Banjir di Kulawi Tak Lepas dari Penebangan Kayu Ilegal
Banjir bandang yang berulang di Desa Bolapapu, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, tak terlepas dari ulah penebangan kayu ilegal.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·4 menit baca
KOMPAS/VIDELIS JEMALI
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Doni Monardo (baju oranye, rompi), Sabtu (14/12/2019), meninjau lokasi banjir bandang di Desa Bolapapu, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Kamis (12/12/2019).
SIGI, KOMPAS — Banjir bandang yang berulang di Desa Bolapapu, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, tak terlepas dari ulah penebangan kayu ilegal. Harus muncul kesadaran kolektif untuk menjaga dan peduli pada ekosistem agar bisa mencegah bencana.
Hal itu disampaikan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo saat meninjau lokasi banjir bandang dan bertemu dengan penyintas banjir di Desa Bolapapu, Sabtu (14/12/2019). Turut ikut peninjauan, Gubernur Sulteng Longki Djanggola, Bupati Sigi Irwan Lapatta, dan Komandan Resor 132/Tadulako Kolonel Agus Sasmita.
Doni mengapresiasi langkah-langkah sejumlah pihak yang cepat dan tanggap menangani kebutuhan pengungsi. Namun, hal itu tak cukup. Ada akar masalah bencana yang perlu dicari.
”Telah terjadi perubahan vegetasi di hulu. Ada penebangan di hulu. Mungkin 10 tahu lalu. Akibatnya, akar pohon tak mampu menyimpan dan menyerap air,” tuturnya.
Telah terjadi perubahan vegetasi di hulu. Ada penebangan di hulu. Mungkin 10 tahu lalu. Akibatnya, akar pohon tak mampu menyimpan dan menyerap air.
Doni menyebutkan, hal itu tak hanya terjadi di Desa Bolapapu, Kulawi, tetapi juga di daerah bencana lain, seperti di Sumatera dan Jawa. Ia menegaskan perlunya ada kesadaran kolektif, baik pemerintah setempat, tokoh masyarakat, maupun warga. Kesadaran tersebut bermuara pada kepedulian pada ekosistem atau lingkungan dari sebelumnya kurang peduli.
Anggota TNI Angkatan Darat membersihkan lumpur di jalan Desa Bolapapu, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Sabtu (14/12/2019). Lumpur berasal dari luapan Sungai Magila yang menerjang rumah-rumah warga pada Kamis, 12 Desember.
Banjir bandang disertai lumpur, batu, dan potongan kayu melanda Dusun III Pangana, Desa Bolapapu, Kecamatan Kulawi, Sigi, Kamis (12/12/2019) malam. Terjangan material dari Sungai Magila tersebut menewaskan dua orang dan merusak 57 rumah.
Rumah-rumah yang diterjang banjir pada umumnya berjarak kurang dari 150 meter dari sungai. Lumpur merendam rumah dengan ketebalan 50 sentimeter sampai 1 meter.
Dusun III langsung berbatasan dengan kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Sungai Magila yang mengalir di dusun itu juga memiliki hulu di taman nasional tersebut. Berdasarkan penelusuran Kompas, disepanjang 1,5 kilometer daerah aliran sungai yang terlihat hanya kebun yang ditanami kakao. Tak ada pohon besar yang tumbuh di pinggir sungai.
Kondisi sebagian alur Sungai Magila, Sabtu (14/12/2019), berjarak 1,5 kilometer dari permukiman warga Desa Bolapapu, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi. Sisi kiri dan kanan sungai tersebut menjadi kebun warga. Padahal, kawasan itu bagian dari Taman National Lore Lindu.
Kikisan air akibat banjir membentuk tebing di kanan-kiri sungai. Banjir juga membawa batu-batu besar ke tengah sungai. Selain batu, ada juga potongan kayu yang terangkut air. Ada yang terpotong rapi dan masih terlihat baru, ada pula yang tercerabut dan lapuk.
Banjir bandang itu bukan kali ini terjadi. Pada 3 Desember 2011, banjir dengan intensitas lebih besar menyapu dusun tersebut. Saat itu, enam orang meninggal. Rumah-rumah rusak karena terjangan batu, lumpur, dan kayu. Rumah-rumah tersebut dibangun atau direnovasi lagi pascabanjir 2011.
Longki mengingatkan, banjir bandang di Bolapapu merupakan kejadian berulang. ”Saya hadir di sini delapan tahun lalu dan ada korban, kalau tidak salah enam orang. Jadi, tolong ini jadi perhatian tokoh masyarakat, tokoh adat, pemerintah desa. Kalau ada kebijakan dan imbauan dari pemerintah, tolong diperhatikan. Ini untuk kebaikan kita semua,” tuturnya.
Warga mengambil barang yang bisa diselamatkan dari banjir bandang disertai lumpur di Desa Bolapapu, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, Jumat (13/12/2019). Banjir bandang terjadi sehari sebelumnya, Kamis malam. Sedikitnya 57 rumah terendam lumpur dan dihantam potongan kayu.
Imanuel Kaeheni (49), warga Dusun III, menyebutkan, memang ada penebangan kayu di hulu. Aktivitas ilegal itu masif dilakukan sebelum banjir 2011. Penebangan kayu juga masih terjadi meskipun tak semarak dulu. Kayu dipakai untuk membuat rumah.
Ia menyatakan, dirinya tak berhak melarang warga lain menebang kayu. ”Yang berhak, ya, pemerintah. Kami ini tak berwenang apa-apa,” lanjutnya. Di Bolapapu, kayu dipakai untuk menjadi papan rumah setengah beton, rumah panggung, dan plafon.
Untuk pemulihan vegetasi di hulu atau sekitar Sungai Magila, BNPB menyiapkan Rp 2 miliar. Dana itu dipakai untuk membeli bibit. Nantinya, pemerintah bersama dengan masyarakat menanam bibit-bibit pohon tersebut untuk memperkuat struktur tanah. Tanaman yang dianjurkan bersifat keras atau punya fungsi hidrologis tinggi, seperti ulin dan sukun.
Banjir bandang disertai lumpur melanda Desa Bolapapu, Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, seperti terlihat Jumat (13/12/2019). Banjir bandang tersebut terjadi pada Kamis malam.
Selain revitalisasi hulu atau pinggir sungai, langkah jangka pendek yang dilakukan adalah merelokasi warga yang berada di bantaran Sungai Magila. Rumah yang direlokasi berjarak 50 meter dari kiri dan kanan sungai.
Doni menyebutkan, relokasi harus dilakukan dengan memperhatikan aspirasi warga. Aspirasi itu termasuk soal fasilitas umum serta jarak lahan relokasi dengan sumber penghidupan mereka.
Relokasi penyintas banjir 2019 harus belajar dari relokasi penyintas banjir 2011. Penyintas tak mau menempati rumah yang dibangun di bukit di barat kampung dengan berbagai alasan, antara lain jauh dari kebun dan tak ada sekolah.
Tini Kristiani (38), penyintas banjir, mengatakan, dirinya mengikuti saja apa yang disampaikan pemerintah. ”Kalau memang itu yang terbaik, kami bersedia ikuti,” ujarnya.