Upaya serius dari pemerintah mutlak diperlukan untuk menahan laju penurunan amblesan tanah di cekungan Bandung, Jawa Barat.
Oleh
(DKA/DIT/RTG/BRO) Megandika Wicaksono / Aditya Putra Perdana / Machradin Wahyudi Ritonga / Ambrosius Harto Manumoyoso
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS - Kawasan cekungan Bandung dibayangi potensi bencana alam yang dipicu penurunan permukaan tanah akibat kondisi alam dan ulah manusia yang tinggal di sekitarnya. Regulasi terkait tata ruang dan pembangunan di daerah-daerah amblesan tanah sangat dibutuhkan sebagai langkah mitigasi bencana.
Badan Geologi menyebutkan, sebagian kawasan cekungan Bandung berpotensi mengalami penurunan muka tanah dengan laju 15-20 sentimeter (cm) per tahun. Daerah itu meliputi Kecamatan Dayeuhkolot, Majalaya, Banjaran, dan Rancaekek di Kabupaten Bandung, serta di Kota Cimahi. Sementara amblesan antara 5-10 cm per tahun terjadi di Kecamatan Gedebage (Kota Bandung) serta Kecamatan Banjaran dan Rancaekek (Kabupaten Bandung).
Dalam diskusi ”Menguak Lebih Jauh Fenomena Land Subsidence Bandung” di Museum Geologi, Kota Bandung, Jumat (13/12/2019), Ketua Masyarakat Geologi Teknik Indonesia (MGTI) Imam Achmad Sadisun mengatakan, cekungan Bandung merupakan daerah endapan danau purba yang memiliki formasi bebatuan muda yang cenderung lunak.
Akibatnya, kawasan dengan penurunan muka tanah ini menjadi rentan banjir karena permukaannya lebih rendah daripada aliran sungai. Selain itu, saat gempa melanda, struktur tanah yang lunak bisa berdampak pada kerusakan bangunan dan potensi korban jiwa yang lebih banyak dibandingkan daerah lain.
Pengambilan air tanah memang menjadi salah satu faktor yang sering dibicarakan.
Kondisi tanah muda disertai pembangunan yang tidak terkendali mempercepat penurunan karena beban tanah bertambah. Di sisi lain, aktivitas manusia yang mulai ramai di daerah pembangunan menjadikan penurunan tanah berpotensi bencana karena berdampak pada struktur bangunan dan infrastruktur lainnya.
”Penurunan tanah tidak bisa dimungkiri, bagian dari proses geologi. Karena itu, warga dan pemerintah tidak bisa hanya cuek karena ini masalah pembangunan,” tutur Imam yang juga ahli geologi dari Institut Teknologi Bandung. Pembicara lain, Kepala Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan Badan Geologi Andiani mengatakan, penyebab utama penurunan tanah di Bandung saat ini belum bisa dipastikan.
”Pengambilan air tanah memang menjadi salah satu faktor yang sering dibicarakan. Untuk daerah Bandung, kami belum bisa memastikannya karena butuh data akurat dan saksama. Untuk mengetahui hal tersebut, butuh kajian mendalam,” tuturnya. Meskipun belum dipastikan, Andiani setuju, pemanfaatan air tanah berlebihan berdampak terhadap penurunan muka tanah.
Kekosongan akibat eksploitasi air tanah dalam yang berlebihan membuat struktur tanah menjadi rentan. Hal tersebut membuat daerah-daerah tersebut berpotensi bencana. ”Penguatan pengawasan dan pengendalian dari pemerintah daerah diperlukan untuk menjaga keberlangsungan air tanah,” ujarnya.
Pemulihan lahan kritis
Dari Surabaya dilaporkan, lahan kritis di Jawa Timur yang mencapai 1,5 juta hektar mendesak untuk dipulihkan dengan penanaman pohon. Pakar kebencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Amien Widodo, mengatakan, pemulihan lahan kritis dengan penanaman pohon membutuhkan waktu. Setelah ditanam, pohon harus dipantau dan dirawat hingga setidaknya 3-4 tahun. Selepas itu, secara alami, pohon akan terus menjulang. Akar pohon akan mengikat tanah sehingga tak mudah longsor meski diguyur hujan.
Saat ini, musim hujan sudah berlangsung sehingga nyaris tiada waktu lagi untuk mewujudkan program antisipasi terhadap ancaman longsor dan banjir. Yang bisa dilakukan, menurut Amien, adalah meningkatkan kewaspadaan dan kesigapan. ”Namun, program rehabilitasi lahan kritis harus segera dijalankan meski kita akan amat sibuk menghadapi bencana yang datang,” katanya.
Secara terpisah, Wakil Gubernur Jatim Emil Elestianto Dardak mengatakan, langkah antisipasi bencana pada musim hujan dilakukan pemerintah dengan membuat sejumlah waduk, embung, serta memperbaiki saluran irigasi dan jaringan drainase perkotaan. ”Pemerintah bekerja,” katanya. Untuk rehabilitasi lahan kritis, menurut Emil, perlu kerja sama dengan para bupati dan wali kota. Pemerintah provinsi siap membantu penyediaan bibit pohon dan atau tenaga.
Angin kencang
Bencana angin kencang melanda Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, Kamis (12/12), sore. Akibatnya, 4 rumah rusak berat, 1 rumah rusak sedang, dan 31 rumah rusak ringan.
Di lingkup Jateng, angin kencang yang melanda 22 kabupaten/kota sejak Oktober 2019 mengakibatkan 31 korban luka-luka dan dua tewas. Sejumlah 171 rumah atau bangunan rusak berat, 1.509 rusak sedang, dan 4.292 rusak ringan, dengan total kerugian Rp 6,5 miliar.