
Tak banyak generasi sekarang tahu wayang potehi. Berkat Rumah Cinwa (Rumah Cinta Wayang), keberadaan wayang potehi yang jarang muncul kini bisa dinikmati masyarakat.
Tak banyak generasi sekarang tahu wayang potehi. Berkat Rumah Cinwa (Rumah Cinta Wayang), keberadaan wayang potehi yang jarang muncul kini bisa dinikmati masyarakat. Mereka tak hanya bisa melihat di kelenteng, tetapi juga di mal. Lewat sajian wayang potehi, masyarakat bisa kembali mengenal seni budaya klasik asal China yang berkembang menjadi seni peranakan China- Indonesia itu.
Suasana Taman Kaldera di Tapos, Depok, Jawa Barat, akhir November lalu, semarak. Suara gamelan dengan entakan kendang bertalu-talu. Seusai istirahat makan siang, suasana berganti dari budaya Jawa yang kental menjadi musik khas China yang biasa dimainkan untuk mengiringi pertunjukan wayang potehi. Ada suara kendang, kecrek (alat dari dua keping logam), dan alat dari kayu yang dipukul.
Beberapa anak muda dan orang dewasa berbaur memainkannya. Latihan berjalan santai, tapi serius. Sesekali Sekar, salah seorang aktivis Rumah Cinwa, memberikan aba-aba agar ketukan teman-temannya tepat. Ketika ada yang kurang pas waktu memukul instrumen, mereka bukan uring-uringan, tapi malah saling tertawa terbahak-bahak.
”Begitulah kami. Waktu latihan menjadi saat bersenang-senang, tapi memang latihan potehi selalu menyenangkan,” tutur Dwi Woro Retno Mastuti (61), dosen senior Bahasa dan Sastra Jawa pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Perempuan yang biasa dipanggil Woro tersebut menjadi salah satu penggagas dan pendiri Rumah Cinwa pada 23 November 2014. Sebelum berdiri resmi, setahun sebelumnya Woro bersama Paul Himawan, pencinta budaya yang suka wayang potehi, sudah mengangankan wadah untuk menjadi tempat pelestari wayang potehi dan wayang jenis lain.
Keberadaan Rumah Cinwa lahir dari keprihatinan Woro atas kondisi wayang potehi yang terancam punah. Ia mengenal wayang potehi saat meneliti naskah China-Jawa. Penelitian naskah itu membawanya antara lain ke wayang potehi dan wayang kulit China-Jawa. Ia pun berkenalan dengan para dalang wayang potehi di Gudo, Jombang, Semarang, dan daerah lain. Tak mau tanggung meneliti wayang potehi, Woro pun ikut para dalang pentas ke sejumlah tempat.
Hasil penelitian itu membuahkan buku berjudul Wayang Potehi Gudo-Seni Pertunjukan Peranakan Tionghoa di Indonesia yang terbit tahun 2014, tetapi langkah Woro tak berhenti disitu. Alumnus Fakultas Sastra Universitas Indonesia ini pun fasih memainkan wayang potehi.
Bersama Paul, suaminya, RP Ugrasena Pranidhana, dan putri tunggalnya, Sasrita Kanya Pramasvati, Woro kemudian mendirikan Rumah Cinwa. Sejak awal, para pendiri sadar bahwa Indonesia memiliki banyak jenis wayang, maka Rumah Cinwa tak hanya tempat orang mengenal wayang potehi saja, tetapi juga semua jenis wayang. ”Penggemar wayang golek, wayang beber, dan wayang kulit juga ikut bergabung,” kata Woro.
Tak hanya itu, ke depan ia juga tak melulu menampilkan wayang potehi dengan cerita klasik asal Tiongkok, tetapi juga cerita asal Jawa, misalnya Damarwulan. Ia ingin Rumah Cinwa mampu menampilkan kebinekaan dalam budaya yang memang dimiliki bangsa Indonesia.
Oleh karena keinginan melestarikan budaya menjadi tujuan, Woro yang susah payah membeli satu per satu peralatan berupa panggung, wayang, dan instrumen yang tak murah mengajak mahasiswa bergabung dengan cara unik. Menurut Sekar Diah Prasistiya, anggota Rumah Cinwa, waktu itu Woro ulang tahun. ”Ibu mengundang angkatan saya. Di acara itu ada panggung potehi dipajang. Saya dan teman-teman bilang. ’Bu, kok eman-eman enggak dimainin?” kata Sekar mengenang peristiwa sekitar empat tahunan lalu. Menurut Sekar, Woro dengan enteng menjawab, ”Ya udah, sana kalian mainin. Ya, kami main. Itulah awal mulanya ikut potehi ini,”kata Sekar yang waktu itu masih kuliah di Sastra Jawa FIB UI.
Tentang alasannya bergabung ke Rumah Cinwa, ia menjawab, ”Pada dasarnya saya memang senang bergerak di dunia seni.” Meski belajar secara otodidak, gadis yang bergabung sejak Rumah Cinwa berdiri itu bisa memainkan kendang di instrumen gamelan Jawa dan beberapa alat musik lain serta mengarahkan musik yang menjadi pengiring pertunjukan wayang potehi.
Sekar menceritakan, gaya Rumah Cinwa membawakan wayang potehi cenderung berbeda dari pakem pementasan potehi. Demi mengembangkan dan mengenalkan wayang potehi kepada pemirsa yang lebih luas, pembawaan pertunjukan dicampur dengan berbagai unsur budaya Indonesia. ”Campur Betawi, Sunda, dan Jawa,” katanya. Kadang-kadang, lagu yang digunakan untuk pementasan adalah lagu daerah dari Indonesia meski tetap diiringi alat musik untuk pementasan potehi, yang beberapa instrumennya dari China.
Untuk cerita yang dibawakan, Rumah Cinwa juga fleksibel, menyesuaikan dengan pemirsanya. ”Untuk penonton kami lebih mudah menjaring anak-anak,” ungkap Sekar. Menurut dia, ini karena media pembawaan cerita yang cenderung menarik bagi anak-anak. Bentuk wayang potehi yang seperti boneka tangan menjadi pesona tersendiri.
Pada awal beraktivitas, Woro masih sering turun menjadi dalang dan mengurusi banyak hal, tetapi ketika Wahyu Pamuji yang biasa dipanggil Yuji, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Jurusan Sastra Jawa Universitas Indonesia, dan Andhika, juga mahasiswa Sastra Jawa UI, bergabung, keduanya menjadi dalang potehi.
Kemampuan dua anak muda itu sudah lumayan bagus dan mampu mengundang gelak tawa saat keduanya berduet memainkan lakon wayang potehi. Lakon tentang Sun Go Kong sepanjang 30-an menit seperti hanya 10 menit saja karena cara Andhika dan Yuji membawakan menarik hati penonton.
Ketertarikan Yuji kepada wayang khas China itu terletak pada pertemuan kultur antara China dan Jawa. Hal itu pula yang mendorong ia belajar memainkan wayang, suluk (lagu dalam wayang) yang diucapkan dalam bahasa Hokian, tetapi saat membawakan cerita tetap dalam bahasa Indonesia. ”Suatu kali pernah tiba-tiba kami diminta tampil di depan peserta study tour mahasiswa dari luar negeri yang keliling Indonesia. Wah, saya grogi juga, enggak mudah tiba-tiba membawakan cerita dalam bahasa Inggris,” ujar Yuji yang bergabung di Rumah Cinwa sejak 2017, saat ia mulai kuliah.
Waktu itu Rumah Cinwa menampilkan cerita berjudul ”Damarwulan” dengan wayang potehi, alat musiknya gamelan. ”Untung lancar waktu membawakan cerita itu,” lanjut Yuji sambil tertawa.
Bagi Yuji, penyesuaian antara budaya China, Jawa, dan budaya daerah lain di Indonesia ini menjadi keunikan tersendiri dari Rumah Cinwa. ”Kita mengikuti perkembangannya,” katanya. Namun, pertunjukan yang tidak selalu mengikuti pakem pentas wayang potehi tradisional menimbulkan pertanyaan dari sanggar wayang potehi lain. Meski begitu, Yuji tidak mengambil pusing.
”Kalau mau dibilang ini pakem, tentu ini bukan pakem. Kalau mau kenal wayang potehi, monggo, lewat sini dulu. Tapi, kalau mau mempelajari secara langsung, ya, ke pakarnya aja. Kami memang bukan pakarnya,” kata Yuji. Baginya, yang penting wayang potehi di Indonesia hidup lagi dan mereka bisa membuka jalan agar dalang-dalang potehi lain yang pertunjukannya pakem bisa terlihat juga.
Rumah Cinwa kini beranggota 15-20 orang. Selain mahasiswa, anggota komunitas itu ada karyawan Bank BCA dan keluarga. Uniknya, tak hanya orang dewasa, anak-anak berkebutuhan khusus juga tertarik untuk bergabung. Ada Daffa dari Depok dan anak lain dari Bekasi rutin ikut berlatih. ”Daffa sudah bisa memainkan kendang di pementasan. Ia semangat sekali kalau mau latihan,” kata Rose, ibunda Daffa. Kesertaan anaknya berlatih wayang potehi membuat dirinya senang karena membuat sang anak bergembira dan memiliki kepercayaan diri yang lebih baik.
Meski awak wayang potehi di Rumah Cinwa bukan pemain professional, mereka sering mendapat undangan berpentas di Universitas Indonesia, Kelenteng Bon Tek Bio Tangerang, Wihara Bok Tek Bio, Bogor, ke Bali, dan mal-mal di Jakarta, seperti Kota Kassablanka. Setiap kali manggung, ratusan penonton menonton mereka. (*/TRI)