Diaspora orang Buton bukan hanya berhasil menghubungkan pulau-pulau di kawasan timur Indonesia, tetapi juga berhasil merajut kelompok masyarakat lokal menjadi komunitas-komunitas “bentukan baru” berwajah keindonesiaan.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·3 menit baca
Buton terkenal sebagai suku bangsa yang memiliki tradisi merantau. Di kepulauan mana pun terutama di wilayah Indonesia timur seperti di Pulau Run yang berada di ujung Kepulauan Banda pun mudah sekali ditemui orang Buton.
Fenomena menarik ini diteliti lebih lanjut oleh sejarawan Universitas Indonesia, Prof Susanto Zuhdi dan tim Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia pada 2009 dan 2018. Setidaknya ada empat faktor yang mendorong orang-orang dari Pulau Buton, Sulawesi Tenggara untuk pergi merantau dari tanah kelahiran mereka.
Pertama, kemampuan mereka mengarungi kepulauan Nusantara tak lepas dari karakter bahari mereka yang tangguh. Kedua, kondisi Pulau Buton yang cenderung tandus dan tidak subur memaksa mereka untuk pergi ke luar pulau mencari daerah lain yang kaya akan sumber daya alam.
Ketiga, dari segi sejarah, wilayah Pulau Buton menjadi sasaran perompak yang setiap musim tertentu datang mengancam dan memusnahkan kehidupan mereka, terutama yang berdiam di pesisir. “Masih ada ‘trauma’ ingatan kolektif orang Buton sehingga merantau (dinilai) merupakan jalan terbaik,” kata Susanto dalam buku Orang Buton Dalam Diaspora Nusantara dan Integrasi Bangsa (2019).
Masih ada ‘trauma’ ingatan kolektif orang Buton sehingga merantau (dinilai) merupakan jalan terbaik.
Keempat, semakin luasnya jaringan pelayaran ke wilayah timur Indonesia mempermudah gerak orang Buton untuk berpeluang memperbaiki nasib di daerah-daerah baru. Singkat kata, kuatnya dorongan orang Buton untuk keluar dari daerahnya tak lain karena keinginan untuk memperbaiki kesejahteraan hidup.
Memegang tradisi
Temuan menarik lain dalam penelitian tim UI adalah, ketika berada di daerah perantauan, rupanya orang-orang Buton tetap memegang teguh nilai-nilai tradisi warisan leluhur mereka. Beberapa kearifan leluhur yang masih mereka pegang, antara lain motto pabinci-binci kuli yang arti harafiahnya saling mencubit. Istilah ini dipahami demikian: “Jangan menyakiti orang lain apabila tidak mau disakiti”.
Selain itu, mereka juga memiliki simbol unik, yaitu Pohon Nanas yang dapat ditanam di tempat tandus. Simbol ini menggambarkan sikap adaptif orang Buton yang dapat hidup dan bertahan di daerah mana pun.
Leluhur orang Buton juga mengajarkan mereka untuk selalu rendah hati. Karena itulah mereka mudah beradaptasi dan kemudian diterima oleh masyarakat tempat mereka merantau.
“Mereka memiliki landasan filosofis hubungan dengan manusia, Tuhan, dan alam. Ketika berada di luar daerah, prinsip-prinsip saling menyayangi tertancap di hati mereka, di mana pun mereka diterima,” kata Walikota Baubau AS Tamrin, Kamis (12/12/2010) dalam peluncuran buku Orang Buton Dalam Diaspora Nusantara dan Integrasi Bangsa karya Prof Susanto Zuhdi dkk di UI, Depok. Hadir sebagai pembicara lainnnya, dosen Antropologi FISIP UI, Tony Rudyansjah dan dosen Sastra FIB UI Tommy Christomy, serta dosen Sejarah FIU UI Kasijanto selaku moderator.
Sebagian besar orang Buton di perantauan berhasil secara ekonomi dan sebagian lagi mampu memanfaatkan kondisi setempat sehingga bisa menempati lapisan menengah dan atas masyarakat. Sejumlah kisah sukses perantauan Buton menjadi bukti bagaimana orang Buton merupakan pekerja keras dan muda beradaptasi. Pencapaian prestasi orang Buton di daerah-daerah secara karir bermunculan. Ada yang berhasil menjadi wakil bupati di Seram Barat, ada yang menjadi anggota DPRD Kota Ternate, dan sebagainya.
Sejumlah kisah sukses perantauan Buton menjadi bukti bagaimana orang Buton merupakan pekerja keras dan muda beradaptasi.
Menurut Susanto, dapat dikatakan bahwa diaspora orang Buton bukan hanya berhasil menghubungkan pulau-pulau di kawasan timur Indonesia, tetapi juga berhasil merajut kelompok-kelompok masyarakat lokal menjadi komunitas-komunitas “bentukan baru” berwajah keindonesiaan. Dengan demikian, diaspora orang Buton pada akhirnya turut mengisi ruang sejarah Indonesia dalam proses panjang pembentukan bangsa.