Hadapi Isu Uighur dan Hong Kong, China Kembangkan Gagasan Baru HAM
Banyak mendapat kecaman tentang penanganan isu Uighur di Xinjiang dan Hong Kong, Pemerintah China menggelar forum dengan negara mitra untuk mengembangkan gagasan baru tentang hak asasi manusia.
Oleh
Elok Dyah Messwati
·4 menit baca
BEIJING, JUMAT — Karena mendapat banyak sorotan terkait pelanggaran hak asasi manusia atau HAM, terutama terkait isu Uighur di wilayah Xinjiang dan Hong Kong, China pun mencari dukungan dengan mengundang Korea Utara, Pakistan, dan Suriah untuk mengembangkan gagasan baru tentang HAM. Dalam Forum HAM Selatan Selatan yang diselenggarakan di Beijing, China, Rabu (11/12/2019), China meningkatkan kampanye global untuk mempromosikan visi China terkait HAM.
Selain mengundang Korut, Pakistan, dan Suriah ke Forum HAM tersebut, China juga mengupayakan agar negara-negara lain pun ikut mendukung gagasan baru China terkait HAM di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Sebagai catatan, selama ini Barat mengecam catatan HAM China, termasuk tindakan keras dalam bentuk penahanan sekitar 1 juta etnis minoritas Uighur di kamp-kamp pendidikan vokasional di Xinjiang, China barat laut. China merespons kecaman itu dengan kontranarasi yang semakin kuat.
China menegaskan dan menekankan bahwa keamanan dan pembangunan ekonomi di atas kebebasan sipil dan politik. ”Semua orang di setiap negara memiliki hak untuk memutuskan sendiri bagaimana pengembangan HAM di negara mereka,” kata Wakil Menteri Luar Negeri China Ma Zhaoxu kepada para delegasi Forum HAM.
Forum HAM
Peserta di Forum HAM Selatan Selatan itu antara lain delegasi dari Korut, Pakistan, dan Suriah. Sebagaimana China, ketiga negara ini memiliki catatan pelanggaran HAM yang juga disorot dunia. Salah satu pembicara di forum itu adalah Bouthaina Shaaban, penasihat politik Presiden Suriah Bashar al-Assad. Rezim Assad dituduh menggunakan senjata kimia dalam konflik di Suriah. Korban dari serangan itu tidak hanya milisi atau pemberontak, tetapi juga mengenai warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak.
”Saya percaya China, dengan bantuan semua negara berkembang, dapat mendefinisikan kembali hak asasi manusia,” kata Bouthaina Shaaban dalam pidatonya yang mengecam Barat karena memaksakan agar semua negara di dunia mengikuti kemauan mereka.
Menurut kantor berita Xinhua, HAM yang paling mendasar adalah hak atas kehidupan yang aman dan itu bisa dicapai dengan memastikan keselamatan warga, dengan demikian HAM terlindungi.
Sebuah makalah yang dikeluarkan Pemerintah China pada September 2019 menyebut, kemiskinan menjadi penghalang terbesar untuk memenuhi HAM rakyat China. Makalah itu juga menekankan bahwa Pemerintah China telah mengangkat ratusan juta warga dari kemiskinan absolut sejak tahun 1970-an.
Upaya China untuk mendefinisikan kembali HAM mendapatkan momentumnya di forum internasional ini.
Gagal menghormati HAM
Menurut peneliti Amnesty International, Patrick Poon, apa yang diupayakan China tersebut adalah untuk melawan kritik terhadap kegagalan China menghormati standar HAM internasional.
Tanggapan China terhadap rentetan kecaman internasional baru-baru ini atas penahanan massal etnis minoritas Muslim Uighur di Xinjiang menunjukkan upaya China untuk membingkai pembangunan dan keamanan sebagai basis HAM yang paling penting.
Setelah awalnya menyangkal keberadaan kamp penahanan, China akhirnya mengakui telah membuka ”pusat pendidikan vokasional” yang bertujuan mencegah ekstremisme. Langkah itu diambil setelah bertahun-tahun terjadi kerusuhan di wilayah Xinjiang.
Lembaga penyiaran berbahasa Inggris, CGTN, di China pada pekan lalu menayangkan seri dokumenter tentang serangan yang disebut dilakukan oleh para militan dan separatis dari etnis Uighur untuk menentang kebijakan China di Xinjiang.
Rekaman televisi tersebut menayangkan gambar sebuah mobil yang menabrak kerumunan di Lapangan Tiananmen di Beijing pada 2013 dan serangan pisau massal di sebuah stasiun kereta api di Kunming, China barat daya, yang menewaskan 31 orang pada 2014.
Penayangan seri dokumenter tersebut menyusul bocornya dokumen resmi yang menunjukkan bagaimana Pemerintah China menjalankan kamp-kamp tersebut dan Dewan Perwakilan AS meloloskan undang-undang tentang Uighur tahun 2019 untuk menarget para pejabat China agar bisa diberikan sanksi.
Willy Lam, analis politik yang tinggal di Hong Kong, mengatakan, film dokumenter tersebut memperkuat narasi bahwa warga Uighur tidak puas karena mereka tidak memiliki peluang ekonomi. ”Tujuan utama adalah menekan aspirasi politik warga Uighur, tetapi mereka berusaha untuk memutarbalikkan dalam hal ini,” ujarnya.
Peneliti Human Rights Watch, Maya Wang, menyebutkan, China telah menyodorkan sebuah resolusi di Dewan HAM PBB pada tahun lalu, yakni menghapus prosedur untuk meminta pertanggungjawaban sebuah negara atas pelanggaran HAM di negara itu. China menyarankan agar dilakukan ”dialog” sebagai gantinya.
Pada Oktober 2019, sebanyak 23 negara mendukung pernyataan Inggris di PBB yang mengecam catatan HAM di China terkait penanganan etnis Uighur. Namun, negara-negara sekutu China justru membalas dengan pernyataan mereka sendiri yang bahkan mendapat dukungan lebih luas. Sebanyak 54 negara justru mendukung dan memuji prestasi luar biasa China di bidang HAM. (AFP)